@Fiqih Imamah (11)1 ed
Mengikuti Imam (3)
Pada edisi yang lalu kami telah membahas bagian pertama dan ke dua dari pasal Mengikuti Imam, Syarat dan Konsekuensinya yang meliputi pembahasan: 1) Mengikuti Imam, dan tidak berbarengan dengan imam 2) Tidak mendahului Imam 3) Makmum yang masbuq (ketinggalan), jika dia mendapati ruku’nya imam, maka dia telah mendapat rakaat tersebut 4) Shaf yang depan mengikuti imam, shaf kedua mengikuti shaf pertama, dan seterusnya 5) Sahnya shalat makmum yang mengikuti imam yang melakukan kesalahan dengan meninggalkan syarat sah shalat tanpa diketahui oleh makmum, namun dosa dipikul oleh imam.
Sekarang, kita lanjutkan dengan poin berikutnya:
6. Menunggu, atau Menggantikan Imam Yang Batal
Jika imam batal, atau dia teringat bahwa dia masih berhadats sebelum masuk ke dalam shalat, maka dia boleh menyuruh makmum untuk menunggu hingga dia bersuci dari hadats. Abu Hurairah berkata:
أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ ، وَعُدِّلَتِ الصُّفُوفُ قِيَامًا ، فَخَرَجَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ فَلَمَّا قَامَ فِى مُصَلاَّهُ ذَكَرَ أَنَّهُ جُنُبٌ فَقَالَ لَنَا : « مَكَانَكُمْ » . ثُمَّ رَجَعَ فَاغْتَسَلَ ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَيْنَا وَرَأْسُهُ يَقْطُرُ ، فَكَبَّرَ فَصَلَّيْنَا مَعَهُ
“Shalat sudah diiqamati, shaf pun sudah diluruskan dalam keadaan berdiri, lalu Rasulullah keluar kepada kami, tatkala beliau berdiri di tempat shalat beliau, beliau ingat bahwa beliau junub, maka beliau bersabda kepada kami, ‘(tetaplah) di tempat kalian.’ Kemudian beliau pulang, lalu mandi, lantas keluar kepada kami, sementara kepala beliau meneteskan (air), lalu beliau bertakbir, dan kami shalat bersama beliau.”
Dalam sebuah riwayat:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ خَرَجَ وَقَدْ أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَعُدِّلَتِ الصُّفُوفُ ، حَتَّى إِذَا قَامَ فِى مُصَلاَّهُ انْتَظَرْنَا أَنْ يُكَبِّرَ انْصَرَفَ قَالَ « عَلَى مَكَانِكُمْ » . فَمَكَثْنَا عَلَى هَيْئَتِنَا حَتَّى خَرَجَ إِلَيْنَا يَنْطُفُ رَأْسُهُ مَاءً وَقَدِ اغْتَسَلَ
“Bahwasanya Rasulullah keluar, sementara shalat sudah diiqamati, dan shaf telah diluruskan. Hingga jika beliau berdiri di tempat shalat beliau, kami menunggu berliau bertakbir, ternyata beliau kemudian berpaling seraya berkata, ‘Tetap berada pada tempat kalian.’ Maka kami pun diam pada keadaan kami hingga beliau keluar kepada kami, dan kepala beliau meneteskan air, beliau telah mandi.” (HR. al-Bukhari (275, 639, 640), Muslim (605))
Jika imam batal, atau dia teringat bahwa dia masih dalam keadaan berhadats di dalam shalat, maka boleh baginya untuk memilih satu di antara dua perkara; keluar dari shalat dan menyuruh makmum untuk menunggunya, atau keluar dari shalat dan menyuruh salah seorang makmum maju untuk menggantikannya sebagai imam.
Untuk pilihan pertama, berdasarkan hadits Abu Bakrah :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ اسْتَفْتَحَ الصَّلاَةَ فَكَبَّرَ ثُمَّ أَوْمَأَ إِلَيْهِمْ أَنْ مَكَانَكُمْ ثُمَّ دَخَلَ فَخَرَجَ وَرَأْسُهُ يَقْطُرُ فَصَلَّى بِهِمْ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ « إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنِّى كُنْتُ جُنُباً »
“Bahwasanya Rasulullah telah membuka shalat, dan bertakbir, kemudian beliau memberikan isyarat kepada mereka, ‘tetaplah kalian di tempat kalian.’ Kemudian beliau masuk (ke dalam rumah), lalu keluar (dari rumah) sementara kepala beliau meneteskan (air, karena mandi), lalu shalat bersama mereka. Tatkala beliau selesai shalat, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya aku hanyalah manusia, dan sesungguhnya aku tadi dalam keadaan junub.” (HR. Ahmad (5/41))
Dalam redaksi Abu Dawud:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ دَخَلَ فِى صَلاَةِ الْفَجْرِ [فَكَبَّرَ] فَأَوْمَأَ بِيَدِهِ أَنْ مَكَانَكُمْ ، ثُمَّ جَاءَ وَرَأْسُهُ يَقْطُرُ فَصَلَّى بِهِمْ ، فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ « إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنِّى كُنْتُ جُنُبًا »
“Bahwa Rasulullah masuk ke dalam shalat subuh [lalu beliau bertakbir], kemudian beliau memberikan isyarat dengan tangannya, ‘tetaplah pada tempat kalian’, kemudian beliau datang (dari rumah setelah mandi) sementara kepala beliau meneteskan (air), lalu shalat bersama mereka, tatkala beliau menyelesaikan shalatnya, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya aku hanyalah manusia, dan sesungguhnya aku tadi dalam keadaan junub.” (HR. Abu Dawud (233, 234), Shahih Sunan Abu Dawud (1/70))2
Sedang untuk pilihan kedua maka berdasarkan hadits ‘Amr bin Maimun, dia berkata:
إِنِّيْ لَقَائِمٌ مَا بَيْنِيْ وَبَيْنَ عُمَرَ غَدَاةَ أُصِيْبَ إِلاَّ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ، فَمَا هُوَ إِلاَّ أَنْ كَبَّرَ فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: قَتَلَنِيْ أَوْ أَكَلَنِيْ الْكَلْبُ حِيْنَ طَعَنَهُ، وَتَنَاوَلَ عُمَرُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ فَقَدَّمَهُ فَصَلَّى بِهِمْ صَلاَةً خَفِيْفَةً
“Sesungguhnya aku benar-benar berdiri (pada tempat) yang tidak ada antara aku dengan Umar pada pagi hari dia terkena musibah (dibunuh) kecuali Abdullah bin ‘Abbas. Maka tidaklah dia bertakbir kecuali kemudian aku mendengarnya berkata, ‘Anjing telah membunuhku, atau memakanku,’ ketika beliau ditikam, maka Umar pun mengambil tangan Abdurrahman bin ‘Auf, lalu memajukannya (untuk menggantikannya sebagai imam) yang kemudian Abdurrahman bin ‘Auf shalat ringan bersama mereka.” (HR. al-Bukhari (3700))
Boleh juga bagi makmum, tatkala tidak ada yang menggantikan imam, atau imam tidak menyuruh menunggu, untuk meneruskan shalat mereka masing-masing secara sendiri-sendiri.
Imam Ahmad bin Hambal berkata, ‘Jika imam menempatkan seseorang untuk menggantinya, maka Umar dan Ali telah menempatkan seseorang untuk menggantikannya, dan jika mereka (para makmum shalat sendiri-sendiri, maka Mu’awiyah telah ditikam, lalu manusia shalat sendiri-sendiri karena penikaman tersebut, dan mereka sempurnakan shalat mereka.’ (Disebutkan oleh Syaikhul Islam di Muntaqaul Akhbar setelah hadits (1455))
Syaikh bin Baz berkata, ‘Hadits-hadits tersebut, yang berkaitan dengan imam yang berhadats, atau imam yang berhadats setelah dia masuk dalam shalat yang sebelumnya dia suci; yaitu hadits Abu Bakrah, dan apa yang datang dengan makna seperti itu, maka keseluruhannya menunjukkan bahwa jika imam masuk ke dalam shalat sementara dia tidak dalam keadaan suci, kemudian dia ingat bahwa dia tidak suci, maka dia putus shalatnya, lalu bersuci kemudian mendatangi makmum yang berdiri (menunggu) pada tempatnya masing-masing dan menyempurnakan shalatnya bersama mereka. Karena Nabi bersabda, ‘Tetaplah kalian pada tempat-tempat kalian,’ lalu mereka pun tetap tinggal di shaf-shaf (mereka).
Riwayat-riwayat ini berselisih; pada riwayat Abu Bakrah dan sebagian riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa beliau bertakbir, dan masuk ke dalam shalat, sementara pada riwayat Shahihain disebutkan bahwa beliau berdiri, dan manusia menunggu takbir beliau, lalu beliau bersabda, ‘Tetaplah kalian tinggal di tempat kalian’ sebelum beliau bertakbir, lalu beliau pergi dan mandi.
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini; apakah keduanya adalah dua kisah atau satu kisah? Sebagian orang berpendapat bahwa keduanya adalah satu kisah, dan mereka merajihkan riwayat Shahihain, yaitu bahwa Nabi belum bertakbir, namun beliau ingat (beliau berhadats) sebelum bertakbir, lalu beliau pergi, lalu mandi kemudian datang kembali (untuk mengimami shalat).
Sebagian lain, seperti an-Nawawi , Ibnu Hibban dan sekelompok ulama yang lain berkata bahwa keduanya adalah dua kisah, satu kisah beliau sudah bertakbir, dan satu kisah beliau belum bertakbir. Dan masing-masing hadits memiliki kandungan hukumnya. Kisah yang di dalamnya beliau bertakbir, maka mengikuti shalat imam menurut mereka adalah mereka tetap tinggal pada keadaan mereka, kemudian tatkala imam datang, dia pun shalat bersama mereka (meneruskan shalat). Hal ini menunjukkan bahwa shalat mereka tidak batal dengan adanya hadats yang menimpa imam, atau imam ingat bahwa dia berhadats, dan inilah yang benar.
Misal, jika imam shalat bersama mereka satu atau dua rakaat, kemudian menjadi nyata bagi imam bahwa dia tidak dalam keadaan suci, maka jika dia mau, dia berkata, ‘Tetaplah kalian di tempat kalian.’ Kemudian dia pergi bersuci, kemudian datang lagi dan menyempurnakan shalat bersama mereka, lalu mereka (makmum) menunggunya hingga dia sempurnakan kewajibannya (yaitu rakaat yang kurang). Dan jika imam mau, maka dia menempatkan seseorang untuk menggantikannya sebagaimana penempatan Umar tatkala dia ditikam, dia memajukan ‘Abdurrahman (bin ‘Auf) dan diapun shalat bersama mereka. Ini adalah lebih ringan bagi manusia, terutama jika tempat tinggal imam jauh, karena tempat tinggal Rasulullah dekat masjid. Oleh karena itulah (nabi melakukannya), karena beliau bisa pergi dengan cepat dan kembali dengan cepat, lalu shalat bersama mereka.
Jika mereka shalat sendiri-sendiri, yaitu masing-masing shalat sendiri, menyempurnakan shalat sendiri sebagaimana yang dilakukan pada kisah Mu’awiyah, maka tidak masalah. Akan tetapi yang lebih utama untuk dilakukan adalah seperti yang dilakukan oleh Umar, yaitu memajukan salah seorang di antara mereka, lalu dia sempurnakan apa yang tersisa dari shalat imam, dan tidak menunggu imam, karena menunggu kadang membawa kesulitan besar pada sebagian keadaan.
Adapun jika dia ingat sementara dia berdiri sebelum bertakbir, maka jika dia memerintahkan makmum untuk menunggunya, maka tidak masalah. Jika dia memerintahkan mereka agar shalat, supaya tidak memberatkan mereka, maka itu juga boleh dilakukan. Manusia membutuhkan yang seperti ini; karena di antara para imam, ada yang tempat tinggalnya dekat, dia bisa kembali kepada makmum dengan cepat, juga ada yang tempat tinggalnya jauh hingga memberatkan imam jika menunggu. Jadi imam harus melihat apa yang paling maslahat. Dan perbuatan Nabi menunjukkan bahwa menunggu itu adalah lebih utama, jika tempat tinggalnya (atau tempat mandinya) dekat. Karena beliau bersabda, ‘Tetaplah kalian di tempat kalian,’ dan beliau tidak menempatkan orang untuk mengganti beliau. Hal itu menunjukkan bahwa menunggu itu adalah lebih utama jika mudah, dan tidak ada kesulitan di dalamnya. Adapun jika ada kesulitan, maka dalil-dalil syar’i menunjukkan bahwa disyariatkan untuk memudahkan jama’ah, tidak menyulitkan, dan menempatkan seseorang untuk mengganti itu menjadi lebih maslahat pada keadaan tersebut dan lebih mudah bagi kaum mukminin sebagaimana diperbuat oleh Umar .3 [*]
1 Disarikan oleh Muhammad Syahri dari risalah yang ditulis oleh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthaniy yang berjudul al-Imamah fis Shalat, Mafhum, wafadha’il, wa anwa`, wa adab wa ahkam, fi dhau’il kitabi was-sunnah.
2 Tentang hadits Abu Hurairah dan Abu Bakrah yang zhahirnya bertentangan itu, para ulama berbeda pendapat. Imam Nawawi berkata, ‘Riwayat tersebut mengandung makna bahwa yang dimaksud dengan ‘Beliau masuk ke dalam shalat adalah bahwa beliau berdiri di tempatnya untuk shalat, dan bersiap-siap untuk takbiratul ihram, dan juga mengandung kemungkinan bahwa itu adalah dua kejadian yang berbeda, dan itulah yang nyata (yaitu memang ada dua kejadian, kejadian dalam hadits Abu Hurairah dan kejadian dalam Hadits Abu Bakrah).’ (Syarah Muslim (5/107))
Imam al-Qurthubi berkata, ‘Hadits dengan riwayat ini telah menyulitkan banyak ulama, oleh karena itulah mereka meniti beberapa jalan; di antara mereka ada yang mentarjih riwayat yang pertama (yaitu riwayat Abu Hurairah dalam Shahihain), dan berpendapat bahwa itu adalah hadits yang paling shahih dan masyhur, serta tidak mengangkat riwayat Abu Bakrah. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa keduanya shahih, dan tidak ada pertentangan di antara keduanya. Jadi mengandung kemungkinan keduanya adalah dua kejadian yang berbeda, maka diambillah dari masing-masing hadits kandungan hukum-hukumnya. (al-Mufham lima Asykala min talkhisi Kitab muslim, al-Qurthubi (2/229))
3 Keterangan ini di dengar oleh Syaikh Sa’d bin Wahf al-Qohthoni saat Syaikh bin Baz menjelaskan kitab al-Muntaqa bi Akhbaril Musthafa , hadits yang 1452-1455. Lihat juga at-Tamhid Ibnu Abdil Barr (1/173-190), al-Mughni (2/504-512), Hasyiah Ibnu Qasim ‘ala ar-Raudh al-Murabba’ (2/576), Syarhul Mumti’ (2/312-318) (4/337-342), Fatawa Ibnu Baz (12/132-142))