Syarah Do’a Qunut oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin (1) Hidayah

Kemudian sesungguhnya kita mendengar di dalam do’a witir [اللهم اهْدِنَا فِيْمَنْ هَدَيْتَ]  “Ya Allah berikanlah hidayah kepada kami pada orang yang telah Engkau berikan hidayah”, maka apakah yang dimaksud dengan hidayah disini?

 

Apakah maknanya tunjukilah kami kepada kebenaran pada orang yang telah Engkau tunjuki atau bahwa maknanya adalah tunjukilah kami di atas kebenaran (dan ia adalah hidayah irsyad) dan berikan taufik kepada kami untuk menitinya (dan ia adalah hidayah taufik)?

 

Jawabannya adalah yang kedua; bahwasannya maknanya adalah tunjukilah kami di atas kebenaran dan berikan taufik kepada kami untuk meniti kebenaran.  Yang demikian dikarenakan hidayah yang sempurna lagi bermanfaat adalah yang Allah kumpulkan di dalamnya antara ilmu dan amal bagi seorang hamba. Dikarenakan hidayah tanpa amal adalah tidak bermanfaat. Bahkan ia adalah bahaya, dikarenakan manusia, jika dia tidak mengamalkan apa yang telah dia ketahui, maka jadilah ilmu tersebut menjadi bencana baginya.

 

Dan permisalan hidayah ilmu tanpa amal, adalah firman-Nya subhaanahu wata’aalaa:

 

وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَينَٰهُمۡ فَاستَحَبُّواْ ٱلعَمَىٰ عَلَى ٱلهُدَىٰ

 

“Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk…” (QS. Fushshilat: 17)

 

Dan makna [هَدَيْنَاهُمْ] adalah telah kami jelaskan kepada mereka jalan (kebenaran tersebut) dan telah kami sampaikan ilmu (kebenaran tersebut) akan tetapi mereka wal’iyaadzu billah, [فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى] mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk.

 

Di antaranya juga -yaitu bagian dari hidayah yang ia adalah ilmu dan penjelasan kebenaran- adalah firman Allah tabaaroka wa ta’aalaa kepada Nabi ﷺ:

 

وَإِنَّكَ لَتَهدِيٓ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّستَقِيمٖ 

 

“… Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. As-Syuuro: 52)

 

Dan makna [تَهْدِي] adalah engkau tunjukkan, dan engkau jelaskan, serta engkau ajari manusia jalan yang lurus. Adapun hidayah dengan makna taufik, maka semisal ucapan orang yang sedang shalat [اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ] tunjukilah kami jalan yang lurus, maka saat kita berkata [اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ] tunjukilah kami jalan yang lurus, apakah Anda meminta kepada Allah ilmu tanpa amal, atau amal tanpa ilmu, atau ilmu dan amal?

 

Pokoknya, selayaknya bagi manusia jika dia berdo’a kepada Allah [اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ] tunjukilah kami jalan yang lurus, untuk menghadirkan perasaan bahwa dia tengah memohon ilmu dan amal kepada Rabb-nya. Maka ilmu tersebut adalah irsyad (petunjuk) dan amal yang ia adalah taufik, dan inilah yang kuyakini, sementara ilmu yang benar adalah di sisi Allah.

 

Sesungguhnya hilang dari benak banyak manusia saat dia mengucapkan [اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ] tunjukilah kami jalan yang lurus, dan demikian juga pada do’a qunut sementara engkau membaca [اللهم اهْدِنَا فِيْمَنْ هَدَيْتَ]  “Ya Allah berikanlah hidayah kepada kami pada orang yang telah Engkau berikan hidayah”,

 

Dan firman-Nya subhaanahu wata’aalaa kepada Nabi ﷺ [وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ] “… Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”, ini adalah hidayah irsyad (arahan) dan bayaan (penjelasan), akan tetapi firman-Nya:

 

إِنَّكَ لَا تَهدِي مَن أَحبَبتَ

 

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi…” (QS. Al-Qashash: 56)

 

Maka hidayah ini adalah hidayah taufiq untuk beramal. Maka Rasulullah ﷺ selamnya tidak akan mampu memberikan taufiq kepada seorangpun untuk beramal shalih. Seandainya beliau mampu yang demikian, maka pastilah beliau mampu memberikan hidayah kepada paman beliau Abu Thalib. Dan sungguh beliau telah berusaha bersamanya hingga beliau berkata kepadanya saat kematian pamannya:

 

«يَا عَمِّ قُلْ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ»

 

“Wahai pamanku, ucapakan laa ilaaha illallaah, satu kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah.”

 

Akan tetapi telah berlalu taqdir dari sisi Allah bahwa ia adalah termasuk penghuni Neraka, wal’iyaadzu billah. Lalu dia tidak mengatakan laa ilaaha illallaah, dan akhir ucapannya adalah “dia berada di atas agama ‘Abdul Muththalib.” Akan tetapi mengijinkan Rasul-Nya untuk memberikan syafaat kepadanya, karena ia adalah paman beliau, akan tetapi karena ia telah melakukan satu usaha yang patut untuk disyukuri dalam membela Nabi ﷺ dan Islam. Maka Nabi ﷺ memberikan syafat kepada paman beliau. Lalu nanti sang paman akan ada di pinggiran Neraka, dan mengenakan dua sandal yang karena keduanya otaknya mendidih, dan sungguh itu adalah siksaan Neraka yang paling ringan.

 

Nabi ﷺ bersabda:

 

«وَلَوْلَا أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ مِنْ النَّارِ»

 

“Dan seandainya bukan karena Aku, maka pastilah dia berada di dasar Neraka yang paling bawah.” ([1])

 

Saya katakan, jika kita membaca di dalam do’a qunut [اللهم اهْدِنَا فِيْمَنْ هَدَيْتَ]  “Ya Allah berikanlah hidayah kepada kami pada orang yang telah Engkau berikan hidayah”, maka sesungguhnya kita memohon dua hidayah; hidayah ilmu dan hidayah amal.

 

Dan ucapannya [فِيْمَنْ هَدَيْتَ]  “…pada orang yang telah Engkau berikan hidayah”, apa yang menjadikannya datang pada tempat ini? Yaitu seandainya manusia mencukupkan diri lalu membaca [اللهم اهْدِنَا]  “Ya Allah berikanlah hidayah kepada kami”, telah mendapatkan apa yang dia maksud, akan tetapi mengapa datang kalimat [فِيْمَنْ هَدَيْتَ]  “…pada orang yang telah Engkau berikan hidayah”? Maka keberadaan hal itu adalah agar menjadi bagian dari bab tawassul dengan nikmat-nikmat Allah kepada orang yang telah Dia berikan hidayah kepadanya agar Dia memberikan hidayah juga kepada kita. Maksudnya adalah sesungguhnya kami mohon kepada-Mu hidayah, karena sesungguhnya yang demikian itu adalah merupakan kandungan dari rahmat dan hikmah-Mu, dan karunia-Mu yang telah di dahului takdir-Mu, maka sesungguhnya Engkau telah memberikan hidayah kepada manusia-manusia yang lain, maka berikanlah kepada kami hidayah pada orang-orang yang telah Engkau berikan hidayah kepada mereka. (Bersambung)

 

(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthaa-unaa Fii Ramadhaan; al-Akhthaa` al-Khaashshah Bishalaatil Witri Wa Du’aa-i al-Qunuuti Fiihaa, Syaikh Nada Abu Ahmad)

 

_____________________________________________________________

Footnote:

([1]) HR. Al-Bukhari (6208), Muslim (209), Ahmad (1768), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (16/102)-pent

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *