Berkata al-Állaamah Abdullah bin Husein bin Thahir Baálawiy rahimahullah:
وَالْإِنْتِمَاءُ إِلىَ غَيْرِ أَبِيْهِ أَوْ إِلىَ غَيْرِ مَوَالِيْهِ.
“Dan Berafiliasi (menasabkan diri) kepada selain bapaknya, atau menisbahkan diri kepada selian maulanya.”
Dalam banyak kesempatan, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa orang yang menasabkan dirinya kepada selain bapak kandungnya diancam sebagai orang kafir, dilaknat oleh Allah, para malaikat-Nya dan seluruh manusia. Bahkan Allah ﷻ tidak mau menerima ibadah yang wajib maupun yang sunnah darinya, dan surga diharamkan atas dirinya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لاتَرْغَبُوْا عَنْ اَبَا ئِكم، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ أَبِيْهِ فَهُوَ كُفْرٌ
“Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian. Barang siapa yang membenci bapaknya, maka dia telah kafir.[[1]]”([2])
Di antara sebab penyebutan istilah kafir dalam hadits di atas, karena penisbatan nasab seperti itu merupakan kedustaan atas nama Allah ﷻ. Seakan-akan dia berkata “saya diciptakan oleh Allah dari air mani si A (baca: bapak angkat)”, padahal tidaklah demikian, karena ia sebenarnya diciptakan dari air mani si B (bapak kandungnya).( [3])
Dalam hadits yang lain, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ ادَّعَى إِلىَ غَيْرِ أَبِيْهِ أَوْ انْتَمَى إِلىَ غَيْرِ مَوَالِيْهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً
“Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah.”([4])
Dalam sebuah hadits marfu’ dari Sa’d bin Abi Bakrah radhiyallaahu ‘anhu, disebutkan,
«مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، وَهُوَ يَعْلَمُ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ»
“Barangsiapa mengaku (bernasab) kepada selain ayahnya sedang dia mengetahui, maka haram baginya surga.”([5])
Abu Hurairah ﷻ meriwayatkan, bahwasanya ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, saat turun ayat mula’anah (Mula’anah; yakni saling melaknat antara suami dengan isteri karena tuduhan zina.),
«أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَدْخَلَتْ عَلَى قَوْمٍ مَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ، فَلَيْسَتْ مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ، وَلَنْ يُدْخِلَهَا اللهُ جَنَّتَهُ، وَأَيُّمَا رَجُلٍ جَحَدَ وَلَدَهُ، وَهُوَ يَنْظُرُ إِلَيْهِ، احْتَجَبَ اللهُ مِنْهُ، وَفَضَحَهُ عَلَى رُءُوسِ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ»
“Perempuan manapun yang menggolongkan (seorang anak) kepada suatu kaum, padahal dia bukan dari golongan mereka, maka Allah berlepas diri daripadanya dan tidak akan memasukkannya ke dalam Surga. Dan siapa dari laki-laki yang mengingkari anaknya padahal ia melihatnya (sebagai anaknya yang sah) maka Allah akan menutup diri daripadanya dan akan mempermalukannya di hadapan para pemimpin orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian.” ([6])
Dari Yazîd Ibnu Syarik Ibnu Thoriq ia berkata:
رَأَيْتُ عَلِيًّا ﷻ عَلى المِنْبَرِ يَخْطُبُ، فَسَمِعْتهُ يَقُولُ : لا واللهِ مَا عِنْدَنَا مِنْ كتاب نَقْرؤهُ إلاَّ كتاب اللهِ ، وَمَا في هذِهِ الصَّحِيفَةِ، فَنَشَرَهَا فَإذا فِيهَا أسْنَانُ الإبلِ ، وَأَشْيَاءُ مِنَ الجِرَاحاتِ ، وَفيهَا : قَالَ رَسولُ اللهِ ﷺ : المدِينَةُ حَرَمٌ مَا بَيْنَ عَيْرٍ إلى ثَوْرٍ ، فَمَنْ أحْدَثَ فيهَا حَدَثاً ، أوْ آوَى مُحْدِثاً ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ والمَلائِكَة وَالنَّاسِ أجْمَعِينَ ، لا يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَة صَرْفاً وَلا عَدْلاً ، ذِمَّةُ المُسْلِمِينَ وَاحِدَةٌ ، يَسْعَى بِهَا أدْنَاهُمْ ، فَمَنْ أخْفَرَ مُسْلِماً ، فَعلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّه والمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أجْمَعِينَ، لا يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْم الْقِيامَةِ صَرفاً ولا عدْلاً . وَمَنِ ادَّعَى إلى غَيْرِ أبيهِ ، أو انتَمَى إلى غَيْرِ مَوَاليهِ ، فَعلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالملائِكَةِ وَالنَّاسِ أجْمَعِينَ ، لا يقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامةِ صَرْفاً وَلا عَدْلاً »
“Aku melihat Ali Ibnu Abî Tholib ﷻ berdiri di atas mimbar berpidato, aku dengar ia berkata: “Tidak! Demi Allâh kami tidak punya kitab yang kami baca selain kitabullah (al-Quran) dan apa yang ada di shahifah (lembaran) ini” Lalu beliau menebarkannya, ternyata isinya adalah keterangan tentang umur-umur unta, dan keterangan mengenai denda luka-luka, dan di sana juga tertulis, Rasûlullâh ﷺ bersabda: “Kota Madinah adalah tanah haram antara ‘Air([7]) hingga Tsaur, maka barang siapa membikin-bikin perkara baru di sana, atau melindungi tukang bid’ah, baginya laknat Allâh, para malaikat, dan manusia seluruhnya, Allâh tidak akan menerima taubah dan tebusannya pada hari kiamat nanti. Perjanjian (jaminan keamanan) kaum muslimin adalah satu (sama) berlaku juga bagi orang rendahan (yang tidak punya kedudukan, atau orang miskin, -pent) di antara mereka, maka barang siapa membatalkan (melanggar) jaminan keamanan seorang muslim, baginya laknat Allâh, para malaikat, dan manusia seluruhnya, Allâh tidak akan menerima tobat dan tebusan darinya kelak di hari kiamat. Dan barang siapa bernasab kepada selain bapaknya, atau mengelompokkan diri kepada selain majikannya, maka baginya laknat Allâh, para malaikat, dan manusia seluruhnya, Allâh tidak akan menerima tobat serta tebusan darinya kelak di hari kiamat.”([8])
Dari Abû Dzar radhiyallaahu ‘anhu, sesungghnya ia mendengar Rasûlullâh ﷺ bersabda:
« لَيْسَ منْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْر أبيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إلاَّ كَفَرَ ، وَمَنِ ادَّعَى مَا لَيْسَ لهُ ، فَلَيْسَ مِنَّا ، وَليَتَبوَّأُ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار ، وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ ، أوْ قالَ : عدُوَّ اللهِ ، وَلَيْسَ كَذلكَ إلاَّ حَارَ عَلَيْهِ »
“Tidak ada seorang yang bernasab kepada selain bapaknya padahal ia tahu, melainkan ia telah kafir, dan barang siapa mengaku-ngaku apa yang bukan miliknya, maka ia bukan termasuk golonganku, dan hendaknya ia persiapkan tempat duduknya di neraka, dan tidaklah seseorang memanggil saudaranya dengan sebutan kafir padahal tidak demikian, melainkan sebutan itu akan kembali kepadanya.”([9])
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,
«كَفَرَ مَنْ تَبَرَّأَ مِنْ نَسَبٍ وَإِنْ دَقَّ أَوْ ادَّعَى نَسَبًا لَا يُعْرَفُ»
“Telah kufur orang yang berlepas diri dari suatu nasab, sekalipun detail, atau dia mengeklaim sebuah nasab yang tidak diketahui.”([10])
Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
«إنَّ لِلهِ عِبَادًا لَا يُكَلِّمُهُمْ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَا يَنْظُرُ إلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ، قِيلَ وَمَنْ أُولَئِكَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ مُتَبَرِّئٌ مِنْ وَالِدَيْهِ رَاغِبٌ عَنْهُمَا، وَمُتَبَرِّئٌ مِنْ وَلَدِهِ، وَرَجُلٌ أَنْعَمَ عَلَيْهِ قَوْمٌ فَكَفَرَ نِعْمَتَهُمْ وَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ»
“Sesungguhnya Allah memiliki para hamba yang Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, dan Dia tidak akan mensucikan mereka, tidak juga akan melihat kepada mereka. Dan bagi mereka ada adzab yang pedih.’ Maka dikatakan kepada beliau, ‘Siapakah mereka itu wahai Rasulullah? Maka beliau ﷺ menjawab, ‘Yang berlepas diri dari kedua orang tuanya, lagi benci kepada keduanya; dan orang yang berlepas diri dari anaknya,serta orang yang suatu kaum telah memberikan nikmat kepadanya (dengan memerdekakannya dari perbudakan), lalu dia mengkufuri nikmat mereka tersebut dan berlepas diri dari mereka (dengan tidak mau mewala`kan dirinya kepada mereka.’([11])
(Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)
__________________________________
Footnote:
([1]) Kekafiran yang dimaksud disini, ialah bukan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena menurut Ahlus-Sunnah, seorang muslim tidak dikafirkan lantaran dosa besar yang dilakukannya. Jadi makna yang mungkin, yaitu mendekati kekufuran atau benar-benar kafir, apabila sang pelaku menghalalkan perbuatan dosa tersebut. Diringkas dari al-Minhaj, karya an-Nawawi ketika menjelaskan hadits nomor 212.
([2]) HR. al-Bukhari (6768), Muslim (215)
([3]) Lihat al-Fath (12/67), hadits no. 6768.
([4]) HR. Muslim (3314 dan 3373)
([5]) HR. Al-Bukhari (4326), lihat Fathul Bari, 8/45
([6]) HR. Abu Daud (2263), lihat Misykatul Mashabih, 3316
([7]) ‘Air adalah dua gunung merah, terletak di samping kanan anda ketika anda berada di dasar lembah al-Aqiq yang menuju arah Makkah, dan di samping kiri anda ada (Syauran) yaitu, gunung yang menghadap bendungan. Sebagaimana terdapat dalam kitab Mu’jamul buldan.” Dan Tsaur adalah gunung yang berada di balik gunung Uhud.
([8]) HR. Al-Bukhârî (3008), Muslim (1370), Abu Dawud (2034), at-Tirmidzi (2127), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (8/399)
([9]) HR. Al-Bukhârî (3317) Muslim (61) dan ini redaksi Muslim, lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (5/354)
([10]) Syaikh Hazim al-Qadhi berkata, ‘Hasan, HR. Ahmad (II/215), at-Thabraniy dalam as-Shaghir (II/108), Shahihul Jami’ (4485,4486)’
([11]) Syaikh Hazim al-Qadhi berkata, ‘HR. Ahmad (III/44), al-Haitsami berkata, ‘Di dalamnya berdapat Zabaan bin Faid, dan didha’ifkan oleh Ahmad, Ibnu Ma’in, dan Abu Hatim berkata, ‘Shalih.’ Lihat Majma’ az-Zawaid (V/15)