Mereka Yang Dirahmati (21) Mereka Yang Shalat Malam Dan Membangunkan Keluarga

 

Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

«رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِى وَجْهِهَا الْمَاءَ وَرَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِى وَجْهِهِ الْمَاءَ»

 

“Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang dia bangun di bagian malam hari, lalu dia shalat kemudian membangunkan istrinya, lalu sang istripun shalat; jika sang istri enggan, maka lelaki itupun memercikkan air pada wajah sang istri. Dan semoga Allah merahmati seorang wanita yang dia bangun di bagian malam hari, lalu dia shalat, kemudian dia membangunkan suaminya, lalu sang suamipun shalat; dan jika sang suami enggan, maka wanita itupun memercikkan air pada wajah sang suami.”

 

Sufyan berkata, “Dia percikkan (air) pada wajah suaminya dan mengusapnya.” ([1])

 

Al-‘Azhiim Aabadiy([2]) berkata

 

[قَامَ مِنَ اللَّيْلِ] “Dia bangun dari malam”, yaitu sebagian malam.

 

[فَصَلَّى] “lalu dia shalat”, yaitu shalat tahajjud.

 

[وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ] “dan ia membangunkan istrinya”, dengan peringatan atau nasihat; dan pada maknanya ada makna mahrammahramnya.

 

[فَصَلَّتْ] “lalu sang istripun shalat” apa yang telah ditetapkan oleh Allah baginya, sekalipun hanya satu rakaat.

 

[فَإِنْ أَبَتْ] “jika sang istri enggan” yaitu menolak karena terlelap, dan banyaknya rasa malam.

 

[نَضَحَ] “memercikkan” [فِى وَجْهِهَا الْمَاءَ] “air pada mukanya” dan yang dimaksud adalah bersikap lemah lembut kepada sang istri, dan berupaya untuk membuat dia melaksanakan ketaatan kepada Tuhannya betapapun kemungkinan kemampuannya. Allah subhaanahu wata’aalaa berfirman:

 

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

 

“Dan bertolong menolonglah kalian di atas kebaikan dan ketakwaan.”

 

Dan ini menunjukkan bahwa memaksa seseorang di atas kebaikan adalah boleh dan bahkan dianjurkan.

 

[قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ] “sang istri bangun di sebagian malam” yaitu dia diberi taufik dengan lebih dulu bangun malam.

 

[فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا] “lalu dia shalat, lantas membangunkan suaminya” huruf wawu adalah untuk kemutlakan penggabungan. Dan pada pengurutan penyebutannya terdapat isyarat lembut yang tidak samar.

 

[فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهه الْمَاء] “jika sang suami enggan, maka sang istri memercikkan air pada wajah sang suami” dan di dalamnya terdapat penjelasan akan bagusnya pergaulan, dan sempurnanya kelemah lembutan dan keserasian.

 

Al-Munawiy([3]) berkata:

 

[رَحِمَ اللهُ] “Semoga Allah merahmati” ia adalah fi’il madhi dengan makna tuntutan (harapan, permohonan, do’a)

 

[رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ] “seorang lelaki yang bangun dari bagian malam” yaitu bangun setelah tidur, dimana tidak disebut tahajjud kecuali shalat setelah tidur.

 

[فَصَلَّى] “lalu dia shalat” yaitu sekalipun satu rakaat karena sebuah khobar:

 

عَلَيْكُمْ بِصَلَاةِ اللَّيْلِ وَلَوْ رَكْعَةً

 

“Kalian harus shalat malam sekalipun satu rakaat”.

 

[وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ] “lalu dia membangunkan istrinya” pada satu riwayat [أَهْلَهُ] “keluarganya” dan ia lebih umum.

 

[فَصَلَّتْ فَإِنْ أَبَتْ] “lalu sang istri shalat, dan jika sang istri enggan” untuk bangun

 

[نَضَحَ] “sang suami memercikkan”

 

[فِى وَجْهِهَا الْمَاءَ] “air pada wajah suaminya” dan diberikan perhatian dengannya pada apa yang pada makna air, berupa air kembang mawar atau bunga (lain); dan dikhususkan wajah dengan pemercikannya karena kemuliaannya. Dan dikarenakan wajah adalah tempatnya sensitifitas yang dengan penguasaan bisa di dapat. Dan di dalamnya terdapat anjuran memerintah istri untuk shalat dan membangunkannya untuk itu; dan sebaliknya.

 

[رَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِى وَجْهِهِ الْمَاءَ] “semoga Allah merahmati seorang wanita yang dia bangun dari bagian malam, lalu dia shalat, kemudian dia bangunkan suaminya, lalu sang suami shalat; maka jika sang suami enggan bangun, maka sang istri memercikkan air pada wajah sang suami” memberikan faidah sebagaimana perkataan at-Thiibiy rahimahullah:

 

“Barangsiapa mendapatkan kebaikan, maka selayaknyalah baginya untuk menyukai bagi orang selain diri apa yang dia sukai untuk dirinya sendiri, dia diapun mengambil untuk yang terdekat kemudian yang terdekat. Maka sabda beliau “semoga Allah merahmati seorang lelaki yang melakukan demikian” adalah sebuah peringatan bagi umat akan keudukan memercikkan air kepada wajah untuk membangunkan orang yang sedang tidur. Yang demikian itu bahwa al-Mushthafa shallallaahu ‘alaihi wa sallam, saat beliau mendapatkan apa yang beliau dapatkan dengan tahajjud berupa kemuliaan, maka beliau ingin agar satu bagian besar darinya didapatkan oleh umat beliau. Maka beliau memotivasi mereka untuk shalat malam seraya berpaling dari bentuk perintah dalam rangka untuk berlemah lembut.

 

Maka sesungguhnya shalat malam adalah kebiasaan orang-orang shalih, dan perniagaan orang-orang mukmin, serta amaliahnya orang-orang yang beruntung. Maka di malam hari, kaum mukminin berkhalwat dengan Tuhan mereka, mereka menghadap kepada Sang Pencipta mereka, lalu mengadukan keadaan-keadaan mereka kepada-Nya, memohon bagian dari karunia-Nya kepada-Nya. Maka jiwa-jiwa mereka berdiri tegak dihadapan Penciptanya, diam bermunajat kepada Pencipta-Nya, bernafas dengan hembusan angin tersebut, mengambil bagian dari cahaya-cahaya qurbah tersebut, sangat berharap lagi mengiba kepada agungnya pemberian dan anugerah-Nya.

 

(30 Sababan Li Tunaala Rahmatullaahi Ta’aalaa, Abu Abdirrahman Sulthan ‘Aliy, alih bahasa Muhammad Syahri)

________________________________________

Footnote:

([1]) HR. Ahmad, Abu Dawud dan ini adalah lafazhnya, an-Nasa-iy, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya, dan al-Hakim seraya berkata, ‘Shahih menurut syarat Muslim’. As-Syaikh al-Albaniy berkata, ‘Shahih.’ Lihat hadits no. 3494 dalam Shahiih al-Jaami’, dan dia menshahihkannya dalam Shahiih Abi Dawud, an-Nasa-iy dan Ibni Majah.

([2]) ‘Aunul Ma’buud (III/383)

([3]) Faidhul Qadiir (IV/34)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *