22. Membaca Al-Fatihah Ataupun Al-Qur`An Di Sisi Kuburan
Membaca al-Fatihah dan al-Qur`an pada saat ziarah kubur termasuk perkara yang tidak ada asalnya di dalam sunnah. Bahkan hadits-hadits (yang ada) menunjukkan tidak disyariatkannya hal tersebut. Jika seandainya hal itu disyariatkan, maka pastilah Nabi ﷺ telah melakukannya, dan mengajarkannya kepada para sahabat, terutama ibunda ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, pernah bertanya kepada beliau apa yang harus dia baca saat berziarah kubur. Lalu Nabi ﷺ mengajarinya bacaan salam dan do’a, dan tidak mengajarinya untuk membaca al-Fatihah atau surat-surat al-Qur`an yang lainnya.
Imam Muslim rahimahullah telah meriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, dia berkata,
كَيْفَ أَقُولُ لَهُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ «قُولِي: السَّلَامُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ»
“Bagaimanakah saya berkata (berdo’a, bersalam) untuk mereka (penghuni kubur) wahai Rasulullah?’ Maka beliau bersabda, ‘Ucapkanlah, keselamatan semoga tercurahkan atas penghuni negeri (kubur) ini, dari golongan kaum mukminiin dan muslimiin, dan mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului kami, dan orang-orang yang belakangan, dan sesungguhnya kami, insyaallaah akan menyusul kalian.”([1])
Imam Muslim rahimahullah juga meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ pernah mengajari para sahabat jika mereka keluar menuju kuburan untuk membaca,
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ , وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ , أَنْتُمْ لَنَا فَرَطٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ , أَسْأَلُ اللهَ الْعَافِيَةَ لَنَا وَلَكُمْ
“Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, (wahai) penduduk negeri (kuburan) dari kalangan kaum mukminin dan muslimin, dan sesungguhnya kami, insyaallah akan menyusul kalian, kalian bagi kami adalah yang mendahului, dan kami bagi kalian adalah yang mengikuti, aku memohon ‘afiyah kepada Allah untuk kami dan kalian.”([2])
Maka seandainya membaca al-Qur`an tersebut disyariatkan, maka pastilah Nabi tidak akan menutupinya dari kita. Bagaimana tidak, padahal mengakhirkan penjelasan pada waktu yang dibutuhkan adalah tidak diperbolehkan pada hak beliau ﷺ, maka bagimana pula dengan menutupinya. Dan seandainya Nabi ﷺ mengajari mereka sesuatu dari yang demikian, maka pastilah telah dinukil hal itu kepada kita. Maka jika belum pernah ada nukilan tentang hal itu kepada kita dengan sanad yang valid, maka itu menunjukkan bahwa hal tersebut tidak pernah terjadi.
Penulis As-Sunnah wa al-Mubtada`aat rahimahullah berkata, ‘Ketahuilah wahai saudaraku, mudah-mudahan Allah subhaanahu wa ta’aala memberikan ‘afiyah kepada kita, berhati-hatilah Engkau terhadap riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Ahmad pernah berkata, ‘Jika kalian masuk ke pekuburan, maka bacalah Al-Fatihah, al-Mu’awwidzatain, dan Qul Huwallaahu Ahad, dan jadikanlah oleh kalian pahalanya untuk penghuni kubur, karena hal itu akan sampai kepada mereka.’ Maka riwayat ini tidak shahih sama sekali (dari beliau).”([3])
“Demikian juga yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa dia memerintah untuk membaca surat al-Baqarah di sisi kuburan, maka itu adalah ucapan yang tidak memiliki sanad shahih maupun dha’if. Imam ad-Daraquthniy rahimahullah berkata, ‘Di dalam bab ini, tidak ada satu haditspun yang shahih.”([4])
Terdapat dalil yang menunjukkan bahwa membaca al-Qur`an di sisi kuburan adalah tidak diperbolehkan.
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan di dalam Shahihnya, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
«لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ»
“Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan; sesungguhnya syaitan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat al-Baqarah.”([5])
Maka di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa al-Qur`an tidak dibaca di sisi pekuburan.
Pada riwayat al-Baihaqiy rahimahullah ,
اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فِيْ بُيُوتِكُمْ وَلَا تَجْعَلُوْهَا قُبُوْراً
“Bacalah oleh kalian surat al-Baqarah di rumah-rumah kalian, dan jangan kalian menjadikannya sebagai kuburan.”([6])
Dan telah datang di dalam sunnah bahwa hukum asal ziarah kubur adalah berdo’a dan beristighfar untuk penghuni kubur, bukan membaca al-Qur`an untuk mereka, sebagaimana telah berlalu bersama kita pada hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha.
Demikian juga telah datang di dalam Shahiih al-Jaami’ bahwa Nabi ﷺ bersabda,
اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ وَسَلُوا لَهُ التَّثْبِيتَ فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ
“Beristighfarlah kalian untuk saudara kalian, dan mintakanlah ketetapan (iman) baginya, karena sesungguhnya dia sekarang sedang ditanya.”([7])
Dan sungguh al-Qur`an telah menjelaskan dengan tegas akan do’a bagi orang-orang yang telah meninggal. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman,
وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِن بَعدِهِم يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغفِر لَنَا وَلِإِخوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإِيمَٰنِ وَلَا تَجعَل فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ ١٠
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr (59): 10)
Inilah yang disyariatkan, bukan membaca al-Qur`an diatas kuburan dan selainnya.
Perginya para qurra` (ahli baca al-Qur`an) menuju kuburan di belakang jenazah untuk membaca al-Qur`an demi roti, atau sedikit harga dunia yang fana, maka semua ini adalah kerugian, dan kurang iman serta akal.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman,
وَلَا تَشتَرُواْ بَِٔايَٰتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّٰيَ فَٱتَّقُونِ ٤١
“… dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.” (QS. al-Baqarah (2): 41)
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكتُمُونَ مَآ أَنزَلَ ٱللهُ مِنَ ٱلكِتَٰبِ وَيَشتَرُونَ بِهِۦ ثَمَنًا قَلِيلًا أُوْلَٰٓئِكَ مَا يَأكُلُونَ فِي بُطُونِهِم إِلَّا ٱلنَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ ٱللهُ يَومَ ٱلقِيَٰمَةِ وَلَا يُزَكِّيهِم وَلَهُم عَذَابٌ أَلِيمٌ ١٧٤
“Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, Yaitu Al kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa yang Amat pedih.” (QS. al-Baqarah (2): 174)
Kesimpulan:
Selayaknyalah bagi kita semua untuk mengetahui bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad ﷺ, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru, dan setiap perkara baru (dalam urusan agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan (tempatnya adalah) di dalam neraka.
Sebagaimana hendaknya kita mengetahui, bahwa tidaklah Nabi ﷺ meninggalkan sesuatu yang bisa mendekatkan diri kita ke sorga melainkan beliau telah memberi petunjuk kepada kita untuk menujunya. Dan tidaklah beliau meninggalkan sesuatu yang mendekatkan diri kita ke neraka, melainkan beliau telah memberikan peringatan daripadanya.
Dan termasuk diantara perkara yang beliau tunjukkan kepada kita adalah saat berziarah kubur; yaitu kita mendo’akan penghuni kubur dengan do’a-do’a ma`tsur (yang diriwayatkan), dan beliau tidak pernah mengajari kita untuk membaca al-Fatihah bersamaan dengan kemudahan membacanya, dan pengetahuan setiap muslim dengannya. Atau mengajari kita untuk membaca al-Qur`an. Maka sebaik-baiknya kebaikan adalah dalam mengikuti Nabi ﷺ, dan seburuk-buruknya keburukan adalah dalam menyelisihi petunjuk dan sunnah beliau ﷺ.
Sementara sunnah, sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik rahimahullah , ia seperti bahtera Nabi Nuh S; barangsiapa menaikinya, dia akan selamat, dan barangsiapa tertinggal, maka dia binasa.
Dan setiap orang yang membuat syari’at di dalam agama ini, dan menganggapnya baik, maka sungguh dia telah menuduh Nabi ﷺ telah berkhianat. Dikarenakan Allah subhaanahu wa ta’aala telah berfirman,
ٱليَومَ أَكمَلتُ لَكُم دِينَكُم وَأَتمَمتُ عَلَيكُم نِعمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلإِسلَٰمَ دِينًاۚ
“… pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu…” (QS. al-Maidah (5): 3)
(Diambil dari Kitab Silsilah Akhthaaunnisaa` (2) Akhthooun Nisa al-Muta’alliqah fi al-Janaaiz, Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)
_____________________________
Footnote:
([1]) HR. Muslim (974), an-Nasa`iy (2073)-pent
([2]) HR. an-Nasa`iy (2040), Muslim, 104-(975), Ibnu Majah (1574), Ahmad (23035), Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (29/140)-pent
([3]) As-Sunan Wa al-Mubtada’aat al-Muta’alliqah bi al-Adzkaar, Muhammad as-Syuqairiy, hal. 105-pent
([4]) As-Sunan Wa al-Mubtada’aat al-Muta’alliqah bi al-Adzkaar, Muhammad as-Syuqairiy, hal. 106-pent
([5]) HR. Muslim, 212-(780), at-Turmudzi (2877), Ahmad (7808), Abu Dawud (2042), Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (17/257)-pent
([6]) As-Sunan Wa al-Mubtada’aat al-Muta’alliqah bi al-Adzkaar, Muhammad as-Syuqairiy, hal. 106-pent
([7]) HR. Abu Dawud (3221), al-Hakim (1372), al-Baihaqiy (6856), lihat Shahih al-Jaami’ (945), Shahih at-Targhiib wa at-Tarhiib (3511), Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (29/116)-pent