8. Kesengajaan Imam Meninggikan Suara Tangisannya.
Ada di antara para imam yang bertakalluf (memaksakan diri) untuk menangis dan membuat-buatnya menangis, dia sengaja untuk menampakkannya untuk membuat orang yang di belakangnya menangis. Maka semua ini menyelisihi jalan dan petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sementara yang merupakan bagian dari petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau biasa menutupinya, lalu terdengar dari dada beliau suara desis nafas (karena menahan tangis).
Sebagaimana telah datang di dalam hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dari ‘Abdullah bin as-Syikhkhiir radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata,
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُصَلِّيْ، وَلِجَوْفِهِ أَزِيْزٌ كَأَزِيْزِ الْمِرْجَلِ
“Aku pernah mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sementara beliau sedang shalat, dan di dada beliau ada suara dengusan (karena menahan tangis) seperti gemuruhnya ketel (air yang mendidih).” ([1])
Dan ini adalah kondisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam tangisan, tidak sebagaimana dilakukan oleh sebagian imam, berupa tangisan keras, dan ratapan.
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata, sebagaimana di dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan di dalam Hilyatu al-Auliyaa` (1/130):
«يَنْبَغِي لِحَامِلِ الْقُرْآنِ أَنْ يُعْرَفَ بِلَيْلِهِ إِذَا النَّاسُ نَائِمُونَ، وَبِنَهَارِهِ إِذَا النَّاسُ يُفْطِرُونَ، وَبِحُزْنِهِ إِذَا النَّاسُ يَفْرَحُونَ، وَبِبُكَائِهِ إِذَا النَّاسُ يَضْحَكُونَ، وَبِصَمْتِهِ إِذَا النَّاسُ يَخْلِطُونَ، وَبِخُشُوعِهِ إِذَا النَّاسُ يَخْتَالُونَ، وَيَنْبَغِي لِحَامِلِ الْقُرْآنِ أَنْ يَكُونَ بَاكِيًا مَحْزُونًا حَكِيمًا حَلِيمًا عَلِيمًا سِكِّيتًا، وَلَا يَنْبَغِي لِحَامِلِ الْقُرْآنِ أَنْ يَكُونَ جَافِيًا، وَلَا غَافِلًا، وَلَا صَخَّابًا، وَلَا صَيَّاحًا، وَلَا حَدِيدًا»
“Selayaknyalah bagi pembawa al-Qur`an untuk dikenal dengan (shalat) malam hari mereka jika manusia sedang tidur, dan (dikenal) dengan (puasa) siang harinya jika manusia berbuka, dan (dikenal) dengan kesedihannya jika manusia bersenang-senang, dan (dikenal) dengan tangisannya jika manusia tertawa-tawa, dan (dikenal) dengan ketenangannya jika manusia bergaul, dan (dikenal) dengan kekhusyu’annya jika manusia angkuh. Dan selayaknyalah bagi pembawa al-Quran untuk menjadi orang gampang menangis, gampang bersedih, orang yang bijak, santun, berilmu lagi suka diam. Dan tidak selayaknyalah bagi pembawa al-Qur`an untuk menjadi orang yang keras hati, tidak juga lalai, tidak juga suka kepada keributan, tidak juga orang yang suka teriak-teriak, dan tidak juga menjadi orang yang tajam (hati dan lisannya).”
Keadaan salaf saat menangis:
Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata,
لَقَدْ أَدْرَكْتُ رِجَالًا كَانَ الرَّجُلُ يَكُونُ رَأْسُهُ مَعَ رَأْسِ امْرَأَتِهِ عَلَى وِسَادَةٍ وَاحِدَةٍ قَدْ بُلَّ مَا تَحْتَ خَدِّهِ مِنْ دُمُوعِهِ لَا تَشْعُرُ بِهِ امْرَأَتُهُ وَلَقَدْ أَدْرَكْتُ رِجَالًا يَقُومُ أَحَدُهُمْ فِي الصَّفِّ فَتَسِيلُ دُمُوعُهُ عَلَى خَدِّهِ وَلَا يَشْعُرُ بِهِ الَّذِي إِلَى جَانِبِهِ
“Sungguh aku telah mendapati para tokoh, yang ada seseorang (dari mereka) kepalanya bersama dengan kepala istrinya di atas satu bantal, sementara apa yang ada di bawah pipinya telah basah karena air matanya sementara istrinya tidak menyadarinya. Dan sungguh aku mendapati para tokoh, yang salah seorang dari mereka berdiri di shaf, lalu mengalirlah air matanya pada pipinya, sementara orang yang ada di sisinya tidak menyadarinya.” ([2])
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَجْلِسُ الْمَجْلِسَ؛ فَتَجِيْئُهُ عَبْرَتُهُ فَيَرُدُّهَا، فَإِذَا خَشِيَ أَنْ تُسْبِقَهُ قَامَ
“Sesungguhnya seseorang, benar-benar dia duduk (pada suatu) majelis, lalu datanglah kepadanya air mata kesedihannya, kemudian dia menahannya, lalu jika dia khawatir air mata itu mendahuluinya, dia berdiri.” ([3])
Dan inilah dia Ayyub as-Sikhtiyaaniy rahimahullah, jika dia memberikan mau’izhah lalu hatinya sendiri tersentuh, maka dia khawatir dari riya’, maka dia mengusap wajahnya seraya berkata, ‘Betapa beratnya penyakit flu tersebut.” ([4])
Maka semoga rahmat Allah tercurah kepada mereka, mereka telah memperbaiki keadaan mereka bersama Allah, maka Allah perbaiki keadaan mereka bersama manusia. Mereka tiak mencari-cari ketenaran, akan tetapi Allah abai melainkan menjadikan mereka tenar, disebut-sebut, dan majelis-majelis menjadi wangi dengan menyebut mereka.
Maka inilah dia Muhammad bin Aslam at-Thuusiy rahimahullah, dia biasa membaca al-Qur`an lalu menangis, maka jika dia ingin keluar, maka dia basuh wajahnya agar tidak terlihat adanya bekas tangisan padanya. Maka tatkala dia perbaiki amal rahasianya, dan mengkhawatirkan ketenaran, maka lihat apa yang terjadi saat kematiannya? Sejuta manusia menshalatinya, dan dikatakan juga satu juta seratus ribu manusia menshalatinya.
Peringatan penting:
Barangisiapa mampu untuk menutupi tangisannya, lalu dia tidak melakukannnya dan justru menampakkannya maka dia terjerumus ke dalam riya’.
Ibnul Jauziy rahimahullah berkata di dalam kitab Talbiis Ibliis (hal. 203), “Sungguh Iblis telah membuat pengaburan terhadap suatu kaum dari kalangan ahli ibadah; mereka biasa menangis sementara manusia ada disekitar mereka, dan ini kadang terjadi padanya, dan tidak memungkinkan baginya untuk menolaknya. Maka barangsiapa mampu untuk menutupinya, lalu dia menampakkannya, maka sungguh dia telah dihadapkan kepada riya’.
Muhammad Syuumaan ar-Ramliy berkata di dalam kitabnya Dumuu’ul Qurra` (hal. 1108), “Tangisan di saat mendengar al-qur`an dan pembacaannya, bukanlah suatu tujuan itu sendiri, dan bukanlah itu yang dimaksudkan sama sekali. Yang di maksud adalah kehadiran hati dan pentadabburannya saat dia membaca dan mendengarkannya. Lalu tadabbur tersebut membuatnya menangis karena iman dan yakin, karena berharap dan takut, dan karena kecintaan dan kerinduan. Maka perkara-perkara ini akan mengharuskannya untuk khudhu’, khusyu’, merendahkan diri dan hatinya, yang kemudian disertai oleh keterenyuhan hati dan tangisan.
Maka tangisan ini terpuji, dan dipujilah pelakunya. Bukannya sekedar tangisan yang lepas dari sebab yang telah saya sebutkan, yang telanjang dari kekhusyu’an yang telah kusifatkan. Dan juga bukan tangisan takalluf (dibuat-buat dengan memaksa-maksakan diri) atau yang diinginkan dengan tangisan itu adalah wajah makhluq.
Sungguh saya telah melihat banyak para qari’, terutama dari kalangan para imam masjid, mereka membuat-buat tangisan, dan bertakalluf hingga ke puncak takalluf. Anda akan temukan salah seorang dari mereka mendatangkan tangisan dan mengeluarkannya dari kepalanya dengan paksaan, kontradiktif dengan apa yang para salaf berdiri di atasnya; diman amereka menahan tangisan itu semampu mereka.
Dan selayaknyalah bagi sang qari’, jika dia shalat bersama manusia, agar dia samarkan tangisannya semampunya, dan apabila dia shalat seorang diri, maka silahkan menangis semaunya. Akan tetapi janganlah dia menceritakan hal itu kepada seorangpun setelahnya.
Sungguh aku telah melihat seseorang dari kalangan imam shalat bersiap-siap menangis sebelum shalat, dan melihat seseorang yang menyuruh maju seorang imam untuk mengimami shalat seraya berkata kepadanya, “Menangislah wahai Syaikh.’ Dan aku melihat orang yang menangis di tengah membaca surat al-Fatihah pada rakaat yang pertama, bahkan sesungguhnya sebagian mereka sungguh benar-benar keluar darinya lafazh takbiratul ihram yang tercekik oleh tangisan.
Tidaklah seperti ini para salaf; sungguh mereka biasa menangis pada tempat-tempat tangisan, dan mereka menangis karena sudah tidak kuat menahan, bukan karena dibuat-buat; mereka menangis karena apa yang tengah ditimbulan oleh ayat-ayat tersebut di dalam hati-hati mereka, berupa kekhusyu’an dan kelembutan; bukannya mereka menangis karena riya’ dan sum’ah.
Dan sungguh aku telah melihat orang yang hampir-hampir tidak bisa difahami bacaannya karena banyaknya tangisannya, dia menangis jika membaca ayat-ayat ancaman, dia menangis jika membaca ayat-ayat harapan, dia menangis jika membaca ayat-ayat talak, dan dia menangis jika membaca ayat-ayat warisan.
Sesungguhnya hal ini mengingatkan saya dengan sebuah hikayat, yang seperti anekdot, saya melihatnya di kitab Akhbaarul al-Hamqaa milik Ibnul Jauziy. Beliau rahimahullah berkata dari Abu ‘Utsman al-Jahizh, dia berkata, ‘Telah mengabarkan kepadaku Yahya bin Ja’far, dia berkata, ‘Saya memiliki seorang tetangga dari kalangan orang Persia. Adalah dia biasa menangis sepanjang malam. Maka suatu malam, tangisan dan ratapannya membuat saya terbangun, sementara dia tengah terisak-isak, dan memukuli kepala dan dadanya. Lalu mengulang-ulang satu ayat dari Kitaabullah subhaanahu wata’aalaa. Maka tatkala saya meliaht apa yang terjadi padanya, saya berkata, ‘Sungguh benar-benar aku akan mendengarkan ayat yang telah menghabisi orang ini.’ Rasa kantukku pun hilang, lalu aku benar-benar mendengarkannya, maka ternyata ayat itu adalah,
وَيَسئَلُونَكَ عَنِ ٱلمَحِيضِ قُل هُوَ أَذٗى
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. (QS. Al-Baqarah: 222) Selesai ungkapan dari Ibnul Jauziy rahimahullah.
Suatu kali, saya shalat di belakang sebagian mereka, lalu dia meratap sepanjang shalat, sementara sebagian orang yang dibelakangnya menangis, lalu mereka berbicara dengan do’a dan niyahah dan sesenggukan (ta-awwuh– mengeluarkan suara uwwwww) di dalam shalat dan di tengah bacaan al-Quran!!! Lalu mereka mengeluarkan tisu-tisu dari kantung saku mereka, mengusap wajah-wajah mereka, dan bergerak-gerak demikian… dan demikian…” selesai dengan ringkasan.
(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthaa-unaa Fii Ramadhaan; al-Akhthaa` Allatii Yaqo’u Fiiha al-Aimmah ‘Inda Shalaati al-Qiyaam wa at-Taraawiih, Syaikh Nada Abu Ahmad)
_____________________________________________________________
Footnote:
([1]) HR. Abu Dawud (904), Ahmad (16355), Ibnu Hibban (753), al-Hakim (971), an-Nasa-iy dalam al-Kubra (544), Abu Ya’la (1599), Ibnu Khuzaimah (900), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (25/493)-pent
([2]) Hilyatu al-Auliyaa` wa Thabaqaatu al-Ashfiyaa` (2/347)-pent
([3]) Az-Zuhdu, Imam Ahmad, hal. 262
([4]) Al-Mudhisy, Ibnul Jauziy