Berkata al-Állaamah Abdullah bin Husein bin Thahir Baálawiy rahimahullah:
وَالشَّتْمُ وَالسَّبُّ وَاللَّعْنُ وَالْاِسْتِهْزَاءُ بِالْمُسْلِمِ وَكُلُّ كَلاَمٍ مُؤْذٍ لَهُ.
“Dan mencaci maki, mencela, melaknat, serta mengolok-olok seorang muslim, dan setiap kalimat yang menyakitinya.”
Haramnya Mencela Seorang Muslim
Imam Nawawi al-Bantaniy rahimahullah berkata,
(وَالشَّتْمُ) وَهُوَ وَصْفُ الْغَيْرِ بِمَا فِيْهِ نَقْصٌ وَازْدِرَاءٌ
‘as-Syatmu, adalah mensifati orang lain dengan apa-apa yang didalamnya terdapat kekurangan atau pelecehan.’([1])
Dari Ibnu Mas’ûd radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: “Rasûlullâh ﷺ bersabda:
« سِبَابُ المُسْلِمِ فُسوقٌ ، وقِتَالُهُ كُفْرٌ »
“Mencela seorang muslim adalah perbuatan fasik, sedang membunuhnya adalah tindakan kufur.”([2])
Dari Abû Dzar ﷻ sesungguhnya ia mendengar Rasûlullâh ﷺ bersabda:
«لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالفُسُوقِ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالكُفْرِ، إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ»
“Seseorang tidak melontarkan tuduhan fasik dan tidak juga melontarkan tuduhan kufur kepada orang lain kecuali kata-kata itu kembali kepada dirinya, apabila sahabatnya tadi tidak seperti itu.”([3])
Dari Abû Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, sesungguhnya Rasûlullâh ﷺ bersabda:
« المُتَسابانِ مَا قَالا فَعَلى البَادِي مِنْهُما حتَّى يَعْتَدِي المظلُومُ »
“Dua orang yang saling mencela, maka apa yang diucapkannya akan kembali kepada yang memulai di antara keduanya, sampai orang yang teraniaya itu melampaui batas.”([4])
Lebih-lebih lagi membuat orang tuanya dicaci oleh orang lain.
Dari ‘Abdullâh Ibnu ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma bahwasannya Rasûlullâh ﷺ bersabda:
« مِنَ الْكبائِرِ شتْمُ الرَّجلِ والِدَيْهِ ،» قالوا : يا رسولَ اللهِ وهَلْ يشْتُمُ الرَّجُلُ والِديْهِ ؟، قاـل : « نَعمْ ، يَسُبُّ أَبا الرَّجُلِ، فيسُبُّ أَباه ، ويسُبُّ أُمَّهُ ، فَيسُبُّ أُمَّهُ »
“Termasuk dosa-dosa besar adalah: mencaci maki orang tuanya sendiri!” Mereka bertanya: “Wahai Rasûlullâh, bagaimana seseorang mencaci maki orang tuanya sendiri?” Beliau menjawab: “Dia mencaci maki ayah orang lain lalu orang itu membalas dengan mencaci maki ayahnya, ia mencaci maki ibu orang lain dan orang itu ganti mencaci maki ibunya.”([5])
Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Haitsami rahimahullah berkata, ‘Jika ada seseorang mencaci orang lain, maka boleh bagi orang lain untuk mencacinya seukuran jumlah cacian yang mengenainya, dan tidak boleh baginya untuk mencaci bapak, tidak juga ibu pencaci. Namun dia hanya mencaci dengan yang tidak dusta, tidak juga tuduhan dusta, seperti mengatakan, wahai orang dungu, wahai orang zhalim. Karena hampir-hampir tidak ada seorangpun yang terlepas dari sifat itu pada sebagian waktu. Dikarenakan makna dungu (ahmaq) adalah meletakkan sesuatu pada yang bukan tempatnya, dan makna zhalim adalah melakukan perkara yang dilarang darinya, yaitu dia menzhalimi dirinya sendiri.’([6])
Haramnya melaknat yang tidak berhak dilaknat
Imam Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata,
إِمَّا لِحَيَوَانٍ أَوْ جَمَادٍ أَوْ إِنْسَانٍ وَكُلُّ ذَلِكَ مَذْمُوْمٌ
‘(Haramnya melaknat), bisa jadi untuk hewan, benda mati ataupun manusia. Semua itu adalah tercela.’([7])
Dari Ibnu Mas’ûd radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: “Rasûlullâh ﷺ bersabda:
« لَيْس المؤمِنُ بِالطَّعَّانِ ، ولا اللَّعَّانِ ولا الفَاحِشِ ، ولا البذِيِّ »
“Seorang mukmin bukanlah pencela, bukan pelaknat, bukan orang jorok, juga bukan orang suka bicara kotor.”([8])
Dari Samurah Ibnu Jundub radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: “Rasûlullâh ﷺ bersabda:
« لا تَلاعنُوا بلعنةِ اللهِ، ولا بِغضبِهِ ، ولا بِالنَّارِ »
“Janganlah kalian saling melaknat dengan laknat Allâh, atau murka-Nya, atau dengan neraka.!”([9])
Dari Abû Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, sesungguhnya Rasûlullâh ﷺ bersabda:
« لا ينْبغِي لِصِدِّيقٍ أنْ يكُونَ لَعَّاناً »
“Tidak sepatutnya seorang Shiddiq menjadi seorang pelaknat.”([10])
Dari Abû Darda’ radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: “Rasûlullâh ﷺ bersabda:
« لا يكُونُ اللَّعَّانُون شُفعَاءَ ، ولا شُهَدَاءَ يوْمَ القِيامَةِ »
“Orang yang kerjaannya melaknat tidak akan menjadi pemberi syafa’at, juga tak akan jadi syuhada’ (saksi) nanti pada hari kiamat.”([11])
Dari Abû Darda’ radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata:,”Rasûlullâh ﷺ bersabda:
« إنَّ العبْد إذا لَعنَ شَيْئاً، صعِدتِ اللَّعْنةُ إلى السَّماء، فتُغْلَقُ أبْوابُ السَّماءِ دُونَها، ثُمَّ تَهبِطُ إلى الأرْضِ، فتُغلَقُ أبوابُها دُونَها، ثُّمَّ تَأخُذُ يميناً وشِمالا، فإذا لمْ تَجِدْ مساغاً رجعت إلى الذي لُعِنَ، فإنْ كان أهلاً لِذلك، وإلاَّ رجعتْ إلى قائِلِها »
“Sesungguhnya seorang hamba apabila melaknat sesuatu, niscaya laknatnya akan naik ke langit, maka tertutuplah pintu-pintu langit hingga ia tak dapat masuk, maka kembalilah ia terhunjam ke bumi, akan tetapi pintu-pintu bumipun tertutup untuknya, maka ia berputar-putar ke kanan dan kiri, dan jika tak menemui jalan keluar (menuju sasarannya) maka ia akan tertuju pada orang yang dilaknat jika memang ia pantas untuk dilaknat, akan tetapi jika tidak pantas maka ia akan kembali kepada orang yang mengucapkan laknat tadi.” ([12])
Kepada hewanpun tidak boleh melaknat,
Dari ‘Imrân Ibnu `l-Husain radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata:
بَيْنَمَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ، وَامْرَأَةٌ مِنَ الْأَنْصَارِ عَلَى نَاقَةٍ، فَضَجِرَتْ فَلَعَنَتْهَا، فَسَمِعَ ذَلِكَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «خُذُوا مَا عَلَيْهَا وَدَعُوهَا، فَإِنَّهَا مَلْعُونَةٌ» قَالَ عِمْرَانُ: فَكَأَنِّي أَرَاهَا الْآنَ تَمْشِي فِي النَّاسِ، مَا يَعْرِضُ لَهَا أَحَدٌ
“Ketika Rasûlullâh ﷺ dalam sebagian perjalanannya, dan seorang wanita dari kaum Anshar sedang di atas untanya, tiba-tiba unta susah dikendalikan, maka iapun melaknat dan mencacinya, Rasûlullâh ﷺ mendengar hal itu maka beliau bersabda: “Ambillah apa yang berada diatas punggungnya lalu tinggalkan ia, karena sesungguhnya ia terlaknat!” ‘Imrân berkata: “Sepertinya aku melihat (unta tadi) berjalan di tengah orang tanpa ada yang menghiraukannya.”([13])
Dari Abû Barzah Nadhlalh Ibnu Ubaid al-Aslamiy radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata:
بَيْنَمَا جَارِيَةٌ عَلَى نَاقَةٍ، عَلَيْهَا بَعْضُ مَتَاعِ الْقَوْمِ، إِذْ بَصُرَتْ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَتَضَايَقَ بِهِمِ الْجَبَلُ، فَقَالَتْ: حَلْ، اللهُمَّ الْعَنْهَا، قَالَ: فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تُصَاحِبْنَا نَاقَةٌ عَلَيْهَا لَعْنَةٌ»
“Ketika seorang gadis di atas unta yang di atasnya juga mengangkut barang-barang milik kaum, tiba-tiba ia melihat Nabi ﷺ, maka terasa sempitlah gunung itu karena rombongan Nabi ﷺ, maka gadis tadi berseru: “Ayo jalan! Ya Allâh laknatlah unta ini!” Maka Nabi ﷺ bersabda: “Hendaknya jangan ada unta terlaknat yang menemani perjalanan kami.”([14])
Haramnya Mengolok-olok Seorang Muslim
Imam Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata,
وَهَذَا مُحَرَّمٌ مَهْمَا كَانَ مُؤْذَيًا
‘Dan ini diharamkan, betapapun adanya orang yang disakiti tersebut.’([15])
Allâh ﷻ berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسخَر قَومٌ مِّن قَومٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيرًا مِّنهُم وَلَا نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيرًا مِّنهُنَّ وَلَا تَلمِزُوٓاْ أَنفُسَكُم وَلَا تَنَابَزُواْ بِالأَلقَٰبِ بِئسَ ٱلِاسمُ ٱلفُسُوقُ بَعدَ ٱلإِيمَٰنِ وَمَن لَّم يَتُب فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ ١١
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurât:11)
Dari Abû Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, sesungguhnya Rasûlullâh ﷺ berkata:
«بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ…»
“Cukuplah kejelakan seseorang jika menghina saudaranya sesama muslim.”([16])
Imam Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata, ‘Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma berkata tentang firman Allah radhiyallaahu ‘anhu,
… يَٰوَيلَتَنَا مَالِ هَٰذَا ٱلكِتَٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّآ أَحصَىٰهَا …
“… “Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis)…” (QS. al-Kahfi: 49)
‘Sesungguhnya dosa-dosa kecil adalah senyum dengan penghinaan terhadap seorang mukmin, dan dosa besar adalah tertawa terbahak-bahak dengannya.’ Dan ini memberikan isyarat bahwa mentertawakan manusia termasuk dalam bilangan dosa-dosa, dan dosa-dosa besar.
Dari Muadz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,
« مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ »
“Siapa saja yang mencela saudaranya sesama muslim karena sebab dosa yang pernah dia lakukan maka orang yang mencela tersebut tidak akan mati sampai melakukannya.”([17])([18])
Termasuk juga menampakkan kegembiraan terhadap kesusahan seorang muslim.
Dari Watsilah bin al Asqa’, dia berkata Rasulullah ﷺ bersabda,
« لاَ تُظْهِرِ الشَّمَاتَةَ لأَخِيكَ فَيَرْحَمُهُ اللهُ وَيَبْتَلِيكَ »
“Janganlah engkau menampakkan rasa gembira saat saudaramu sesama muslim menderita kesusahan. Hal itu menjadi sebab Allah menyayanginya dan menimpakan cobaan pada dirimu.”([19])
Haramnya Menyakiti Seorang Muslim
Allâh ﷻ berfirman:
وَٱلَّذِينَ يُؤذُونَ ٱلمُؤمِنِينَ وَٱلمُؤمِنَٰتِ بِغَيرِ مَا ٱكتَسَبُواْ فَقَدِ ٱحتَمَلُواْ بُهتَٰنًا وَإِثمًا مُّبِينًا ٥٨
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzaab: 58)
Dari ‘Abdullâh Ibnu ‘Amr Ibnu `l-‘Ash radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: “Rasûlullâh ﷺ bersabda:
« المُسْلِمُ منْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ ويدِهِ ، والمُهَاجِرُ منْ هَجَر ما نَهَى اللهُ عنْهُ »
“Seorang muslim adalah orang yang muslim lainnya selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya, dan al-Muhajir adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allâh.”([20])
(Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)
__________________________________
Footnote:
([2]) HR. Al-Bukhârî (48) Muslim (64)
([3]) HR Al-Bukhârî (5698) Muslim 61)
([8]) HR. Turmudzi (1977), Ahmad (3839, 3948), Ibnu Hibban (192), lihat Shahiih al-Jaami’ (5381), as-Shahiihah (320), al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (4/107)
([9]) HR. Abû Dâwud (4906), Turmudzi (1976), Ahmad (20187), lihat Shahiih al-Jaami’ (6443), as-Shahiihah (893), al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (9/191)
([12]) HR Abû Dâwud (4905), Syaikh al-Albaniy berkata dalam kitab Shahîh Sunan Abî Dâwud – dengan sanad ringkas (4099), ‘hadîts ini hasan.” Ahmad (3876, 4036), lihat as-Shahiihah (1269), Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (2793), al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (5/456)
([17]) Ibnul Jauzi dalam Mawdhu’at (3/277) mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih. Ash-Shoghoni dalam Mawdhu’at-nya (45) mengatakan bahwa hadits ini mawdhu’. Adz-Dzahabi dalam Tartib Al-Mawdhu’at (245) mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Muhammad bin Al Hasan bin Abi Yazid dan ia perawi matruk.
Ahmad bin Mani’, salah seorang perawi hadits, “Yang dimasudkan adalah dosa yang pelakunya telah bertaubat darinya” (HR Tirmidzi (2505) namun dinilai oleh al Albani sebagai hadits palsu).
([19]) HR Tirmidzi (2506). Hadits ini dinilai hasan gharib oleh Tirmidzi namun dinilai lemah oleh al Albani. Lihat ad-Dha’iifah (5426), Dha’iiful Jaami’ (6245)
([20]) HR. Al-Bukhârî (10) Muslim (41)