Oleh: DR. KH. Agus Hasan Bashori, Lc. M.Ag
(Pendiri dan Penasihat Yayasan Qiyam at-Tabi’in)
Melanjutkan makalah Puasa Arofah Ikut wukuf di Arofah[1] saya tulis makalah ini. Makalah ini asalnya adalah pengajian kitab al-Umm tadi malam di Masjid Jami’ al-Umm (Kamis 2 -10-2014 M/ 8 Dzulhijah 1435 H).
Secara umum kapan puasa arofah? Jawabannya: ada dua mdzhab besar:
Pertama: Puasa arafah itu sesuai dengan Hari wuquf jamaah haji di Arofah, (berdasar rukyah Makkah, Syam atau lainnya). Semua Negara islam yang harinya sama dan mendengar ada rukyah di waktu yang bermanfaat untuk sahur puasa berarti sama.
Sebab perintah Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersifat umum untuk seluruh muslim agar puasa berdasarkan rukyah sebagian mereka dimanapun mereka berada. Islam itu ruhnya adalah agama universal bukan terkotak-kotak mengikuti bangsa atau Negara masing-masing. Ini madzhab jumhur ulama, bersifat paling kuat dalilnya dan paling menyatukan umat Islam. ini bersifat idealis.
Kedua: Puasa hari arofah adalah tanggal 9 Dzulhjjah di masing-masing bangsa atau negri atau Negara, atau mathla’ atau kawasan tidak ada kaitannya dengan wukufnya jamaah haji di arofah, dan tidak ada kaitannya dengan bangsa lain. Pokoknya nafsi-nafsi, tidak perlu melihat jamaah haji, bisa sebelum mereka wukuf di Arofah atau sesudah mereka wukuf. Saudi, Mesir, Tunis, Maghribi, Kuwait, Bahrain, Yaman, Palestina, India, Indonesia, masing-masing memikirkan dan mengurus negaranya sendiri, berhari raya sendiri-sendiri. Begitu kira-kira kesimpulannya[2]. Pendapat ini mudah diamalkan dan realita umat Islam sejak dulu, namun apakah ini sudah ideal, apalagi zaman sekarang, disaat orang kafir saja berlomba untuk melakukan persatuan-persatuan di banyak bidang.
Karena kajian “malam ini” adalah tentang kitab al-Umm maka kita mulai dari ucapan Imam Syafi’i rahimahullah: “Bab Puasa hari Arafah dan hari Asyura’:
َ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ قَالَ حَدَّثَنَا دَاوُد بْنُ شابور وَغَيْرُهُ عَنْ أُمِّ قَزْعَةَ عَنْ أَبِي الْخَلِيلِ عَنْ أَبِي حَرْمَلَةَ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُالسَّنَةِ وَالسَّنَةِ الَّتِي تَلِيهَا وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةً» قَالَ فَأُحِبُّ صَوْمَهَا إلَّا أَنْ يَكُونَ حَاجًّا فَأُحِبُّ لَهُ تَرْكَ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ لِأَنَّهُ حَاجٌّ مُضَحٍّ مُسَافِرٌ وَلِتَرْكِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَوْمَهُ فِي الْحَجِّ وَلِيَقْوَى بِذَلِكَ عَلَى الدُّعَاءِ، وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ يَوْمُ عَرَفَةَ.[3]
Imam Mawardi berkomentar:
قَوْلُ الشَّافِعِيِّ، وَسَائِرِ الْفُقَهَاءِ إِنَّ الْأَوْلَى لَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا يَوْمَ عَرَفَةَ، لِمَا رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَةَ وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّاسَ اخْتَلَفُوا فِي صِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِعَرَفَةَ قَالَ: فَأَرْسَلَتْ أُمُّ الْفَضْلِ عَلَى يَدَيِ الْعَبَّاسِ قَدَحًا فِيهِ لَبَنُ الْأَوْرَاكِ، فَشَرِبَهُ وَهُوَ واقفٌ عَلَى بَعِيرِهِ بِالْمَوْقِفِ.
وَرَوَى ابْنُ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: سُئِلَ ابْنُ عُمَرَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ، فَقَالَ: حَجَجْتُ مَعَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَأَنَا لَا أَصُومُهُ، وَلَا آمُرُ بِصِيَامِهِ، وَلَا أَنْهَى عَنْهُ وَلِأَنَّ فِي إِفْطَارِهِ تَقْوِيَةً عَلَى أَدَاءِ حَجِّهِ، وَعَلَى الدُّعَاءِ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ يَوْمَ عَرَفَةَ[4].
Imam Syafi’i juga mengingatkan bahwa penentuan masalah kapan wuquf di Arofah adalah masalah Ijtihad, oleh karena itu kalau salah menentukan maka haji orang-orang tetap sah (tanggung jawab dipikul Imam yang menentukan). Beliau berkata antara lain:
: وَكَذَلِكَ (يجزئ عنه) لَوْ حَجَّ فِي عَامٍ أَخْطَأَ النَّاسُ فِيهِ يَوْمَ عَرَفَةَ[5]؛ لِأَنَّ حَجَّهُمْ يَوْمَ يَحُجُّونَ كَمَا فِطْرُهُمْ يَوْمَ يُفْطِرُونَ وَأَضْحَاهُمْ يَوْمَ يُضَحُّونَ؛ لِأَنَّهُمْ إنَّمَا كُلِّفُوا الظَّاهِرَ فِيمَا يَغِيبُ عَنْهُمْ فِيمَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ[6]،
Tentang penentuan puasa, hari, raya idul fitri, arofah dan haji Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda diantaranya (kita pilih yang dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma):
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Janganlah kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari.” (HR al-Tirmidzi no. 624; Ibnu Hibban no. 2301)
Ini jika tidak berhasil merukyah dan tidak ada kabar rukyah, maka masing-masing berijtihad untuk berpuasa dan berhari raya sendiri-sendiri (sesuai dg kemungkinan yang ada pada penduduk negri itu)
Namun jika ada yang memberitakan kalau sudah ada rukyah maka harus ikut rukyah tersebut.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bahwa:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal¤. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).
Demikianlah nabi shallallahu ‘alayhi wasallam yang tidak melihat hilal tersebut begitu ada berita dari orang badui, tanpa menanyakan badui di mana, berapa jaraknya, tapi hanya Tanya apakah kamu muslim? Maka Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam langsung megikuti rukyah ini.
Jika tidak ada kabar rukyah sama sekali maka kembali kepada masing-masing melakukan ikmal, dan puasa atau hari raya sendiri-sendiri, meski berdekatan seperti Madinah dan Syam:
Hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dari Kuraib:
أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ):
Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Dan bulan Ramadhan tiba saat aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu (aku pulang), aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya (sendiri)[7].’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah[8] Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah memerintahkan kepada kami’. ( HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasa’i no. 2084; Ahmad no. 2653).
Demikianlah praktek dan realita puasa dan hari raya zaman itu. Sangat realistis. Syam dan Madinah yang berada dalam satu Khilafah berpuasa dan berhari raya beda sebab factor keterbatasan informasi.
Haji Tahun 824 H
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Inba` al-Ghamr Bi Anba` al-Umr pada kejadian tahun 824 H menyebutkan bahwa hari raya idul Adha di Mesir terjadi pada hari Jumat, sementara wukuf di Arofah baru hari itu yaitu jumat.
Haji tahun 828 H
Empat tahun kemudian, menurut catatan al-Hafizh Ibnu Hajar di kitab yang sama, bahwa wukuf di Arofah jatuh pada hari Senin, sedangkan di kairo hari Arofah adalah hari Ahad.
Haji tahun 1357 H/ 1939 M
Syaikh Ahmad Syakir menceritakan peristiwa tujuh puluh lima tahun yang lalu dalam risalahnya: Awail al-Syuhur al-Arabiyyah (halaman 3) bahwa mahkamah tinggi syariat menetapkan tanggal 1 dzulhijjah tahun 1357 H jatuh pada hari Sabtu, sehingga arofah jatuh pada hari Ahad dan idul adhha hari senin (30 Januari 1939).
Beberapa hari setelah itu, disiarkan di Muqaththam (Gunung sebelah Timur Kairo) bahwa di Saudi Arabia tidak terlihat hilal sehingga diputuskan ikmal, maka tanggal 1 Dzulhijjah adalah Ahad, sehingga wukuf pada hari Senin, dan Idul Adhha hari Selasa (31 Januari 1939).
Sepuluh hari kemudian, hari jumat 21 Februari 1939, surat kabar al-Balagh melalui korespondennya yang ada di Bombai India melaporkan di awal Februari 1939 M bahwa umat Islam India merayakan idul Adha hari Rabo, berbeda dengan Negara-negara Islam yang lain, tidak senin, tidak selasa tapi Rabo! Demikianlah realitanya, berdasarkan madzhab kedua, ini realistis, sesuai dengan realitanya, masing-masing berdiri sendiri tidak ada kaitannya dengan umat Islam atau Negara Islam lainnya.
Apa ini ideal? Apakah ini perlu dipertahankan? Apakah ini sesuai dengan universalitas Islam? apakah sesuai dengan keumuman dan kemutlakan perintah mengikuti rukyah dimanapun? Apakah ini sesuai dengan keinginan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam? Apakah ini paling utama, apalagi di zaman revolusi informasi ini?
Jika realita seperti ini boleh, apakah kalau bersatu tidak boleh? Atau malah lebih afdhal lagi?
Kalau Negara-negara ASEAN bersatu bukankah lebih baik?
Kalau Negara-negara di Timur Tengah bersatu bukankah itu lebih baik?
Kalau india dan timur tengah bersatu bukankah ini lebih baik?
Apalagi sekarang sudah ada kesepakatan bilateral antara Saudi dan Mesir untuk melanjutkan proyek pembangunan jembatan “al-Malik Abdullah bin Abdul Aziz†yang menghubungkan dua Negara itu. Jembatan itu memanjang dari daerah Tabuk antara Ra`su Humaid dan selat Tairan sampai pintu masuk teluk aqobah di Mesir melintasi Laut Merah. Tahukan Anda berapa jaraknya? Hanya 50 km. ditambah lagi mulai ada pembicaraan untuk membuat terowongan bawah tanah melewati bawah laut merah! Maka apakah dua Negara yang hanya berjarak 50 km ini harus berbeda tanggal, puasa dan hari raya? Tentu tidak, maka yang baik dan yang rajih adalah harus bersatu.
Perhatikan gambar berikut:
Seandainya Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam sekarang hidup dan mengetahui apakah senang umatnya menonjolkan negaranya masing-masing, membatasi sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam dengan mengatakan: kami orang mesir memiliki rukyat sendiri, tidak ada hubungannya dengan Saudi, dan kami Saudi tidak ada urusannya dengan Mesir?!
Oleh karena itu SYAIKH ALBANI berkata dalam Silsilah al-Shahihah (6/ bagian I/254)
” … ونرى أن من الواجب على الحكومات الإسلامية أن يوحدوا يوم صيامهم و يوم فطرهم ، كما يوحدون يوم حجهم ، و لريثما يتفقون على ذلك ، فلا نرى لشعوبهم أن يتفرقوا بينهم ، فبعضهم يصوم مع دولته ، و بعضهم مع الدولة الأخرى ، و ذلك من باب درء المفسدة الكبرى بالمفسدة الصغرى كما هو مقرر في علم الأصول.. ” اهـ
Jadi sudah menjadi kewajiban pemerintah islam atau pemerintah muslim untuk memperhatikan ini, karena ini tugasnya. Imam Hasan Bashri berkata tentang umara`:
” هم يلون من أمورنا خمساً : الجمعة والجماعة ، والعيد ، والثغور ، والحدود ، والله لا يستقيم الدين إلا بهم ، وإن جاروا وظلموا ” . اهـ ،
“mereka mengurusi 5 perkara dari urusan kami: shalat jum’at, shalat jamaah, hari raya, pengamanan daerah-daerah perbatasan (jihad), dan pelaksanaan hukum-hukum Islam.”[9]
Semua kembali kepada semangat bersatu dan mengamalkan dalil secara maksimal
HAJI TAHUN 845 H
Beginilah seharusnya, dibangun kesadaran jika sudah ada berita hilal :
Tahun 845 H, wukuf di Arofah ditetapkan berdasarkan rukyat ahli Syam (berbeda dengan ijtihad Ibnu Abbas di zamannya) ini betul-betul mengamalkan hadits Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam “shumu lirukyatihi!”
Al-hafizh ibnu Hajar dalam kitab yang sama di peristiwa tahun 845 mengatakan bahwa wukuf di Arofah itu ditetapkan berdasarkan rukyat ahli Syam. Ceritanya: “Sampainya jamaah haji di makkah pada waktu sahar (menjelang subuh) hari Kamis (30 dzulqa’dah atau 1 dzulhijjah), penduduk Makkah tidak berhasil melihat hilal awal Dzulhijjah pada malam Kamisnya, karena banyak mendung.
Mereka bertanya kepada penduduk Makkah, mereka tidak ada yang tahu adanya rukyat hilal.
Mereka di hari kamis itu tetap seperti itu, dengan kesimpulan “ikmal” bahwa wukuf (tanggal 9 Dzulhijjah) akan jatuh pada hari sabtu. Qadhi al-Syafi’i mengarahkan mereka agar keluar pada hari Kamis dan berjalan menuju Arafah agar mendapatkan wukuf di jumat malam sabtu sebagai bentuk kehati-hatian dan dilanjutkan wukuf hari Sabtu. Tatkala mereka dalam kebingungan tersebut masuklah jamaah haji dari Syam, mereka mengabarkan bahwa hilal 1 dzulhijjah telah terlihat pada malam Kamis, dan telah disahkan oleh Qadhi mereka, maka penduduk Makkah memutuskan berdasarkan rukyah Syam ini, dan mereka wukuf hari Jumat dan meninggalkan Arofah di malam Sabtu seperti biasa.”
Haji tahun 1435 H
Kita di Indonesia, TAHUN 1435 H malam rabo (malam 30 dzul qa’dah) jam 19 sudah diputuskan, “karena tdk melihat hilal di seluruh Indonesia maka tanggal satu Dzulhijjah jatuh hari jumat, arofah hari sabtu dan ahad hari raya.
Lalu ada berita bahwa ada rukyat di Saudi Arabiya dan diputuskan di sana tanggal 1 kamis, wuquf hari jumat, hari raya sabtu.
Yang unik. Mesir di tahun 1435 H ini sama dengan Saudi!
Ringkasannya dalam segi ilmiah, dakwah dan amaliyyah:
- Sisi ilmiah: Yang rajih menurut kami adalah madzhab jumhur ulama yaitu tauhid al-Rukyah, bukan ikhtilaf al-Mathali’. Bahwa khithab untuk ikut rukyah diarahkan kepada umumnya umat Islam. maka bilamana kaum muslimin melihat hilal di negri mana saja hal itu mengikat kaum muslimin yang lain, dalam puasa, idul fitri maupun haji dan idul Adha, sebab kaum muslimin adalah umat yang satu, dan negri mereka adalah negri yang satu, apakah negri-negri itu berdekatan maupun jauh.
2. Sisi dakwah: supaya yang rajih dan yang mempersatukan umat ini bisa berlaku maka wajib disosialisasikan atau diwacanakan dalam forum-forum nasional, regional dan internasional, termasuk di pusat-pusat kajian dan pendidikan umat Islam.
3. Sisi amaliyyah: sambil menunggu proses pewacanaan dan sosialisasi, maka Negara-negara islam melakukan puasa dan hari raya sebagaimana biasa. Dan kalau bisa ikut menfasilitasi pewacanaan dan sosialisasi tersebut.
Bagi para ulama dan da’i, sambil menunggu proses tersebut, apa yang bisa diamalkan maka diamalkan. Misal, puasa arofah ikut wukuf di arofah atau juga hari rayanya jika memungkinkan dan maslahat tanpa madharat. Jika maslahatnya ditangguhkan ya ditangguhkan, yaitu ikut Negara masing-masing. Jadi sifatnya kondisional. Selagi ini masalah ijtihadiyyah maka fleksibel, bisa saja kita mengamalkan yang marjuh menurut kita untuk kemaslahatan.
Untuk keperluan ini saya sampaikan sekaligus sebagai penutup yaitu fatwa Para masyayikh yang tergabung dalam Lajnah Daimah yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
Soal: apakah kami bisa puasa di sini dua hari untuk puasa Arofah, sebab kita mendengar di radio bahwa besuk puasa Arofah, yang ini bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah di negri kami.
هل نستطيع أن نصوم هنا يومين لأجل صوم يوم عرفة؛ لأننا هنا نسمع في الراديو أن يوم عرفة غدًا يوافق ذلك عندنا الثامن من شهر ذي الحجة؟
jawab:
يوم عرفة هو اليوم الذي يقف الناس فيه بعرفة ، وصومه مشروع لغير من تلبس بالحج، فإذا أردت أن تصوم فإنك تصوم هذا اليوم، وإن صمت يومًا قبله فلا بأس، وإن صمت الأيام التسعة من أول ذي الحجة فحسن؛ لأنها أيام شريفة يستحب صومها؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: « ما من أيام العمل الصالح فيهن خير وأحب إلى الله من هذه الأيام العشر” قيل: يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: “ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجل خرج بنفسه وماله، ثم لم يرجع من ذلك بشيء » رواه البخاري . وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو الرئيس
عبد الله بن غديان / عبد العزيز بن عبد الله بن باز ( “[10]
Hari arofah adalah hari yang manusia berwukuf di dalamnya di Arofah, dan puasanya disyariatkan bagi selain jamaah haji. Jika anda ingin berpuasa maka puasalah hari ini. Jika anda puasa satu hari sebelumnya maka boleh, jika anda puasa 9 hari dari tanggal 1 dzulhijjah maka baik, karena itu hari-hari utama dianjurkan puasanya, karena sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam: “ tidak ada kumpulan hari-hari yang amal di dalamnya lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari pada sepuluh hari ini. Ditanyakan: tidak juga jihad di jalan Allah? Beliau bersabda: tidak juga jihad di jalan Allah kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya dan tidak pulang membawa sedikitpun darinya (alias mati syahid) (HR. Bukhari)
Wabillahi al-Taufiq, washallallahu ala nabiyyina Muhammad wa alihi washahbih wa sallam.
Jangan lupa mendokan kami. Barokallahu fikum
Malang, Kamis 9 Dzulhijjah 1435 H.
Sumber: PUASA ARAFAH SEPANJANG SEJARAH HINGGA 1435 H | Agus Hasan Bashori
________________________________
[1] http://www.binamasyarakat.com/puasa-arafah-ikut-wuquf-di-arafah/
[2] : القول بيوم عرفة هو اليوم التاسع من ذي الحجة وأنه علم على الزمان لا المكان فغير صحيح ، والدليل على أنه علم على المكان اتفاق العلماء أن أهل الموقف إذا أخطئوا عرفة ووقفوا يوم العاشر فبان بعد انتهاء وقته بأن وقوفهم كان خطأً ، فيجزئهم ذلك الوقوف وحجهم صحيح ، بل رجح شيخ الإسلام ابن تيمية أن هذا اليوم الذي أخطئوا فيه هو يوم عرفة باطناً وظاهراً ولا خطأ في ذلك ، لأن يوم عرفة هو اليوم الذي يعرف فيه الناس . ( انظر : ” مجموع الفتاوى ” ( 22 / 211 ) ) ، قال ابن رجب في ” فتح الباري ” وكذلك النووي في ” المجموع ” ( 5 / 29 ) : ” .. يوم عرفة هوَ اليوم الذي يظهر للناس ، أنه يوم عرفة ، سواء كانَ التاسع أو العاشر..” اهـ .
[3] مختصر المزني8 / 155
[4] الماوردي: الحاوي الكبير (3 / 472):
[5] Al-umm 1/264
الأم للشافعي 2 / 111
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَوْ اشْتَبَهَتْ الشُّهُورُ عَلَى أَسِيرٍ فَتَحَرَّى شَهْرَ رَمَضَانَ فَوَافَقَهُ أَوْ مَا بَعْدَهُ مِنْ الشُّهُورِ فَصَامَ شَهْرًا أَوْ ثَلَاثِينَ يَوْمًا أَجْزَأَهُ، وَلَوْ صَامَ مَا قَبْلَهُ فَقَدْ قَالَ قَائِلٌ لَا يَجْزِيهِ إلَّا أَنْ يُصِيبَهُ أَوْ شَهْرًا بَعْدَهُ فَيَكُونُ كَالْقَضَاءِ لَهُ وَهَذَا مَذْهَبٌ. وَلَوْ ذَهَبَ ذَاهِبٌ إلَى أَنَّهُ إذَا لَمْ يَعْرِفْهُ بِعَيْنِهِ فَتَأَخَّاهُ أَجْزَأَهُ قَبْلُ كَانَ أَوْ بَعْدُ، كَانَ هَذَا مَذْهَبًا وَذَلِكَ أَنَّهُ قَدْ يَتَأَخَّى الْقِبْلَةَ، فَإِذَا عَلِمَ بَعْدَ كَمَالِ الصَّلَاةِ أَنَّهُ قَدْ أَخْطَأَهَا أَجْزَأَتْ عَنْهُ وَيُجْزِي ذَلِكَ عَنْهُ فِي خَطَأِ عَرَفَةَ وَالْفِطْرِ، وَإِنَّمَا كُلِّفَ النَّاسُ فِي الْمَغِيبِ الظَّاهِرُ، وَالْأَسِيرُ إذَا اشْتَبَهَتْ عَلَيْهِ الشُّهُور فَهُوَ مِثْلُ الْمَغِيبِ عَنْهُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
(قَالَ الرَّبِيعُ) : وَآخِرُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يُجْزِيهِ إذَا صَامَهُ عَلَى الشَّكِّ حَتَّى يُصِيبَهُ بِعَيْنِهِ أَوْ شَهْرًا بَعْدَهُ وَآخِرُ قَوْلِهِ فِي الْقِبْلَةِ كَذَلِكَ لَا يُجْزِيهِ وَكَذَلِكَ لَا يُجْزِيهِ إذَا تَأَخَّى، وَإِنْ أَصَابَ الْقِبْلَةَ فَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ إذَا كَانَ تَأَخِّيهِ بِلَا دَلَالَةٍ وَأَمَّا عَرَفَةُ وَيَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى فَيُجْزِيهِ؛ لِأَنَّ هَذَا أَمْرٌ إنَّمَا يَفْعَلُهُ بِاجْتِمَاعِ الْعَامَّةِ عَلَيْهِ وَالصَّوْمُ وَالصَّلَاةُ شَيْءٌ يَفْعَلُهُ فِي ذَاتِ نَفْسِهِ خَاصَّةً
[6] الأم للشافعي (2 / 142)
[7] Sebab di zaman itu butuh 1 bulan untuk membawa berita hilal di Syam ke Madinah, jadi, ya sendiri-sendiri, masing-masing dengan rukyah sendiri-sendiri.
[8] Kata “demikianlah Rasulullah memerintahkan kami” ini kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam, hadits yang ada bahkan riwayat Ibnu Abbas sendiri adalah “Shumu li rukyatihi” sebagaimana di atas.
[9] Ibnu Rajab, Jamiul Ulum wal hikam, halaman 456.
[10] فتاوى اللجنة ” (10 / 393 ) )