Maksiat Lisan: Menyalahi Janji

 

وَالْخُلْفُ فِيْ الْوَعْدِ إِذَا وَعَدَهُ وَهُوَ يُضْمِرُ الْخُلْفَ

“Dan menyalahi janji, jika dia berjanji, ia menyembunyikan (niat untuk) menyalahi (janji tersebut).”

 

Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orangtua yang mudah mengobral janji kepada anaknya tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir.

 

Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka setiap kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan manusia dan terpercaya dalam pergaulannya bersama mereka, maka akan menjadi tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara seseorang tidak akan bisa meraih predikat orang yang baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan adalah menepati janji.

 

Sungguh Al-Qur`an telah memerhatikan permasalahan janji ini dan memberi dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah berfirman:

 

وَأَوفُواْ بِعَهدِ ٱللهِ إِذَا عَٰهَدتُّم وَلَا تَنقُضُواْ ٱلأَيمَٰنَ بَعدَ تَوكِيدِهَا

 

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….” (QS. An-Nahl: 91)

 

Allah juga berfirman:

 

وَأَوفُواْ بِٱلعَهدِ إِنَّ ٱلعَهدَ كَانَ مَسؤولًا ٣٤

 

“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isra`: 34)

 

Demikianlah perintah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan melaksanakan janjinya. Hal ini mencakup janji seorang hamba kepada Allah radhiyallaahu ‘anhu, janji hamba dengan hamba, dan janji atas dirinya sendiri seperti nadzar. Masuk pula dalam hal ini apa yang telah dijadikan sebagai persyaratan dalam akad pernikahan, akad jual beli, perdamaian, gencatan senjata, dan semisalnya.

Para Rasul Menepati Janji

 

Seperti yang telah dijelaskan bahwa menepati janji merupakan akhlak terpuji yang terdepan. Maka tidak heran jika para rasul yang merupakan panutan umat dan penyampai risalah Allah kepada manusia, menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia ini. Inilah Ibrahim ‘alaihissalaam, bapak para nabi dan imam ahlut tauhid. Allah telah menyifatinya sebagai orang yang menepati janji. Allah berfirman:

 

وَإِبرَٰهِيمَ ٱلَّذِي وَفَّىٰٓ ٣٧

 

“Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (QS. An-Najm: 37)

 

Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam telah melaksanakan seluruh apa yang Allah ujikan dan perintahkan kepadanya dari syariat, pokok-pokok agama, serta cabang-cabangnya.

 

Dan Allah berfirman tentang Nabi Ismail ‘alaihissalaam:

 

وَٱذكُر فِي ٱلكِتَٰبِ إِسمَٰعِيلَ إِنَّهُۥ كَانَ صَادِقَ ٱلوَعدِ وَكَانَ رَسُولًا نَّبِيًّا ٥٤

 

“Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya” (QS. Maryam: 54)

 

Yakni tidaklah ia menjanjikan sesuatu kecuali dia tepati. Hal ini mencakup janji yang ia ikrarkan kepada Allah maupun kepada manusia. Oleh karena itu, tatkala ia berjanji atas dirinya untuk sabar disembelih oleh bapaknya –karena perintah – ia pun menepatinya dengan menyerahkan dirinya kepada perintah Allah .([1])

 

Adapun Nabi Muhammad , beliau memperoleh bagian yang besar dalam permasalahan ini. Sebelum diutus oleh Allah, beliau telah dijuluki sebagai seorang yang jujur lagi terpercaya. Maka tatkala beliau diangkat menjadi rasul, tidaklah perangai yang mulia ini kecuali semakin sempurna pada dirinya. Sehingga orang-orang kafir pun mengaguminya, terlebih mereka yang mengikuti dan beriman kepadanya.

 

Adalah Nabi pada tahun keenam Hijriah berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah beserta para shahabatnya. Waktu itu Makkah masih dikuasai musyrikin Quraisy. Ketika sampai di Al-Hudaibiyah, beliau dan kaum muslimin dihadang oleh kaum musyrikin. Terjadilah di sana perundingan antara Rasulullah dan kaum musyrikin. Disepakatilah butir-butir perjanjian yang di antaranya adalah gencatan senjata selama sepuluh tahun, tidak boleh saling menyerang, bahwa kaum muslimin tidak boleh umrah tahun ini tetapi tahun depan –di mana ini dirasakan sangat berat oleh kaum muslimin karena mereka harus membatalkan umrahnya–, dan kalau ada orang Makkah masuk Islam lantas pergi ke Madinah, maka dari pihak muslimin harus memulangkannya ke Makkah.

 

Bertepatan dengan akan ditandatanganinya perjanjian tersebut, anak Suhail –juru runding orang Quraisy– masuk Islam dan ingin ikut bersama shahabat Nabi ke Madinah. Suhail pun mengatakan kepada Nabi bahwa jika anaknya tidak dipulangkan kembali, dia tidak akan menandatangani kesepakatan. Rasulullah akhirnya menandatangani perjanjian tersebut dan menepati janjinya. Anak Suhail dikembalikan, dan muslimin harus membatalkan umrahnya. Namun di balik peristiwa itu justru kebaikan bagi kaum muslimin, di mana dakwah tersebar dan ada nafas untuk menyusun kembali kekuatan. Namun belumlah lama perjanjian itu berjalan, orang-orang kafir lah yang justru mengkhianatinya. Akibat pengkhianatan tersebut, mereka harus menghadapi pasukan kaum muslimin pada peristiwa pembukaan kota Makkah (Fathu Makkah) sehingga mereka bertekuk lutut dan menyerah kepada kaum muslimin. Dengan demikian, jatuhlah markas komando musyrikin ke tangan kaum muslimin. Manusia pun masuk Islam dengan berbondong-bondong. Demikianlah di antara buah menepati janji: datangnya pertolongan dan kemenangan dari Allah .([2])

 

(Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)

__________________________________

Footnote:

([1]) Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 822 dan 496

([2]) Zadul Ma’ad, 3/262

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *