Fiqih Imamah (15) : Adab Makmum Dalam Shalat

@Fiqih Imamah (15)1 ed

Adab Makmum Dalam Shalat

Sampailah sekarang kita pada pembahasan terakhir dari fiqih Imamah. Dalam bagian akhir ini kami ketengahkan bab Adab Makmum Dalam Shalat.

Di antara adab-adab tersebut adalah sebagai berikut:

1. Berjalan dengan tenang dan tidak tergesa-gesa sekali pun telah mendengar iqamah.

Berdasarkan hadits Abu Hurairah , dari Nabi , beliau bersabda:

« إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ ، وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلاَ تُسْرِعُوا ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا »

Jika kalian mendengar iqamah, maka berjalanlah menuju shalat, dan wajib bagi kalian untuk tenang, wibawa, serta jangan tergesa-gesa. Maka apa yang kalian dapati shalatlah, dan apa yang lepas dari kalian maka sempurnakanlah.”

Dalam sebuah lafazh:

Jika shalat telah diiqamati, maka janganlah mendatanginya dengan tergesa-gesa, dan datangilah shalat itu dengan berjalan, dan wajib bagi kalian tenang, maka apa yang kalian dapati shalatlah, dan apa yang kalian ketinggalan maka sempurnakanlan.” (HR. al-Bukhari (636, 906), Muslim (602))

2. Makmum tidak cepat-cepat berdiri jika sudah diiqamati hingga imam keluar/datang.

Berdasarkan hadits Abu Qatadah , dia berkata, ‘Rasulullah bersabda,

« إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ تَقُومُوا حَتَّى تَرَوْنِى ‏[قَدْ خَرَجْتُ]‏ »

Jika shalat sudah diiqamahi, maka janganlah kalian berdiri hingga kalian melihatku [telah keluar].” (HR. al-Bukhari (637), Muslim 604))

3. Menyambung suara imam (yang lemah) saat dibutuhkan

Berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah , dia berkata,

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ الظُّهْرَ وَأَبُو بَكْرٍ خَلْفَهُ فَإِذَا كَبَّرَ رَسُولُ اللَّهِ كَبَّرَ أَبُو بَكْرٍ يُسْمِعُنَا

Rasulullah shalat zhuhur bersama kami, sementara Abu Bakar ada di belakang beliau. Jika Rasulullah bertakbir, maka Abu Bakar memperdengarkan kepada kami (takbir beliau).” (Shahih, HR. an-Nasa`i (798, 1199), Shahih an-Nasa`i (I/264))

Sementara dalam redaksi hadits ‘Aisyah :

“… maka Abu Bakar shalat dengan berdiri, dan Rasulullah shalat dengan duduk, Abu bakar mengikuti shalatnya Rasulullah , dan manusia mengikuti shalatnya Abu Bakar …”

Dalam redaksi lain:

Adalah Nabi shalat bersama manusia, dan Abu Bakar memperdengarkan takbir kepada mereka…” (HR. al-Bukhari (713), Muslim (418))

4. Makmum membaca rabbana walakal hamdu setelah imam membaca sami’allahu liman hamidah.

Berdasarkan hadits Abu Hurairah , yang di dalamnya disebutkan:

«… وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ…»

“…Jika imam mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka ucapkanlah rabbana lakal hamdu…” (HR. al-Bukhari (722), Muslim (414))

Juga berdasar ucapan ‘Amir as-Sya’bi:

لاَ يَقُولُ الْقَوْمُ خَلْفَ الإِمَامِ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَلَكِنْ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ

Tidaklah kaum di belakang imam mengucapkan sami’allahu liman hamidah, akan tetapi mengucapkan rabbana lakal hamdu.” (Hasan maqthu’, HR. Abu Dawud (849), Sunan Abu Dawud (I/239))

5. Jika imam sangat terlambat datangnya, maka makmum yang paling afdhal yang menggantinya.

Berdasarkan hadits Sahl bin Sa’d dimana para sahabat menyuruh Abu Bakar untuk maju jadi imam saat Nabi pergi untuk mendamaikan Bani Umar hingga terlambat. (HR. al-Bukhari (684), Muslim (421))

Juga hadits al-Mughirah bin Syu’bah, yang para sahabat menyuruh ‘Abdurrahman bin ‘Auf untuk jadi Imam dalam perang Tabuk, maka dia pun shalat subuh bersama mereka, lalu Nabi bersabda, ‘Kalian telah berbuat baik, atau kalian telah benar.’ (HR. al-Bukhari (182), Muslim (284))

6. Jika sudah diiqamatii maka tidak shalat kecuali shalat fardhu.

Berdasarkan hadits Abu Hurairah , bahwa Nabi bersabda,

« إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةُ »

Jika shalat sudah diiqami, maka tidak ada shalat kecuali shalat fardhu.” (HR. Muslim (710))

7. Tidak shalat sunnah langsung di tempat dia shalat fardhu hingga memisahnya dengan ucapan atau keluar (pindah).

Berdasarkan hadits as-Sa`ib bin Yazid dari Mu’awiyah , bahwa Mu’awiyah berkata kepadanya:

إِذَا صَلَّيْتَ الْجُمُعَةَ فَلاَ تَصِلْهَا بِصَلاَةٍ حَتَّى تَكَلَّمَ أَوْ تَخْرُجَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ أَمَرَنَا بِذَلِكَ أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ

Jika kamu telah selesai shalat jum’at, maka janganlah menyambungnya dengan satu shalat (sunnahpun) hingga Engkau berbicara, atau keluar, karena Rasulullahs saw memerintah kami dengan yang demikian; ‘(Yaitu) janganlah satu shalat (fardhu) itu disambung (dengan shalat sunnah langsung) hingga kita berbicara atau keluar (pindah).” (HR. Muslim (883))

8. Tidak berpaling sebelum imam, namun menunggu hingga imam menghadap manusia.

Berdasarkan hadits Anas , bahwa Nabi shalat bersama mereka pada suatu hari, maka saat beliau menyelesaikan shalat beliau, beliau menghadap mereka dengan wajah beliau seraya bersabda:

« أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّى إِمَامُكُمْ فَلاَ تَسْبِقُونِى بِالرُّكُوعِ وَلاَ بِالسُّجُودِ وَلاَ بِالْقِيَامِ وَلاَ بِالاِنْصِرَافِ »

Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah imam kalian, maka janganlah kalian mendahuluiku dengan ruku’, tidak juga dengan sujud, tidak dengan berdiri, tidak dengan berpaling…” (HR. Muslim (426))

Maka disunnahkan makmum tidak berpalng sebelum berpalingnya imam dari kiblat, dan hikmahnya barangkali dia lupa, kemudian sujud sahwi. Kecuali jika imam menyelisihi sunnah dengan terlalu lama menghadap ke arah kiblat, maka tidak mengapa mendahului imam.

9. Tidak membuat shaf di antara tiang.

Berdasarkan hadits Anas , dia berkata,

Dulu kami menghindari hal ini (bershaf di antara tiang) di zaman Rasulullah .” (Shahih, HR. an-Nasa`i (820), Abu Dawud (229), Shahih an-Nasa`i (1/177))

Juga hadits Qurrah:

كُنَّا نُنْهَى أَنْ نَصُفَّ بَيْنَ السَّوَارِى عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ وَنُطْرَدُ عَنْهَا طَرْدًا

Dulu kami dilarang bershaf di antara tiang-tiang di zaman Rasulullah , dan kami didorong darinya dengan sebenar-benarnya.” (Hasan Shahih, HR. Ibnu Majah (1002), Shahih Ibnu Majah (1/298))

10. Tidak menempati satu tempat khusus di dalam masjid, tidak shalat kecuali tempat itu.

Berdaarkan hadits ‘Abdurrahman Syibl,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ نَهَى عَنْ ثَلَاثٍ ؛ عَنْ نَقْرَةِ الْغُرَابِ وَافْتِرَاشِ السَّبُعِ وَأَنْ يُوَطِّنَ الرَّجُلُ الْمَقَامَ لِلصَّلَاةِ كَمَا يُوَطِّنُ الْبَعِيرُ

Sesungguhnya Rasulullah melarang dari tiga hal; dari mematuknya burung gagak (yaitu bergerak cepat tanpa thuma’ninah dalam ruku’ dan sujud), dari duduknya hewan buas, dan seorang menempati satu tempat untuk shalat, sebagaimana seekor onta menempati (suatu tempat dan tidak berpindah-pindah).” (HR. an-Nasa`i (1111), Ibnu Majah (1429), Abu Dawud (862), Ahmad (15/446-447), al-Hakim (1/229) dan menshahihkannya, serta di setujui oleh adz-Dzahabi, Shahih an-Nasa`i (1/360))

11. Mengingatkan bacaan Imam jika imam terlupa.

Berdasarkan hadits al-Musawwar bin Yazid al-Maliki ,

Bahwa Rasulullah, dalam sebuah riwayat, ‘Aku menyaksikan Rasulullah membaca di dalam shalat, kemudian beliau meninggalkan sesuatu, tidak membacanya.’ Maka berkatalah seorang laki-laki kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, Anda telah meninggalkan ayat ini dan ini.’ Maka bersabdalah Rasulullah , ‘Kenapa Engkau tidak mengingatkanku tentangnya (di dalam shalat)?” [maka dia berkata, ‘Tadi itu saya menganggapnya telah di nasakh.’] (Hasan, HR. Abu Dawud (907), sunan Shahih Sunan Abu Dawud (1/254))

Juga hadits ‘Abdullah bin Umar, bahwa Nabi shalat kemudian tercampur atas beliau bacaan beliau. Maka tatkala beliau selesai shalat, beliau berkata kepada Ubay, ‘Apakah kamu shalat bersama kami?’ Dia menjawab, ‘Ya.’ Maka beliau bersabda, ‘Lalu apa yang menghalangimu (untuk mengingatkanku)?” (Shahih, HR. Abu Dawud (907), Shahih Sunan Abu Dawud (1/254)) (AR)*

1 Disarikan oleh Muhammad Syahri dari risalah yang ditulis oleh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthaniy yang berjudul al-Imamah fis Shalat, Mafhum, wafadha’il, wa anwa`, wa adab wa ahkam, fi dhauil kitabi was-sunnah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *