3. Menggabungkan Beberapa Qiraat Di Dalam Shalat
Dan ini adalah bid’ah yang belum pernah dikenal di zaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pernah diperbuat oleh para salaf, bahkan ia adalah perkara muhdats (yang baru lagi dibuat-buat). ([1])
4. Mematuk Shalat Tarawih
Sebagian imam -semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka- pada banyak negeri-negeri Islam terbiasa meringankan shalat tarawih pada bentuk yang dengan sebabnya mereka akan terjerumus ke dalam pelanggaran terhadap rukun-rukun dan sunnah-sunnah shalat; seperti meninggalkan thumakninah di dalam ruku’ dan sujud, cepatnya membaca al-Qur`an, peleburan huruf–huruf sebagiannya kepada sebagian yang lain, senang pada ketergesaan di dalam shalat hingga mereka shalat dua puluh tiga rakaat dalam masa yang kurang dari dua puluh menit([2]), dan ini adalah termasuk sebesar-besarnya tipu daya syetan kepada ahlul iman, membatalkan amal orang yang mengamalkannya hingga shalatnya lebih dekat kepada permainan daripada ketaatan. Maka wajib bagi orang yang shalat, bagi shalat fardhu ataupun shalat sunnah untuk mendirikan shalat dengan bentuknya yang zhahir dan batin.
Yang zhahir berupa bacaan al-Qur`an, berdiri, ruku’, sujud, dan selainnya.
Yang batin berupa kekhusyu’an, kethumakninahan, kehadiran hati, kesempurnaan keikhlasan, bertadabbur, dan memahami makna-makna bacaan dan tasbih. ([3])
Syaikh ‘Aliy Mahfuzh rahimahullah berkata sebagaimana di dalam kitabnya al-Ibdaa’ Fii Madhaari al-Ibtidaa’ hal. 286,
وَأَشَدُّ كَرَاهَةٍ مِنْهُ صَلَاةُ التَّرَاوِيْحِ مَعَ التَّخْفِيْفِ الْمُفْرِطِ فِيْهَا، جَهْلاً مِنَ الْأَئِمَّةِ وَكَسْلاً مِنَ النَّاسِ، وَالْاِنْفِرَادُ فِيْ هَذِهِ الْحَالَةِ أَفْضَلُ مِنَ الْجَمَاعَةِ، بَلْ إِنَّ عِلْمَ الْمَأْمُوْمِ أَنَّ الْإِمَامَ لَا يُتِمُّ بَعْضَ الْأَرْكَانِ لَمْ يَصِحَّ اقْتِدَاءُهُ بِهِ أَصْلاً
“Dan yang lebih keras kemakruhannya daripadanya adalah shalat tarawih disertai dengan peringanan yang berlebihan di dalamnya karena sebab kebodohan dari para imam, dan karena sebab kemalasan dari manusia. Dan shalat sendirian pada kondisi seperti ini lebih utama dari pada shalat berjama’ah, bahkan pengetahuan makmum bahwa imam tidak menyempurnakan sebagian dari rukun-rukun shalat (menjadikan) tidak sah mengikuti imam tersebut sama sekali.” Selesai.
Imam Ahmad mengeluarkan hadits:
«أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلَاتِهِ»
“Manusia yang paling buruk pencuriannya adalah orang yang mencuri shalatnya.” ([4])
Adalah Imam Malik rahimahullah berkata,
فِيْ كُلِّ شَيْءٍ وَفَاءٌ وَتَطْفِيْفٌ، فَإِذَا تَوَعَّدَ اللهُ سُبْحَانَهُ بِالْوَيْلِ لِلْمُطَفِّفِيْنَ فِيْ الْأَمْوَالِ، فَمَا الظَّنُّ بِالْمُطَفِّفِيْنَ فِيْ الصَّلَاةِ؟
“Pada segala sesuatu ada kemanahan dan ada kecurangan; maka jika Allah subhaanahu wata’aalaa mengancam dengan kebinasaan bagi orang-orang yang curang (mengurangi takaran) di dalam harta, maka bagaimana pula terhadap orang-orang yang curang di dalam shalat?”
Dan termasuk bagian dari petunjuk salaf di dalam shalat tarawih adalah memanjangkan bacaan al-Qurannya hingga mereka bertumpu pada tongkat karena panjangnya berdiri.
Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata,
قَامَ بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى خَشِيْنَا أَنْ يَفُوْتَنَا الْفَلَاحُ (يَعْنِيْ السَّحُوْرُ)
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama kami hingga kami khawatir makan sahur terluput dari kami.” ([5])
(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthaa-unaa Fii Ramadhaan; al-Akhthaa` Allatii Yaqo’u Fiiha al-Aimmah ‘Inda Shalaati al-Qiyaam wa at-Taraawiih, Syaikh Nada Abu Ahmad)
_____________________________________________________________
Footnote:
([1]) Lihat al-Mi’yaar al-Mu’rab (12/356), penukilan dari Bida’u al-Qurra` al-Qadhiimah wa al-Mu’aashirah, Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid rahimahullah.
([2]) Bahkan di negeri kita ada yang shalat 23 Rakaat hanya dalam beberapa menit saja, tidak sampai 10 menit sudah selesai, laa haula walaa quwwata illaa billaah, semoga Allah memberikan petunjuk-Nya kepada kita semua.-pent
([3]) Sab’u Rasaa-il Fii Ramadhaan, Riyadh al-Huqail, hal. 59
([4]) HR. Ahmad (11549), al-Baihaqiy dalam Syu’abu al-Iiman (3115), Ibnu Huzaimah (663), Ibnu Hibban ( 1888), Shahiih al-Jaami’ (966, 986), Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (525, 533), Shifatu as-Shalat (hal. 131), al-Misykah (885), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (5/292)-pent
([5]) HR. An-Nasa-iy (1364), Abu Dawud (1375), Ibnu Majah (1327), at-Tirmidzi (806), dishahihkan oleh al-Albaniy dalam al-Irwa` (447), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (27/77)-pent