Berlepas Dirinya Rasulullah Dari Jimat

وَرَوَى الإِمَامُ أَحْمَدُ عَنْ رُوَيْفِعٍ قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ الله؟ : «يَا رُوَيْفِعُ، لَعَلَّ الحَيَاةَ تَطُولُ بِكَ، فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا, أَو اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ، فَإِنَّ مُحَمَّدًا بَرِيءٌ مِنْهُ».

 

Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Ruwaifi’ radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Ya Ruwaifi’, barangkali kehidupan akan menjadi panjang terhadapmu, maka beritakanlah kepada manusia bahwa orang yang mengikat jenggotnya, atau menggantungkan tali senar gendewa, atau beristinja’ dengan kotoran hewan atau tulang, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri darinya.”

 

Ruwaifi’:

 

Dia adalah Ruwaifi’ bin Tsabit bin as-Sakan bin ‘Adiy bin al-Harits dari Bani Malik bin an-Najjaar al-Anshariy, menjadi gubernur di Raqqah, Turbles, dan menaklukkan Afrika pada tahun 47 H, dan wafat di Raqqah tahun 56 H.

 

Kosakata:

 

(عَقَدَ لِحْيَتَهُ) dikatakan maknanya adalah apa yang biasa mereka kerjakan di dalam peperangan berupa memilinnya dan mengikatnya dalam rangka kesombongan. Dan dikatakan, maknanya adalah perawatan rambut; untuk mengikat dan mengeritingnya; untuk menghaluskan dan melembutkannya. Dikatakan juga artinya adalah mengikatnya di dalam shalat.

 

(تَقَلَّدَ وَتَرًا): menjadikannya tergantung di lehernya, atau di leher kendaraannya; dengan tujuan melindungi diri dari penyakit ‘ain.

 

(اسْتَنْجَى): yaitu menghilangkan kotoran dari tempat keluarnya.

 

(بِرَجِيعِ دَابَّةٍ): ar-rajii’ adalah kotoran hewan, disebut rajii’ karena ia kembali kepada kondisinya yang pertama setelah keberadaannya sebagai makanan hewan.

 

(بَرِيءٌ مِنْهُ): berlepas diri darinya; ini adalah sebuah ancaman keras pada hak orang yang telah melakukan perbuatan tersebut.

 

Makna global hadits:

 

Nabi memberitakan bahwa sahabat ini akan panjang usianya hingga mendapati manusia menyelisihi petunjuk beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah jenggot, hal mana petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah mengagungkan dan memuliakan jenggot; (sementara manusia menyelisihi petunjuk Nabi) hingga menyia-nyiakannya dengan bentuk menyerupai orang-orang ‘ajam padanya, atau dengan menyerupai orang-orang yang berkemewahan dan yang lembek (tidak stabil agamnya), atau (beliau akan mendapati) orang-orang yang melanggar aqidah tauhid; dengan menggunakan sarana-sarana kesyirikan, lelu merekapun mengenakan kalung-kalung atau mengenakan kalung-kalung itu pada tunggangan mereka, yang dengannya mereka berharap bisa menolak perkara yang tidak diharapkan; atau (beliau akan mendapati) orang yang melanggar apa yang telah dilarang oleh Nabi mereka, berupa beristijmar dengan kotoran dan tulang hewan. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan wasiat kepada sahabat beliau untuk disampaikan kepada umat, bahwa Nabinya telah berlepas diri dari orang yang telah melakukan sesuatu dari hal-hal tersebut.

 

Korelasi hubungan hadits bagi bab:

 

Bahwasannya di dalamnya terdapat larangan dari mengalungkan tali gendewa untuk tujuan menolak perkara yang tidak diharapkan, dan bahwa perbuatan itu adalah kesyirikan, dikarenakan tidak berkuasa untuk menolak perkara yang tidak diharapkan itu kecuali Allah subhaanahu wata’aalaa.

 

Faidah yang bisa diambil dari hadits:

 

  • Satu tanda dari tanda-tanda kenabian; dikarenakan usia Ruwaifi’ telah memanjang hingga tahun 56 H.
  • Wajibnya mengabarkan kepada manusia perkara yang mereka telah diperintah kepadanya dan perkara yang mereka telah dilarang darinya, dari segala perkara yang wajib mengerjakannya atau meninggalkannya.
  • Disyari’atkannya memuliakan jenggot dan membiarkannya memanjang, serta pengharaman menyia-nyiakan jenggot dengan mencukur, memangkas, mengikat ataupun mengkritingnya, dan penyia-nyiaan lainnya.
  • Pengharaman pemakaian kalung untuk menolak bahaya, dan bahwa ia adalah sebuah kesyirikan.
  • Pengharaman beristinja’ dengan kotoran dan tulang hewan.
  • Bahwasannya segala kesalahan ini adalah termasuk dosa-dosa besar.

 

Sumber:  at-Ta’liiq al-Mukhtashar al-Mufiid, Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *