20. Memakai Pakaian Hitam, Dan Memperpanjang Masa Ihdad terhadap si mayit lebih dari tiga hari.
Hal ini dikecualikan jika ihdad tersebut untuk suami, maka sang istri berihdad untuknya selama empat bulan sepuluh hari.
Hal ini berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala,
وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّونَ مِنكُم وَيَذَرُونَ أَزوَٰجًا يَتَرَبَّصنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَربَعَةَ أَشهُرٍ وَعَشرًاۖ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari…” (QS. al-Baqarah (2): 234)
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Ummu ‘Athiyah radhiyallaahu ‘anha, dia berkata,
«كُنَّا نُنْهَى أَنْ نُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا، وَلاَ نَكْتَحِلَ وَلاَ نَتَطَيَّبَ وَلاَ نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوغًا، إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ، وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ، …»
“Dulu kami dilarang dari berihdad (berkabung) terhadap mayit lebih dari tiga (hari), kecuali untuk suami, (maka berihdad) selama empat bulan sepuluh hari; agar kami tidak bercelak, tidak memakai minyak wangi, tidak memakai baju yang dicelup warna (warni yang memikat), kecuali baju ‘ashb([1]), dan sungguh telah diberikan keringanan bagi kami di saat suci, jika salah seorang dari kami hendak mandi dari haidhnya, untuk memakai sedikit wewangian qusth azhfar([2]).”([3])
Dan di dalam riwayat lain, juga disebutkan di dalam as-Shahiihain, bahwa dia berkata, ‘Nabi ﷺ bersabda,
«لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلَّا عَلَى زَوْجٍ، فَإِنَّهَا لاَ تَكْتَحِلُ وَلاَ تَلْبَسُ ثَوْبًا مَصْبُوغًا، إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ» «وَلَا تَمَسُّ طِيبًا، إِلَّا إِذَا طَهُرَتْ، نُبْذَةً مِنْ قُسْطٍ أَوْ أَظْفَارٍ»
“Tidak halal bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad lebih dari tiga hari, kecuali untuk suami. Maka wanita tersebut tidak boleh bercelak, tidak boleh memakai baju yang dicelup dengan warna (warni sebagai perhiasan), kecuali baju ‘ashb.” “Dan tidak mengenakan mewangian, kecuali jika dia suci, maka dia boleh mengambil sedikit kust azhfaar.”([4])
Imam Muslim meriwayatkan dari Humaid bin Nafi’ dari Zainab binti Abi Salamah, bahwa dia mengabarkan kepadanya ketiga hadits berikut:
Dia berkata, ‘Zainab berkata, ‘Aku masuk menemui Ummu Habibah, istri Nabi ﷺ saat ayahandanya, Abu Sufyan, meninggal. Lalu dia meminta untuk diambilkan wewangian yang padanya terdapat warna kuning yang tercampur -atau selainnya-, kemudian darinya seorang budak wanita berminyak lalu mengusapkan ke kedua pipinya. Kemudian dia berkata, ‘Demi Allah, aku tidak butuh dengan wewangian, hanya saja aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda di atas mimbar,
«لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا»
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung terhadap suatu mayit lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suami, maka dia berihdad selama empat bulan sepuluh hari.”([5])
Zainab berkata, ‘Kemudian aku menemui Zainab binti Jahsy saat saudaranya meninggal. Lalu dia meminta didatangkan wewangian, lalu dia mengenakannya. Lantas berkata, ‘Demi Allah, aku tidak butuh wewangian, hanya saja aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda diatas mimbar,
«لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، تُحِدُّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا»
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung terhadap suatu mayit lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suami, maka dia berihdad selama empat bulan sepuluh hari.”([6])
Zainab berkata, ‘Aku pernah mendengar ibuku, Ummu Salamah berkata, ‘Datanglah seorang wanita kepada Rasulullah ﷺ, seraya dia berkata, ‘Ya Rasulallah, sesungguhnya suami putriku telah meninggal. Sementara dia mengeluhkan sakit mata, maka apakah boleh kami mencelakinya?’ Maka Rasulullah ﷺ bersabda,
«لَا» – مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا، كُلَّ ذَلِكَ يَقُولُ: لَا – ثُمَّ قَالَ: «إِنَّمَا هِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ، وَقَدْ كَانَتْ إِحْدَاكُنَّ فِي الْجَاهِلِيَّةِ تَرْمِي بِالْبَعْرَةِ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ»
“Tidak.’ Dua atau tiga kali, semuanya beliau menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Waktu ihdad itu tiada lain adalah empat bulan sepuluh hari. Sungguh salah seorang diantara kalian di masa jahiliyah dilempari kotoran hewan di setiap awal tahun (sejak suaminya meninggal).”([7])
Humaid berkata, ‘Aku berkata kepada Zainab, ‘Apa maksud dilempari kotoran hewan di awal tahun?’ Maka Zainab menjawab, ‘Adalah seorang wanita, jika suaminya meninggal, maka dia akan masuk ke dalam sebuah rumah yang kecil (sempit), lalu dia memakai seburuk-buruk baju. Tidak mengenakan wewangian atau apapun hingga lewat setahun. Kemudian didatangkan seekor hewan -keledai, kambing, ataupun burung- lalu dia mengusapkan kulitnya padanya. Dan seringkali dia mengusapkan kulitnya dengan suatu hewan, melainkan hewan itu mati. Kemudian wanita itu keluar, kemudian diberikanlah kotoran hewan, lantas dilemparkan padanya, kemudian setelah itu dia kembali mengenakan wewangian atau selainnya sesukanya.”([8])
Fadhilatussyaikh al-Fauzan ditanya, ‘Apakah laki-laki yang bersuami harus berkabung (berihdad) untuk selain istrinya, seperti semisal putri-putrinya, saudari-saudarinya, dan kerabat-kerabat putrinya, ataukah ihdad tersebut tidak khusus kecuali terhadap istrinya saja. Karena ada kebiasaan yang berlaku di sisi kami adalah setiap kerabat laki-laki si mayit harus berkabung (berihdad) dan mengenakan pakaian hitam dan meninggalkan berhias. Maka apakah yang demikian itu boleh bagi mereka?
Jawab: ‘Pertama, ihdad itu hanya berlaku bagi kaum wanita saja, tidak berlaku bagi kaum laki-laki. Maka kaum laki-laki tidak boleh berihdad terhadap mayit siapapun.
Ihdad itu hanyalah bagian dari kekhususan kaum wanita. Maknanya adalah ia meninggalkan berhias, dan apa yang disukai, baik wewangian maupun berpenampilan bagus untuk masa yang telah ditentukan. Dan hukumnya adalah mubah bagi selain istri dari kalangan kerabat wanita si mayit selama tiga hari saja. Adapun bagi istri si mayit, maka wajib baginya untuk berihdad selama masa ‘iddah. Berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
«لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثٍ، إِلَّا عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا»
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung terhadap suatu mayit lebih dari tiga hari, kecuali terhadap suami, maka dia berihdad selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Imam al-Bukhari dalam Shahihnya (VI/185) dari hadits Ummu Habibah radhiyallaahu ‘anha)
Jadi, istri wajib berihdad dalam masa ‘iddah kematian. Adapun kaum wanita lain, selain istri, maka boleh bagi mereka untuk berihdad atas mayit selama tiga hari saja. Adapun kaum laki-laki, maka sesungguhnya mereka tidak berihdad dalam kondisi apapun.
Adapun memakai baju hitam, maka ini tidak boleh. Islam tidak mengakuinya; baik bagi kaum laki-laki maupun kaum wanita. Dikarenakan itu adalah sebuah pengungkapan kesedihan, dan keresahan. Dan ini bukanlah bagian dari petunjuk Islam. Maka wanita yang menjalani masa ihdad, dia tidak memakai baju hitam, namun dia mengenakan baju keseharian yang tidak ada perhiasan padanya, dan tidak ada padanya hal yang menari pandangan. Dan yang demikian itu tidak dikhususkan dengan suatu warna tertentu; tidak hitam, tidak hijau, tidak juga merah. Ia boleh memakai pakaian apapun sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku, yang tidak ada hiasan padanya.”
Demikian juga, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya –sebagaimana disebutkan di dalam Fataawaa al-Mar`ah (hal. 65), ‘Apakah boleh mengenakan baju hitam, sebagai bentuk kesedihan atas yang meninggal, terutama jika yang meninggal itu adalah sang suami?’
Maka Syaikh menjawab, ‘Mengenakan baju hitam pada saat tertimpa musibah adalah satu syi’ar yang batil, yang tidak ada asal usulnya. Sementara manusia saat tertimpa musibah, selayaknyalah dia mengamalkan apa yang didatangkan oleh syari’at. Lalu dia mengucapkan
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ، اللهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا
“Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya. Ya Allah berikanlah pahala kepada saya di dalam musibah saya, dan gantilah untuk saya dengan yang lebih baik darinya.”
Maka jika dia mengatakannya dengan penuh keimanan, dan mencari pahala, maka sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aala akan memberinya pahala atasnya, dan akan menggantinya dengan yang lebih baik daripadanya.
Adapun mengenakan pakaian tertentu, seperti warna hitam dan semisalnya, maka tidak ada asal usulnya, dan itu adalah perkara batil lagi tercela.”
(Diambil dari Kitab Silsilah Akhthaaunnisaa` (2) Akhthooun Nisa al-Muta’alliqah fi al-Janaaiz, Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)
_____________________________
Footnote:
([1]) Ia adalah baju dari Yaman, yang penenunannya dikumpulkan, kemudian dicelup warna dalam keadaan terkumpul, kemudian baru dipintal. (Fathul Baariy, Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, I/414)-pent
([2]) Qusth azhfaar adalah sejenis wewangian berwarna hitam yang terselubung dari pangkalnya seperti bentuk kuku manusia yang dipasang di bukhur (dupa wewangian).’
An-Nawawiy rahimahullah berkata, ‘al-Qusthu dan al-azhfaar adalah dua macam bukhuur yang dikenal, dan keduanya bukan ditujukan untuk wewangian. Diberikan keringanan memakainya bagi wanita yang akan mandi dari haidh, untuk menghilangkan bau tidak sedap, yang dengannya dia meneliti bekas darah, bukan untuk wewangian. Wallahu a’lam. (‘Aunul Ma’buud, V/172)-pent
([3]) HR. Al-Bukhari (5341), Muslim (938)-pent
([4]) HR. Al-Bukhari (5342), Muslim (938)-pent