6. Membaca Do’a Khatam al-Qur`an Di Dalam Shalat
Sebagian imam berlebih-lebihan di dalam yang demikian; mereka mengarang do’a-do’a di atas nada-nada tertentu dan dengan selalu bersajak; mengupayakan tangisan dan berusaha untuk menangis dan mengkhusyuk-khusyukkan; disertai dengan pengubahan suara yang tidak perlu. Padahal berdo’a saat khatam al-Qur`an di dalam shalat tidak ada satu dalilpun yang shahih lagi marfu’ kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak melakukannya, tidak juga para khalifah beliau ar-Raasyiduun (yang mendapatkan petunjuk). Orang yang melakukannya hanyalah karena melihat dan mendengar perbuatan salaf, berupa berdo’a saat khatam al-Qur`an di luar shalat. Demikian juga karena memperhatikan dalil-dalil berdo’a secara umum. Maka hal seperti ini tidaklah cukup dalam beristidlal akan disyari’atkannya berdo’a saat khatam al-Qur`an di dalam shalat. Lebih-lebih lagi bersandar kepada mereka yang telah bertakalluf (berlebih-lebihan, memaksa-maksakan diri) dengan melakukan apa yang telah kami sebutkan saat khatam al-Qur`an, lalu mereka memanjangkan do’a tersebut dengan sangat panjang yang membosankan, dan mengarang do’a-do’a bersajak lagi dipaksa-paksakan. Maka seandainya mereka, saat khatam al-Qur`an di dalam shalat, mereka datang dengan sebagian do’a-do’a yang jami’ah (do’a Nabi yang mencakup makna yang luas) lagi singkat dan memperhatikan perbuatan sebagian salaf di luar shalat; maka pastilah perkara tersebut menjadi lebih mudah. Bersamaan dengan (ketentuan) bahwa yang paling utama dan paling afdhal adalah meninggalkan yang ini dan yang itu, lalu konsisten dengan perkara yang salafnya umat ini, dari kalangan para sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan yang mengikuti mereka dengan baik berdiri di atasnya.
Dan adapun do’a yang populer di sisi manusia yang bermula dengan ucapan mereka,
صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ الَّذِيْ لَمْ يَزَلْ عَلِيْمًا قَدِيْرًا، صَدَقَ اللهُ، وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللهِ قِيْلاً، صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ، وَبَلَّغَ رَسُوْلُهُ الْكَرِيْمُ، وَنَحْنُ عَلَى مَا قَالَ رَبُّنَا مِنَ الشَّاهِدِيْنَ، وَلِمَا أَوْجَبَ غَيْرُ جَاحِدِيْنَ……..إلخ
“Maha Benar Allah Yang Maha Agung, yang tiada hentinya dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. Maha Benar Allah, dan siapakah yang lebih jujur ucapannya daripada Allah. Maha Benar Allah Yang Maha Agung, Rasul-Nya yang mulia telah menyampaikan (risalah), dan kami termasuk orang-orang yang bersaksi akan apa yang telah difirmankan oleh Tuhan kami, dan kepada apa yang telah Dia wajibkan (kami) bukanlah (termasuk) orang-orang yang menentang…” hingga akhir.
Maka do’a ini adalah do’a yang tidak ada asal usulnya. Dan yang lebih utama adalah menjauhinya, terutama lagi jika hal itu menyebar di sisi manusia. Hingga sebagian mereka menyangkanya sebagai bagian dari sunnah. Maka seandainya seseorang meninggalkannya, maka pastilah mereka akan mengingkarinya seraya berkata, ‘Engkau telah menyelisihi sunnah.’
Peringatan:
Telah berlalu melewati kita, bahwa tidak ada satu dalilpun dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga dari salah seorangpun dari kalangan para sahabat beliau radhiyallaahu ‘anhum akan disyari’atkannya do’a khatam al-Qur`an di dalam shalat; baik dari seorang imam ataupun yang shalat sendirian; baik sebelum ruku’ ataupun sesudahnya; di dalam tarawih ataupun selainnya. Akan tetapi telah datang di dalam al-Inshaaf (2/186) bahwa al-Mardawiy telah menukil dari Imam Ahmad rahimahullah bahwa beliau pernah ditanya, “Al-Quran telah dikhatamkan di dalam shalat witir, lalu dia berdo’a?” Maka Imam Ahmad mempermudahnya.
Dan batasan maksimal yang dengannya Imam Ahmad rahimahullah berdalil denganya akan disunnahkannya berdo’a selepas khatam al-Qur`an di dalam shalat tarawih sebelum ruku’ adalah bahwa ia adalah termasuk amaliyah para Tabi’in di Makkah dan Bashrah.
Akan tetapi perkara itu, sebagaimana telah dikatakan oleh Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhu,
كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ يَتَعَبَّدْ بِهَا أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا تَعَبَّدُوْهَا، فَإِنَّ الْأَوَّلَ لَمْ يَدَعْ لِلْآخَرِ مَقَالاً، فَاتَّقُوا اللهَ يَا مَعْشَرَ الْقُرَّاءِ، وَخُذُوا بِطَرِيْقِ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Setiap ibadah yang para sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak beribadah dengannya, maka janganlah kalian beribadah dengannya. Dikarenakan generasi yang pertama tidak meninggalkan satu perkataanpun (yang ditinggalkan) untuk orang yang belakangan. Maka takutlah kalian kepada Allah, wahai sekalian para qari’, dan ambillah jalannya orang yang telah ada sebelum kalian (pendahulu kalian).”
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata di dalam as-Syarhu al-Mumti’ (4/57),
إِنَّ دُعَاءَ خَتْمِ الْقُرْآنِ فِيْ الصَّلَاةِ لَا أَصْلَ لَهُ، وَلَا يَنْبَغِيْ فِعْلُهُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ مِنَ الشَّرْعِ عَلَى أَنَّ هَذَا مَشْرُوْعٌ فِي الصَّلَاةِ. أهـ
“Sesungguhnya do’a khatam al-Qur`an di dalam shalat tidak ada asal muasalnya. Dan tidak selayaknya melakukannya hingga berdiri tegak satu dalil dari syari’at yang menjelaskan bahwa hal ini disyari’atkan di dalam shalat.” Selesai.
Dan adapun di selain shalat:
Maka tidak ada yang valid juga sesuatupun dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi telah valid dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia biasa mengumpulkan keluarganya lalu berdo’a.
Dan hadits tersebut dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya, ad-Darimiy dalam Sunannya, Ibnul Mubarak dalam az-Zuhdu dari Tsabit al-Bunnaniy, Ibnu ‘Athiyah dan selain mereka,
أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا خَتَّمَ الْقُرْآنَ جَمَعَ أَهْلَهُ وَوَلَدَهُ فَدَعَا لَهُمْ
bahwa Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, adalah kebiasaannya jika mengkhatamkan al-Qur`an maka dia kumpulkan keluarga dan anak-anaknya lalu berdo’a untuk mereka.” ([1])
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam Jalaa`u al-Afhaam (hal. 288): “Imam Ahmad rahimahullah telah mencatat do’a selepas khatam al-Qur`an. Lalu beliau berkata di dalam riwayat Ibnu al-Haarits:
كَانَ أَنَسٌ إِذَا خَتَمَ الْقُرْآنَ جَمَعَ أَهْلَهُ وَوَلَدَهُ
“Adalah Anas, jika dia mengkhatamkan al-Qur`an, maka dia kumpulkan keluarganya (istrinya) dan anaknya.”
Beliau berkata di dalam riwayat Yusuf bin Musa:
وَقَدْ سُئِلَ عَنِ الرَّجُلِ يَخْتِمُ الْقُرْآنَ فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ قَوْمُهُ فَيَدْعُوْنَ: قَالَ: نَعَمْ. رَأَيْتُ مَعْمَراً يَفْعَلُهُ إِذَا خَتَمَ
“Dia ditanya tentang seseorang yang mengkhatamkan al-Qur`an, lalu kaumnya berkumpul kepadanya kemudian mereka berdo’a.’ Maka Imam Ahmad menjawab, “Ya, aku melihat Ma’mar melakukannya jika dia khatam al-Qur`an.”
Beliau berkata di dalam riwayat Harb,
اسْتُحِبَّ إِذَا خَتَمَ الرَّجُلُ الْقُرْآنَ أَنْ يَجْمَعَ أَهْلَهُ وَيَدْعُو
“Disunnahkan, jika seseorang mengkhatamkan al-Qur`an untuk mengumpulkan keluarganya lalu berdo’a.” Selesai.
Dan telah datang di dalam Siyaru A’laami an-Nubalaa` (11/176), dari Shalih bin Ahmad bin Hanbal, dia berkata,
كَانَ أَبِيْ يَخْتِمُ مِنْ جُمْعَةٍ إِلَى جُمْعَةٍ، فَإِذَا خَتَمَ يَدْعُو وَنُؤَمِّنُ.
“Adalah bapakku biasa mengkhatamkan al-Qur`an dan jum’at ke jum’at, lalu jika beliau khatam, maka beliau berdo’a dan kami mengamini.”
Dan tidak terlarang setelah mengkhatamkan al-Qur`an untuk mengumpulkan orang-orang shalih agar mereka mengamini do’anya; dikarenakan rahmat turun saat mengkhatamkan al-Qur`an.
Ibnu Abi Syaibah dan ad-Darimiy telah mengeluarkan hadits dari al-Hakam bin ‘Utaibah, dia berkata,
كَانَ مُجَاهِدٌ، وَعَبْدَةُ بْنُ أَبِي لُبَابَةَ، وَنَاسٌ يَعْرِضُونَ الْمَصَاحِفَ، فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ الَّذِي أَرَادُوا أَنْ يَخْتِمُوا أَرْسَلُوا إِلَيَّ وَإِلَى سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ فَقَالُوا: “إِنَّا كُنَّا نَعْرِضُ الْمَصَاحِفَ فَأَرَدْنَا أَنْ نَخْتِمَ الْيَوْمَ، فَأَحْبَبْنَا أَنْ تَشْهَدُونَا، إِنَّهُ كَانَ يُقَالُ: إِذَا خُتِمَ الْقُرْآنُ نَزَلَتِ الرَّحْمَةُ عِنْدَ خَاتِمَتِهِ أَوْ حَضَرَتِ الرَّحْمَةُ عِنْدَ خَاتِمَتِهِ”
“Adalah Mujahid, ‘Abdah bin Abi Lubabah, dan manusia, mereka menampilkan mushhaf-mushaf (untuk mengkhatamkannya), maka tatkala ada pada hari yang mereka ingin untuk mengkhatamkannya, mereka mengutus utusan kepadaku dan kepada Salamah bin Kuhail seraya mereka berkata, “Sesungguhnya kami biasa menampilkan mushaf-mushaf (untuk mengkhatamkannya), maka hari ini, kami ingin mengkhatamkannya, kami senang jika Anda menyaksikan kami, karena sesungguhnya telah dikatakan, “Jika al-Qur`an dikhatamkan, rahmat turun pada saat pengkhatamannya, atau rahmat hadir saat pengkhatamannya.”
Dan pada riwayat Ibnu Abi Syaibah juga dari Mujahid bin Jabr, dia berkata,
الرَّحْمَةُ تَتَنَزَّلُ عِنْدَ خَتْمِ الْقُرْآنِ
“Rahmat turun pada saat pengkhataman al-Qur`an.”
Dan yang paling utama pada zaman ini, yang sekiranya keikhlasan itu adalah perkara yang mulia, adalah menutupi amal-amal kebaikan yang dikerjakan oleh manusia di antara kita; dan di antaranya adalah membaca al-Qur`an, agar tidak terjerumus ke dalam riya`.
Dan benarlah Ibrahim at-Taimiy rahimahullah saat dia berkata,
الْمُخْلِصُ مَنْ يَكْتُمُ حَسَنَاتِهِ كَمَا يَكْتُمُ سَيِّئَاتِهِ.
“Orang yang ikhlash itu adalah orang yang menutupi kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia menutupi keburukan-keburukannya.”
Ibnul Jauziy rahimahullah berkata -sebagaimana di dalam Talbiis Ibliis: “Dan termasuk perkara paling menakjubkan yang kulihat ditengah mereka (manusia) adalah seorang lelaki yang biasa mengimami manusia shalat subuh pada hari jum’at, kemudian dia menoleh lalu membaca al-mu’awwidzatain, lalu berdo’a dengan do’a khatam al-Quran agar manusia mengetahui bahwa dia telah mengkhatamkan al-Qur`an. Dan hal ini bukanlah jalannya para salaf. Dikarenakan para salaf, mereka terbiasa menutupi ibadah-ibadah mereka. Adalah seluruh amaliah ar-Rabi’ bin Khtsyam (dilakukan) secara sembunyi-sembunyi, dan barangkali ada seorang yang masuk menemuinya sementara dia telah membuka mushhaf, maka dia menutupi mushaf tersebut dengan bajunya. Dan adalah Imam Ahmad bin Hanbal biasa rutin membaca al-Qur`an, dan tidak diketahui kapan beliau mengkhatamkannya.” Selesai.
Dan seandainya seseorang ingin melakukan apa yang biasa dilakukan oleh Anas radhiyallaahu ‘anhu` dengan sekiranya hanya mengumpulkan keluarga dan anak-anaknya saja, lalu berdo’a saat pengkhataman al-Qur`an, maka pastilah ini lebih utama dan lebih jauh dari sum’ah dan riya`; dan lebih bisa diharapkan turunnya rahmat terhadap anggota keluarganya.
(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthaa-unaa Fii Ramadhaan; al-Akhthaa` Allatii Yaqo’u Fiiha al-Aimmah ‘Inda Shalaati al-Qiyaam wa at-Taraawiih, Syaikh Nada Abu Ahmad)
_____________________________________________________________
Footnote:
([1]) HR. Ad-Darimiy (3474), dan sanadnya shahih, lihat Jami’ Shahiih al-Adzkaar Li Albaniy (2/6), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (17/153)-pent