Fiqih Imamah (8) : Pengaturan Shaf – 3

@Fiqih Imamah (8)1

Pada pembahasan yang lalu kami telah membahas Shaf Dalam Shalat Berikut Pengaturannya yang meliputi: 1) Urutan Shaf 2) Meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya wajib 3) Lafazh-lafazh Nabi dalam meluruskan shaf, 4) Shaf pertama adalah shaf yang paling utama, 5) Shaf sebelah kanan lebih utama, 6) Menyambung shaf dan tidak memutusnya, 7) Tidak Shalat Sendirian di belakang Shaf tanpa udzur, 8) Makruh membentuk shaf di antara tiang tanpa udzur.

Sekarang kita lanjutkan poin berikutnya:

9) Bolehnya makmum memisahkan diri dari imam karena udzur, baik dengan meneruskan shalatnya sendiri, atau memutus shalat kemudian mengulanginya dari awal.

Untuk yang memisahkan diri lalu meneruskan shalatnya sendirian, maka berdasarkan hadits Shalih bin Khawwat tentang orang-orang yang ikut shalat khouf bersama Rasulullah dalam perang Dzatur Riqa’; bahwasannya sekelompok orang shalat bersama beliau dan sekelompok yang lain menghadapi musuh, maka shalatlah Rasulullah memimpin kelompok yang bersama beliau satu rakaat, lalu beliau tetap berdiri sementara kelompok itu menyelesaikan shalat mereka sendiri, lalu pergi dan berbaris menghadapi musuh. Lalu datanglah kelompok lain kepada Rasulullah , kemudian Rasulullah shalat bersama mereka satu rakaat yang tersisa dari shalat beliau, kemudian beliau diam dalam keadaan duduk, dan kelompok itu menyelesaikan shalat mereka sendiri kemudian Nabi salam bersama mereka.’ (HR. al-Bukhari (4129), Muslim (842))

Juga berdasarkan hadits Jabir bin ‘Abdillah, bahwasannya Mu’adz shalat bersama Nabi kemudian dia mendatangi kaumnya lalu shalat (mengimami) mereka. Maka dia membaca surat al-Baqarah. Jabir berkata, ‘Maka ada seorang laki-laki yang memisahkan diri, lalu shalat ringan (sendirian). Kemudian hal itu sampai kepada Mu’adz, maka dia berkata, ‘Sesungguhnya dia adalah seorang munafik.’ Lantas hal itu sampai kepada laki-laki tersebut, maka dia mendatangi Rasulullah seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah kaum yang bekerja dengan kedua tangan kami, dan mengairi dengan onta-onta kami, dan sesungguhnya Mu’adz tadi malam mengimami kami shalat lalu membaca surat al-Baqarah, kemudian aku memisahkan diri (dan shalat ringan sendirian) lalu dia menyangka bahwa aku adalah seorang munafik.’ Maka Rasulullah bersabda:

« يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ ثَلاَثًا اقْرَأْ ( وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا ) وَ ( سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى ) وَنَحْوَهَا »

Wahai Mu’adz, apakah kamu itu akan membuat fitnah? (tiga kali) Bacalah wasysyamsi wadhuhaha dan sabbihisma robbikal a’la, dan semacamnya.” (HR. al-Bukhari (6106))

Adapun bolehnya memutus shalat, kemudian shalat sendiri dari awal, maka berdasarkan hadits Jabir :

كَانَ مُعَاذٌ يُصَلِّى مَعَ النَّبِىِّ ثُمَّ يَأْتِى فَيَؤُمُّ قَوْمَهُ فَصَلَّى لَيْلَةً مَعَ النَّبِىِّ الْعِشَاءَ ثُمَّ أَتَى قَوْمَهُ فَأَمَّهُمْ فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ فَانْحَرَفَ رَجُلٌ فَسَلَّمَ ثُمَّ صَلَّى وَحْدَهُ وَانْصَرَفَ فَقَالُوا لَهُ أَنَافَقْتَ يَا فُلاَنُ قَالَ لاَ وَاللَّهِ وَلآتِيَنَّ رَسُولَ اللَّهِ فَلأُخْبِرَنَّهُ. فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا أَصْحَابُ نَوَاضِحَ نَعْمَلُ بِالنَّهَارِ وَإِنَّ مُعَاذًا صَلَّى مَعَكَ الْعِشَاءَ ثُمَّ أَتَى فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ. فَأَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ عَلَى مُعَاذٍ فَقَالَ « يَا مُعَاذُ أَفَتَّانٌ أَنْتَ اقْرَأْ بِكَذَا وَاقْرَأْ بِكَذَا »

Adalah Mu’adz shalat bersama Rasulullah , kemudian dia mendatangi kaumnya dan mengimami mereka. Suatu malam dia shalat Isya’ bersama Nabi , lalu mendatangi kaumnya, mengimami mereka, lalu mulai membuka surat al-Baqarah. Lantas ada seorang laki-laki yang berpaling, lalu salam, kemudian dia shalat sendiri, lalu pergi. Maka mereka berkata kepadanya, ‘Apakah kamu telah munafiq wahai fulan?’ Dia menjawab, ‘Tidak, demi Allah, benar-benar aku akan mendatangi Rasulullah , dan akan kukabarkan kepada beliau.’ Maka diapun mendatangi Rasulullah seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah pemilik onta (untuk mengambil air) yang bekerja di siang hari, dan sesungguhnya Mu’adz telah shalat isya’ bersama Anda kemudian datang (kepada kami, lalu mengimami kami) lantas membuka surat al-Baqarah.’ Maka Rasulullah menghadap Mu’adz seraya bersabda, ‘Wahai Mu’adz, apakah kamu tukang pembuat fitnah? Bacalah ini, dan bacalah ini.” (HR. Muslim (81(465))

Syaikh al-Qahthani berkata, ‘Aku mendengar Syaikh bin Baz berkata, ‘Padanya ada dalil atas bolehnya memisahkan diri dari imam karena udzur, sama saja apakah dia sempurnakan shalatnya sendiri atau memutusnya lalu memulainya dari awal sebagaimana dalam kedua kisah tersebut. Dan ini adalah udzur syar’i karena panjangnya bacaan imam. Dan tampak bahwa hendaknya imam tidak memperpanjang bacaannya, dan memperhatikan manusia agar tidak memberatkan mereka.’

10. Bolehnya munfarid (orang yang shalat sendirian) merubah niatnya menjadi imam.

Berdasarkan hadits Anas , dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يُصَلِّى فِى رَمَضَانَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ وَجَاءَ رَجُلٌ آخَرُ فَقَامَ أَيْضًا حَتَّى كُنَّا رَهْطًا فَلَمَّا حَسَّ النَّبِىُّ أَنَّا خَلْفَهُ جَعَلَ يَتَجَوَّزُ فِى الصَّلاَةِ ثُمَّ دَخَلَ رَحْلَهُ فَصَلَّى صَلاَةً لاَ يُصَلِّيهَا عِنْدَنَا. قَالَ: قُلْنَا لَهُ حِينَ أَصْبَحْنَا: أَفَطِنْتَ لَنَا اللَّيْلَةَ؟ قَالَ: فَقَالَ « نَعَمْ ذَاكَ الَّذِى حَمَلَنِى عَلَى الَّذِى صَنَعْتُ ».

Rasulullah pernah shalat di dalam bulan Ramadhan, kemudian aku datang dan berdiri di sebelah beliau, kemudian datang laki-laki lain, dan berdiri pula, hingga kami menjadi beberapa orang. Tatkala Nabi merasa bahwa kami ada di belakang beliau, beliau meringkas (meringankan, mempercepat) shalatnya, kemudian masuk ke dalam rumahnya, lalu shalat dengan shalat yang beliau tidak melakukannya di sisi kami.’ Anas berkata, ‘Kami katakan kepada beliau di waktu subuh, ‘Apakah Anda mengetahui kami tadi malam?’ maka beliau menjawab, ‘Ya, itulah yang membuatku melakukan apa yang telah kulakukan.’ (HR. Muslim (1104))

Juga hadits Zaid bin Tsabit ,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ اتَّخَذَ حُجْرَةً في المسجد مِنْ حَصِيرٍ فِى رَمَضَانَ فَصَلَّى فِيهَا لَيَالِىَ، فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَلَمَّا عَلِمَ بِهِمْ جَعَلَ يَقْعُدُ، فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ « قَدْ عَرَفْتُ الَّذِى رَأَيْتُ مِنْ صَنِيعِكُمْ، فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ »

Bahwasanya Rasulullah membuat sebuah kamar di dalam masjid dari tikar dalam bulan Ramadhan. Maka beliau shalat beberapa malam di dalamnya, kemudian manusia dari para sahabat beliau shalat dengan shalat beliau. Tatkala beliau mengetahui mereka, beliaupun duduk, kemudian keluar kepada mereka seraya bersabda, ‘Sungguh, aku telah tahu apa yang kulihat dari perbuatan kalian, maka shalatlah di rumah-rumah kalian wahai manusia, karena shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang di dalam rumahnya, kecuali shalat fardhu.”

Dalam sebuah Riwayat:

ثُمَّ جَاءُوا لَيْلَةً فَحَضَرُوا وَأَبْطَأَ رَسُولُ اللَّهِ عَنْهُمْ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ فَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ وَحَصَبُوا الْبَابَ، فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ مُغْضَبًا فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ « مَا زَالَ بِكُمْ صَنِيعُكُمْ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُكْتَبُ عَلَيْكُمْ، [وَلَوْ كُتِبَ عَلَيْكُمْ مَا قُمْتُمْ بِهِ] فَعَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِى بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ، إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوبَةَ »

Kemudian mereka datang dan hadir pada suatu malam, lantas Nabi memperlambat (keluar beliau) terhadap mereka. Beliau tidak keluar menuju mereka, maka merekapun mengeraskan suara dan melempar pintu dengan batu kecil. Maka Nabi pun keluar menuju mereka dalam keadaan marah seraya bersabda kepada mereka, ‘Tidak henti-hentinya perbuatan kalian itu ada pada kalian hingga aku menyangka bahwa itu akan diwajibkan atas kalian [dan seandainya diwajibkan atas kalian, maka kalian tidak akan mengerjakannya], maka hendaknya kalian shalat di rumah-rumah kalian, karena sebaik-baik shalat seseorang adalah di dalam rumahnya, kecuali shalar fardhu.’ (HR. al-Bukhari (731, 6113, 7290))

Juga hadits ‘Aisyah ,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ فِى حُجْرَتِهِ، وَجِدَارُ الْحُجْرَةِ قَصِيرٌ، فَرَأَى النَّاسُ شَخْصَ النَّبِىِّ فَقَامَ أُنَاسٌ يُصَلُّونَ بِصَلاَتِهِ، فَأَصْبَحُوا فَتَحَدَّثُوا بِذَلِكَ، فَقَامَ لَيْلَةَ الثَّانِيَةِ، فَقَامَ مَعَهُ أُنَاسٌ يُصَلُّونَ بِصَلاَتِهِ، صَنَعُوا ذَلِكَ لَيْلَتَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةً، حَتَّى إِذَا كَانَ بَعْدَ ذَلِكَ جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ فَلَمْ يَخْرُجْ، فَلَمَّا أَصْبَحَ ذَكَرَ ذَلِكَ النَّاسُ فَقَالَ « إِنِّى خَشِيتُ أَنْ تُكْتَبَ عَلَيْكُمْ صَلاَةُ اللَّيْلِ »

Adalah Rasulullah shalat pada sebagian malam di dalam kamarnya (dalam masjid), sementara dinding (pembatas) kamar pendek, maka manusia meliat sosok Nabi , maka manusiapun shalat (makmum) dengan shalat beliau. Maka di pagi hari mereka membicarakan hal tersebut. Kemudian beliau shalat pada malam yang kedua, manusiapun shalat bersama beliau mengikuti shalat beliau. Mereka melakukannya dua atau tiga malam. Hingga setelahnya Rasulullah duduk dan tidak keluar. Saat pagi hari, manusia menyebutkan hal tersebut, maka beliau bersabda, ‘Sesungguhnya aku khawatir shalat malam akan diwajibkan atas kalian.’ (HR. al-Bukhari (729))

Hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya seorang munfarid berpindah menjadi imam. (al-Muntaqa Min Akhabaril Mushthafa (1/609), Nailul Authar (2/375))

11. Bolehnya imam pengganti berpindah menjadi makmum jika yang digantikannya (yaitu imam rawatib/tetap) telah hadir.

Berdasarkan hadits Sahl bin Sa’d as-Sa’idiy , ‘Bahwasannya Rasulullah pernah pergi ke Bani ‘Amr bin ‘Auf untuk mendamaikan perselisihan mereka. Kemudian datanglah waktu shalat, lalu datanglah muadzin kepada Abu Bakar seraya berkata, ‘Apakah kamu mau shalat mengimami manusia, hingga aku iqamahi?’ Maka dia menjawab, ‘Ya.’ Maka shalatlah Abu Bakar, lantas Rasulullah datang sementara manusia berada dalam shalat. Maka Nabi menembus barisan hingga berdiri di shaf (depan). Manusiapun bertepuk tangan -dan adalah Abu Bakar tidak menoleh di dalam shalatnya-. Tatkala manusia banyak bertepuk tangan, Abu Bakarpun menoleh dan melihat Rasulullah . Maka Rasulullah memberikan isyarat kepadanya, ‘Diamlah pada tempatmu.’ Maka Abu Bakar mengangkat kedua tangannya, lalu memuji Allah atas apa yang dengannya Rasulullah memerintahnya. Kemudian Abu Bakar mundur hingga sejajar dalam shaf. Lalu Rasulullah maju dan shalat. Saat selesai, beliau bersabda,

« يَا أَبَا بَكْرٍ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَثْبُتَ إِذْ أَمَرْتُكَ ». فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ مَا كَانَ لاِبْنِ أَبِى قُحَافَةَ أَنْ يُصَلِّىَ بَيْنَ يَدَىْ رَسُولِ اللَّهِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ « مَا لِى رَأَيْتُكُمْ أَكْثَرْتُمُ التَّصْفِيقَ مَنْ رَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ، فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ، وَإِنَّمَا التَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ »

Wahai Abu Bakar, apa yang menghalangimu untuk tetap saat aku memerintahmu?’ Abu Bakar menjawab, ‘Tidak pantas bagi Ibnu Abi Quhafah untuk shalat di hadapan Rasulullah . Maka Rasulullah bersabda, ‘Mengapa aku melihat kalian banyak bertepuk tangan, barangsiapa ada sesuatu menimpanya di dalam shalatnya (yang ia perlu menegur imam) maka hendaknya dia bertasbih, karena jika dia bertasbih maka dia ditoleh (diperhatikan). Tepuk tangan itu hanyalah untuk kaum wanita.’ (HR. al-Bukhari (684, 7190), Muslim (421))

Syaikh bin Baz berkata, ‘Padanya terdapat dalil bahwa tidak mengapa seorang imam pengganti mundur jika imam resmi (tetap) datang. Maka jadilah dia seorang imam di awal shalat, dan seorang makmum di tengah-tengahnya, tidak ada masalah dalam hal ini. Sebagaimana perbuatan as-Shiddiq saat Nabi hadir, dan seandainya dia terus jadi imam maka tidak mengapa, karena Nabi memberikan isyarat kepadanya untuk meneruskan, akan tetapi Abu Bakar tidak menyukainya, dan berkata, ‘Tidak layak bagi Ibnu Abi quhafah untuk maju, shalat di hadapan Rasulullah .’ Dan di dalam hadits ‘Abdurrahman bin ‘Auf dalam redaksi Muslim (274) dalam Peperangan Tabuk, bahwa dia shalat bersama manusia, dan Nabi mengakuinya dan shalat di belakangnya. Adalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf telah shalat satu rakaat subuh. Saat ‘Abdurrahman salam, Nabi dan al-Mughirah berdiri menyelesaikan satu rakaat. Jika seorang imam datang, sementara pengganti telah shalat satu rakaat, maka hendaknya imam rawatib ini tidak maju, akan tetapi shalat bersama manusia, adapun jika dia datang di awal shalat, maka dia boleh memilih, jika dia mau dia maju dan imam pengganti mundur, dan jika dia mau, maka dia membiarkannya menyempurnakan shalatnya bersama manusia. Yang utama adalah membiarkan imam pengganti itu menyempurnakan shalatnya, karena Rasulullah memerintahkan as-Shiddiq untuk menyempurnakan shalat, namun as-Shiddiq bersikap sopan.’

Juga berdasarkan hadits ‘Aisyah , ‘Bahwa Nabi pada saat sakit menjelang wafat beliau, beliau merasa ringan, maka beliau keluar dan menemukan Abu Bakar tengah shalat bersama manusia, Abu Bakar pun ingin mundur, lantas Nabi memberikan isyarat, ‘Tetap pada tempatmu.’ Kemudian beliau datang dengan dipapah di antara dua orang laki-laki hingga duduk di sisi kiri Abu Bakar. Dan kala itu Abu Bakar shalat dalam keadaan berdiri, sementara Rasulullah dalam keadaan duduk. Abu Bakar shalat mengikuti shalat Rasulullah dan manusia mengikuti shalat Abu Bakar.’ Dalam redaksi al-Bukhari, ‘Bahwa itu adalah shalat Zhuhur.’ Dalam redaksi Muslim, adalah Nabi shalat bersama manusia, dan Abu Bakar memperdengarkan takbir kepada mereka.’ (HR. al-Bukhari (713), Muslim (418))

12. Bolehnya makmum berpindah menjadi Imam, jika Imam memintanya mengganti.

Berdasarkan hadits ‘Amr bin Maimun, dia berkata, ‘Sesungguhnya aku benar-benar berdiri, tidak ada antara aku dan Umar di pagi hari itu kecuali ‘Abdullah bin ‘Abbas. Tidaklah dia bertakbir kecuali kemudian aku mendengarnya berkata, ‘Telah membunuhku, atau memakanku seekor anjing.’ Saat dia menusuknya. Maka Umar meraih tangan ‘Abdurrahman bin ‘Auf dan memajukannya, maka ‘Abdurrahman shalat bersama mereka dengan shalat yang ringan.’ (HR. al-Bukhari (3700))

Hadits di atas mengandung makna bolehnya menggantikan kedudukan imam saat ada udzur bagi imam yang mengharuskannya diganti, berdasarkan ijma’ para sahabat. (Nailul Authar (2/416))

Pada pembahasan berikutnya akan kita lanjutkan dengan pembahasan Mengikuti Imam, Syarat dan Konsekuensinya, Insya Allah. (AR)*

1 Disarikan oleh Muhammad Syahri dari risalah yang ditulis oleh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthaniy yang berjudul al-Imamah fis Shalat, Mafhum, wafadha’il, wa anwa`, wa adab wa ahkam, fi dhauil kitabi was-sunnah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *