10. Kesalahan sebagian orang, yaitu membatalkan witir dengan satu rakaat sunnah, dan yang demikian jika dia ingin untuk shalat lagi setelah witir.
Dimana mereka shalat bersama imam, shalat witir, lalu jika salah seorang dari mereka ingin shalat lagi setelah itu, maka dia datangkan satu rakaat witir yang dengannya dia menggenapkan witir(nya bersama imam), kemudian setelah itu dia shalat malam sekehendaknya, kemudian setelah itu, dia tutup shalatnya dengan shalat witir. (Hal ini dilakukan) adalah dalam rangka mengamalkan sabda Nabi H:
«اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا»
“Jadikanlah akhir shalat kalian di malam hari dengan shalat witir.” (HR. Al-Bukhari Muslim) ([1])
Perbuatan ini adalah salah karena beberapa perkara; diantaranya:
1) Sesungguhnya witir yang tetap berada pada keabsahannya, maka tidak diarahkan untuk membatalkannya setelah selesainya. Dan tidak berbalik ke shalat sunnah dengan menggenapkannya.
2) Bahwasannya shalat sunnah satu rakaat tidak dikenal di dalam syari’at, dikarenakan orang yang melakukan shalat satu rakaat untuk menggenapkan shalat witir dengannya, sementara dia meniatkan satu rakaat ini sebagai shalat sunnah dan tidak dengan niat witir, karena dia tahu bahwa tidak ada dua witir dalam satu malam, sebagaimana telah diberitakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang yang demikian. Dan hadits tersebut ada pada riwayat at-Tirmidzi, Abu Dawud dan an-Nasa-iy. Lalu dia shalat satu rakaat sunnah, maka ini tidak dikenal di dalam syari’at.
Akan tetapi yang benar adalah, jika dia telah witir, kemudian tampak baginya untuk shalat lagi setelah itu, maka silahkan shalat, dan telah shahih yang demikian dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
At-Tirmidzi dan Ibnu Majah telah mengeluarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anha,
أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْكَعُ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْوِتْرِ وَهُوَ جَالِسٌ
“Bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat dua rakaat setelah witir, sementara beliau sambil duduk.” ([2])
Al-‘Iraqiy rahimahullah berkata -sebagaimana telah dinukil oleh as-Syaukaniy di dalam Naiu al-Authar (3/55)-, “Kepada yang demikianlah mayoritas para ulama berpendapat; yaitu berpendapat kepada tidak adanya pembatalah witir, lalu mereka berkata,
إِنَّ مَنْ أَوْتَرَ وَأَرَادَ الصَّلَاةَ بَعْدَ ذَلِكَ لَا يُنْقِضُ وِتْرَهُ وَيُصَلِّيْ شَفْعًا حَتَّى يُصْبِحَ
“Sesungguhnya orang yang telah witir, lalu dia ingin shalat lagi setelah itu, dia tidak membatalkan witirnya, kemudian dia shalat genap hingga subuh.”
(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthaa-unaa Fii Ramadhaan; al-Akhthaa` al-Khaashshah Bishalaatil Witri Wa Du’aa-i al-Qunuuti Fiihaa, Syaikh Nada Abu Ahmad)
_____________________________________________________________
Footnote:
([1]) HR. Al-Bukhari (953), Muslim (751), Abu Dawud (1438), Ahmad (4710), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (27/108)-pent
([2]) HR. Ibnu Majah (1195), at-Tirmidzi (471), Ahmad (26595, 26185), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (27/76)-pent