Kesalahan-Kesalahan Khusus Berkaitan Dengan Do’a Qunut (6) Melampaui Batas Dalam Berdoá

 

Ada di antara parai mam yang memaksakan diri melalui cara memilih doá-doá yang di dalamnya terdapat alunan-alunan suara yang panjang, melagukan, dan menyebutkan perkara-perkara rincian dari keadaan-keadaan kematian, kebangkitan, penggiringan manusia di padang mahsyar untuk menggerakkan perasaan para makmum, dan untuk menggetarkan raga-raga mereka, dan memecahkan mereka di dalam tangisan, sedu sedan, lengkingan, ratapan, dan peninggian suara dengan ratapan dan keriuhan. Dan ini semua adalah termasuk bagian dari melampaui batas dalam berdoá.

 

Dan ini menyelisihi firman Rabbul áalamiin:

 

ٱدعُواْ رَبَّكُم تَضَرُّعًا وَخُفيَةًۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلمُعتَدِينَ 

 

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raaf: 55)

 

Ibnu Juraij rahimahullah berkata di dalam menafsirkan ayat tersebut: “Termasuk bentuk melampaui batas adalah meninggikan suara, seruan di dalam do’a, dan berteriak, sementara mereka diperintah untuk memohon dengan kerendahan dan ketundukan hati.” ([1])

 

 Imam Ahmad, dan Abu Dawud mengeluarkan hadits dari ‘Abdullah bin Mughaffal radhiyallaahu ‘anhu, bahwa dia pernah mendengar putranya berkata:

 

اللهم إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْقَصْرَ الْأَبْيَضَ عَنْ يَمِيْنِ الْجَنَّةِ إِذَا دَخَلْتُهَا

 

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu istana berwarna putih di sisi kanan Sorga, jika saya telah memasukinya.”

 

Maka diapun berkata,

 

أَيْ بُنَيَّ، سَلِ اللهَ الْجَنَّةَ، وَتَعَوَّذْ بِهِ مِنَ النَّارِ، فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: «سَيَكُوْنُ فِيْ هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُوْنَ فِيْ الطُّهُوْرِ وَالدُّعَاءِ»

 

“Duahi putraku, mohonlah Sorga kepada Allah, dan berlindunglah dengan-Nya dari Neraka; karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Akan ada pada umat ini, suatu kaum yang berbuat melampaui batas dalam bersuci dan berdo’a.” ([2])

 

Imam Ahmad dan Abu Dawud telah mengeluarkan hadits dari Ummul Mukminiin ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, dia berkata:

 

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّ الْجَوَامِعَ مِنْ الدُّعَاءِ، وَيَدَعُ مَا سِوَى ذَلِكَ

 

“Adalah Rasulullah ﷺ menyukai do’a yang bermakna menyeluruh, dan meninggalkan yang selainnya.” ([3])

 

Imam Ahmad dan Abu Dawud telah mengeluarkan hadits dari Ibnu Sa’d bin Abi Waqqaash radhiyallaahu ‘anhuma, dia berkata:

 

سَمِعَنِي أَبِي، وَأَنَا أَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ، وَنَعِيمَهَا، وَبَهْجَتَهَا، وَكَذَا، وَكَذَا، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ النَّارِ، وَسَلَاسِلِهَا، وَأَغْلَالِهَا، وَكَذَا، وَكَذَا، فَقَالَ: يَا بُنَيَّ، إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: «سَيَكُونُ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الدُّعَاءِ، فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ، إِنَّكَ إِنْ أُعْطِيتَ الْجَنَّةَ أُعْطِيتَهَا وَمَا فِيهَا مِنَ الْخَيْرِ، وَإِنْ أُعِذْتَ مِنَ النَّارِ أُعِذْتَ مِنْهَا، وَمَا فِيهَا مِنَ الشَّرِّ»

 

“Bapakku pernah mendengarku saat aku berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon Sorga kepadamu, kenikmatannya, dan kecermalangannya, dan demikian, dan demikian; dan aku berlindung kepada-Mu dari Neraka, dan dari rantai serta belenggu-belenggunya, dan demikian… demikian.” Maka diapun berkata, “Duhai putraku, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Akan ada suatu kaum yang berbuat melampaui batas di dalam berdo’a; maka janganlah engkau manjadi bagian dari golongan mereka. Jika engkau diberi Sorga, maka engkau akan diberi Sorga dan kebaikan apapun yang ada di dalamnya; dan jika engkau dilindungi dari Neraka, maka engkau akan dilindungi dari Neraka dan keburukan apapun yang ada di dalamnya.” ([4])

 

Termasuk bagian dari perbuatan melampaui batas dalam berdo’a adalah:

 

  1. Doa tersebut mengandung sesuatu dari tawassaul-tawassul syirik, seperti menyeru selain Allah; dan ia adalah termasuk seburuk-buruknya perbuatan melampaui batas dalam berdo’a.
  2. Do’a tersebut mengandung sesuatu dari tawassul-tawassul bid’ah; seperti bertawassul dengan dzat Nabi, atau dengan jah (kedudukan) beliau; maka ini adalah tawassul bid’ah.
  3. Yang berdo’a memohon apa yang tidak layak baginya; seperti dia memohon tempat kedudukan para Nabi; seperti orang yang memohon wasilah yang tidak patut bagi seorang hambapun dari hamba-hamba Allah sebagaimana wasilah yang diharapkan oleh Nabi ﷺ, dan ia adalah hak beliau.
  4. Rincian yang membosankan di dalam berdo’a; maka Nabi ﷺ menyukai do’a yang bermakna menyeluruh, dan meninggalkan selainnya.

 

Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata: “Hendaknya orang yang berdo’a memilih bagi do’a dan pujiannya kepada Rab-Nya dengan lafazh-lafazh yang paling bagus, paling luhur, dan paling menyeluruh makna-maknanya; karena ia adalah bentuk munajah seorang hamba kepada Penghulunya seluruh alam; yang tidak ada yang semisal bagi-Nya, dan tidak ada tandingan bagi-Nya; sementara di dalam al-Qur`an dan sunnah terdapat do’a-do’a yang maknanya menyeluruh.” Selesai.

 

 Sebagai contoh, Anda akan temukan banyak di antara para da’i berkata:

 

اللهم اغْفِرْ لِآبَائِنَا وَأُمَّهَاتِنَا وَأَجْدَادِنَا وَجَدَّاتِنَا وَأَخْوَالَنَا وَخَالَاتِنَا وَأَعْمَامِنَا وَعَمَّاتِنَا

 

Ya Allah ampunilah bapak-bapak kami, ibu-ibu kami, kakek-kakek kami, nenek nenek kami, paman-paman kami (dari pihak ibu), bibi-bibi (dari pihak ibu), paman-paman kami (dari pihak bapak) dan bibi-bibi kami (dari pihak bapak).”

 

Lalu dia terus menghitung karib kerabatnya, lalu berpindah untuk mendo’akan tetangga-tetangganya dan teman-temannya; padahal cukup baginya seandainya dia berkata:

 

رَبَّنَا ٱغفِر لَنَا وَلِإِخوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَٰنِ

 

“Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami “. (QS. Al-Hasyr: 10)

 

Dan termasuk perbuatan melampaui batas di dalam berdo’a juga adalah memaksakan diri dalam bersajak.

 

Al-Bukhari telah mengeluarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, bahwasannya dia telah berwasiat kepada maulanya, yaitu ‘Ikrimah rahimahullah seraya berkata:

 

فَانْظُرِ السَّجْعَ مِنَ الدُّعَاءِ فَاجْتَنِبْهُ، فَإِنِّي عَهِدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ لَا يَفْعَلُونَ إِلَّا ذَلِكَ يَعْنِي لاَ يَفْعَلُونَ إِلَّا ذَلِكَ الِاجْتِنَابَ

 

“Maka perhatikanlah do’a bersajak, kemudian jauhilah ia; dikarenakan aku telah telah mengetahui Rasulullah ﷺ dan para sahabat beliau tidak melakukan kecuali yang demikian; yaitu tidak melakukan kecuali menjauhi bersajak dalam berdo’a.” ([5])

 

Dan al-Bukhari telah membuat representasi bagi hadits ini dengan judul Bab Apa Yang Dimakruhkan Dari Bersajak Di Dalam Berdo’a.

 

At-Thuthusyi rahimahullah telah menyebut di dalam kitabnya al-Hawaaditsu wa al-Bida’u, hal 157, dari ‘Urwah bin az-Zubair radhiyallaahu ‘anhu, “Jika dihadapkan kepadanya sutu do’a yang di dalamnya terdapat sajak yang dinisbahkan kepada Nabi ﷺ dan para sahabat beliau radhiyallaahu ‘anhum, maka dia berkata, “Mereka telah berdusta, tidak pernah Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya menjadi orang-orang yang bersajak.”

 

 Sebagian Ahli ilmu berkata,

 

ادْعُ بِلِسَانِ الذُّلَّةِ وَالْاِفْتِقَارِ لَا بِلِسَانِ الْفَصَاحَةِ وَالْاِنْطِلَاقِ

 

“Berdo’alah dengan lisan kerendahan, dan kebutuhan; bukan dengan lisan kefasihan dan kepiawaian.” ([6])

 

Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata, “Dimakruhkan (dibenci) bersajak, dan memaksakan diri dengan kata-kata bersajak di dalam berdo’a.”

 

Peringatan:

 

  1. Kita telah mengetahui dari apa yang telah berlalu, bahwa tidak dianjurkan untuk memaksa-maksakan diri dalam berdo’a yang sekiranya pemaksaan diri itu menjadikan manusia perhatian dengan nada-nada di dalam berdo’a, lalu hilanglah kekhusyu’an dan ketundukan. Adapun jika sajak tersebut adalah naluri, fitrah, dan suatu ketepatan tanpa takalluf (pemaksaaan diri), maka tidak apa-apa dan tiada masalah padanya.

 

Dan sungguh telah datang pada sebagian do’a-do’a:

 

اللهم إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ قَلْبٍ لَا يْخَشَع، وَعِلْمٍ لَا يَنْفَع، وَنَفْسٍ لَا تَشْبَع، وَدُعَاءٍ لَا يُسْمَع

 

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak khusyu’, ilmu yang tidak bermanfaat, jiwa yang tidak kenyang (puas), dan do’a yang tidak didengar.”

 

اللهم مُنْزِلَ الْكِتَاب، هَازِمَ الْأَحْزَاب، سَرِيْعَ الْحِسَاب، اهْزِمْهُمْ وَزَلْزِلْهُمْ

 

“Ya Allah, Yang Menurunkan al-Kitab, Yang Menghancurkan hizib-hizib (fraksi-fraksi), Yang Maha Cepat hisabnya, hancurkanlah mereka dan goncangkanlah mereka.”

 

  1. Selayaknyalah bagi seorang da’iy untuk tidak menjadikan perhatiannya terpalingkan kepada penegakan lisannya. Terutama jika dia menjadi seorang imam. Dikarenakan yang demikian itu akan menghilangkan kekhusyu’an yang itu adalah intinya do’a.

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Selayaknyalah bagi seorang da’i, jika kebiasannya adalah bukan beri’rab untuk tidak memaksa-maksakan diri beri’rab. Sebagian salaf berkata, “Jika I’rab datang, maka pergilah kekhusyu’an”. jika hal itu terjadi tanpa takalluf (memaksa-maksakan diri), maka tidak mengapa. Dikarenakan hukum asal berdo’a adalah dari hati, sementara lisan mengikuti hati. Maka barangsiapa perhatiannya di dalam do’a adalah menegakkan lisannya, maka dia telah melemahkan penghadapan hatinya.” ([7])

 

(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthaa-unaa Fii Ramadhaan; al-Akhthaa` al-Khaashshah Bishalaatil Witri Wa Du’aa-i al-Qunuuti Fiihaa, Syaikh Nada Abu Ahmad)

 

_____________________________________________________________

Footnote:

([1]) Tafsiir al-Baghaawiy(2/166), Tafsiir al-Qurthubiy (VIII/207)

([2]) Dishahihkan oleh al-Albaniy dalam al-Irwaa` (1/171) [HR. Abu Dawud (96), Ahmad (16847), Ibnu Majah (3864), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (32/431)]-pent

([3]) Dishahihkan oleh al-Albaniy dalam Shahiih al-Jaami’ (4949) [HR. Abu Dawud (1483), Ahmad (25193), Ibnu Abi Syaibah (29165), at-Tabraniy dalam al-Ausath (4946), lihat Shahiih Mawaarid az-Zham’aan (2044), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (22/367)]-pent

([4]) HR. Abu Dawud (1480), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (19/162)-pent

([5]) HR. Al-Bukhari (5978), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (8/417)-pent

([6]) Ihyaa’ ‘Uluumiddiian (1/306)

([7]) Majmu’ al-Fataawaa (22/489)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *