16. Keluarga Si Mayit Membuat Makanan Jamuan Bagi Para Pelayat.
Ini adalah termasuk bagian bid’ah-bid’ah, yang demikian itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dari Jariir bin ‘Abdillah, dia berkata,
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Dulu, kami berpandangan bahwa berkumpul ke keluarga si mayit, dan membuat makanan setelah pemakamannya adalah termasuk bagian dari niyahah (meratap).”([1])
Ibnu al-Humam di dalam Syarhu al-Hidayah telah melarang dengan menyatakan akan kemakruhan membuat jamuan makan oleh keluarga si mayit (bagi para pelayat), seraya beliau berkata, ‘Ia adalah bid’ah yang buruk.” Dan ia adalah madzhab Hanbali sebagaimana disebutkan di dalam al-Inshaf.
Yang sunnah adalah bahwa kerabat si mayit dan tetangga keluarga si mayitlah yang membuat makanan dan mengenyangkan mereka (keluarga si mayit). Yang demikian itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan selainnya dari hadits ‘Abdillah bin Ja’far subhaanahu wa ta’aala, dia berkata, ‘Saat datang berita kematian Ja’far, maka Nabi ﷺ bersabda,
« اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا , فَإِنَّهُ قَدْ جَاءَهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ »
“Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.”([2])
Imam as-Syafi’iy rahimahullah berkata di dalam al-Umm, “Dan aku senang bagi tetangga si mayit, atau yang memiliki kekerabatan dengan si mayit untuk membuat makanan bagi keluarga si mayit sehari semalam sejak kematiannya, dengan makanan yang mengenyangkan mereka. Karena yang demikian itu adalah sebuah sunnah, dan penyebutan yang baik, dan termasuk bagian dari perbuatan orang-orang baik sebelum dan sesudah kami.”([3])
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata di dalam as-Syarhul Mumti’, ‘Maka Engkau mendapati sebuah rumah yang keluarganya tertimpa musibah, seakan-akan rumah itu adalah rumah pengantin baru. Dan ini, tidak diragukan lagi termasuk bid’ah yang munkar.’([4])
Dan disebutkan di dalam al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah, ‘Akan tetapi jika yang melayat adalah dari tempat-tempat yang jauh, maka boleh menyiapkan makanan untuk mereka, dikarenakan yang demikian itu tidak menyerupai berkumpul untuk niyahah (meratap).’
Terdapat sebuah bid’ah munkar lain, yaitu apa yang disebut oleh manusia, atau sebagian mereka sebagai jamuan makan malam mayit, atau jamuan makan malam kedua orang tua (haul), lalu manusiapun berkumpul setiap tahunnya, misal di dalam bulan Ramadhan, atas nama shadaqah dari mayit mereka.
Disebutkan di dalam sebuah pertanyaan yang ditujukan untuk al-Lajah ad-Da`imah, ‘Apakah jika diundang untuk makan makanan yang dihidangkan di saat kematian, apakah undangan tersebut di datangi?’
Jawab, ‘Tidak memenuhi undangan tersebut, karena hal itu termasuk bid’ah, dan hal ini tidak terhitung memutus tali rahim.’
(Diambil dari Kitab Silsilah Akhthaaunnisaa` (2) Akhthooun Nisa al-Muta’alliqah fi al-Janaaiz, Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)
_____________________________
Footnote:
([1]) HR. Ahmad (6905), Ibnu Majah (1612), at-Thabraniy (II/307, no. 2279), Syaikh al-Arnauth berkata, ‘Hadits Shahih.’ Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (29/132)-pent
([2]) HR. at-Turmudzi (998), Abu Dawud (3132), Ibnu Majah (1610), lihat Shahiihul Jaami’ (1015), Ahkaamul Janaa`iz, hal. 167, Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (29/131)-pent
([3]) Al-Umm, as-Syafi’iy, I/317-pent
([4]) As-Syarhul Mumti’, Syaikh Ibnu ‘Utsaimiin, V/376.-pent