Kesalahan-Kesalahan Khusus Berkaitan Dengan Do’a Qunut (3) Qunut setelah ruku’

 

Qunut di dalam shalat witir ada sebelum ruku’ dan bukan setelah ruku’.

 

Sungguh telah valid di dalam hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa’iy dari Ubay bin Ka’b radhiyallaahu ‘anhu,

 

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ

 

“Bahwasannya Nabi ﷺ biasa melakukan qunut setelah ruku’.” (Dishahihkan oleh al-Albaniy dalam al-Irwa`: 426) ([1])

 

Bahkan sungguh telah valid juga bahwa beliau telah mengajarkannya kepada al-Hasan untuk mengucapkannya jika selesai dari bacaaannya sebelum ruku’. Wallaahu a’lam.

 

Adapun qunut setelah ruku’, maka sesungguhnya ia berada pada qunut nawazil.

 

Al-Bukhari dan Muslim telah mengeluarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu:

 

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوْعِ

 

“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ, jika beliau ingin mendo’akan keburukan atas seseorang atau mendo’akan kebaikan bagi seseorang, maka beliau qunut setelah ruku’.” ([2])

 

Al-Hafizh berkata di dalam al-Fath (2/569), “Keseluruhan riwayat yang telah datang dari Anas, di antaranya adalah disebutkan bahwa qunut untuk satu hajat (keperluan, yaitu nazilah) setelah ruku’ adalah tidak ada khlilaf darinya tentangnya. Adapun untuk selain hajat (keperluan) maka yang shahih adalah dilakukan sebelum ruku’. Sementara telah terjadi perselisihan amaliah para sahabat pada yang demikian. Dan yang zhahihr (nyata) bahwa ia adalah termasuk bagian dari ikhtilaf (perselisihan) yang mubah.” Selesai.

 

Dan sungguh qunut setelah ruku’ telah valid dari sejumlah para sahabat; diantara mereka adalah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘aliy, dan Ubay bin Ka’b. Dan telah valid juga qunut sebelum ruku’ dari Ibnu ‘Umar, dan Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhum.

 

Kesimpulan dari permasalahan ini adalah bahwa disyari’atkannya qunut di dalam shalat witir, dan tempatnya adalah khilaf yang diperbolehkan, dan yang menyelisihi diberikan udzur dan tidak boleh di ingkari.” ([3])

 

(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthaa-unaa Fii Ramadhaan; al-Akhthaa` al-Khaashshah Bishalaatil Witri Wa Du’aa-i al-Qunuuti Fiihaa, Syaikh Nada Abu Ahmad)

 

_____________________________________________________________

Footnote:

([1]) HR. Ibnu Majah (1182), an-Nasa-iy (1699), al-Baihaqiy dalam al-Kubra (4639), dishahihkan oleh al-Albaniy dalam al-Irwa` (426) dan Sifatu as-Shalaah hal. 179, lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (29/198)-pent

([2]) HR. Al-Bukhari (4284), Muslim (Ahmad (7485), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (28/220)-pent

([3]) Lihat Syarhu as-Sunnah, al-Baghawiy (3/126)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *