Fiqih Imamah (7) : Pengaturan Shaf – 2

@Fiqih Imamah (7)1

Pada pembahasan yang lalu kita telah membahas ‘Kapan Makmum Berdiri Untuk Melaksanakan Shalat?’ Dan Shaf Dalam Shalat Berikut Pengaturannya yang meliputi: 1) Urutan Shaf 2) Meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya wajib 3) Lafazh-lafazh Nabi dalam meluruskan shaf; sekarang kita lanjutkan poin berikutnya:

4. Shaf pertama adalah shaf yang paling utama

Rasulullah bersabda:

« لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِى النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ ، ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا … »

Seandainya manusia mengetahui (pahala) apa yang ada pada panggilan (adzan), dan shaf yang pertama, kemudian mereka tidak bisa mendapatkan kecuali berundi atasnya, pastilah mereka akan berundi…” (HR. al-Bukhari (615), Muslim (137, 139) dari Abu Hurairah )

Juga sabdanya:

« وَإِنَّ الصَّفَّ الأَوَّلَ عَلَى مِثْلِ صَفِّ الْمَلاَئِكَةِ »

Dan sesungguhnya shaf yang pertama adalah seperti shafnya para malaikat.” (HR. Abu Dawud (554), dihasankan oleh al-Albani dalam shahih Abu Dawud (1/165) dari Ubay bin Ka’b )

Shaf yang pertama adalah sebaik-baik shaf, berdasarkan hadits Abu Hurairah secara marfu’:

« خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا »

Sebaik-baik shaf kaum laki-laki adalah yang terdepan, dan seburuk-buruknya (shaf laki-laki) adalah yang paling belakang, sebaik-baik shaf kaum wanita adalah yang paling belakang, dan seburuk-buruknya adalah yang paling depan.” (HR. Muslim (440))

Allah dan para malaikat akan bershalawat kepada shaf-shaf yang terdepan, berdasarkan hadits an-Nu’man bin Basyir, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah bersabda:

« إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الأَوَّلِ أَوِ الصُّفُوفِ الأُولَى »

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas shaf terdepan, atau shaf-shaf yang pertama.” (HR. Ahmad, (4/269), dihasankan oleh al-Albani dalam at-Targhib, (1/197))

Juga hadits al-Barra` secara marfu’:

« إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْمُتَقَدِّمَةِ »

Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya bershalawat atas shaf-shaf yang depan.” (HR. an-Nasa`i (811), Ibnu Majah (997), dishahihkan oleh al-Albani (1/175), Abu Dawud (664))

Nabi juga telah berdo’a 3 kali untuk shaf pertama, dan dua kali untuk shaf kedua, sebagaimana dalam hadits al-’Irbadh :

كَانَ يُصَلِّي عَلَى الصَّفِّ الْأَوَّلِ ثَلَاثًا وَعَلَى الثَّانِي وَاحِدَةً

Adalah beliau berdo’a atas shaf pertama tiga kali dan atas shaf kedua dua kali.” Sementara dalam lafazh Ibnu Majah:

كَانَ يَسْتَغْفِرُ لِلصَّفِّ الْمُقَدَّمِ ثَلاَثًا وَلِلثَّانِى مَرَّةً

Adalah beliau beristighfar untuk shaf terdepan tiga kali, dan shaf kedua sekali.” (Shahih, HR. an-Nasa’i (817), Ibnu Majah (996), Shahih Sunan an-Nasa’i (1/177))

Nabi sendiri telah memberikan peringatan dari keterlambatan menempati shaf pertama, sebagaimana hadits ‘Aisyah , bahwa Rasulullah bersabda:

« لاَ يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ عَنِ الصَّفِّ الأَوَّلِ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمُ اللَّهُ فِى النَّارِ »

Tidak henti-hentinya suatu kaum terlambat dari shaf pertama hingga Allah mengakhirkan mereka dalam neraka.” (Shahih, HR. Abu Dawud (379), Shahih Sunan Abu Dawud (1/220))

Juga hadits Abu Sa’id :

« تَقَدَّمُوا فَائْتَمُّوا بِى وَلْيَأْتَمَّ بِكُمْ مَنْ بَعْدَكُمْ لاَ يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمُ اللَّهُ »

Majulah kalian, lalu ikutilah aku, kemudian hendaknya orang-orang setelah kalian mengikuti kalian, dan tidak henti-hentinya suatu kaum terlambat hingga Allah akhirkan mereka (di Neraka).” (HR. Muslim (438))

5. Shaf sebelah kanan adalah yang afdhal

Berdasarkan hadits ‘Aisyah , dia berkata, Rasulullah bersabda:

« إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوفِ »

Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat atas bagian kanan dari shaf-shaf.” (Hasan, HR. Abu Dawud (676), Ibnu Majah (1005), Shahih sunan Abu Dawud (1/199), Fathul Bari (2/213))

Juga hadits al-Barra` :

كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَمِينِهِ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ « رَبِّ قِنِى عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ »

Dulu kami, jika kami shalat di belakang Rasulullah , kami suka berada di sisi kanan beliau, beliau hadapkan wajah beliau kepada kami, lalu saya mendengar beliau berkata, ‘Ya Rabbi, jagalah aku dari adzab-Mu pada hari Engkau bangkitkan hamba-hamba-Mu.” (HR. Muslim (709))

6. Menyambung shaf dan tidak memutusnya.

Berdasarkan hadits ‘Aisyah , Rasulullah bersabda:

« إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الَّذِينَ يَصِلُونَ الصُّفُوفَ وَمَنْ سَدَّ فُرْجَةً رَفَعَهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً »

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang menyambung shaf, dan siapa yang menutup celah, maka Allah akan angkat dia satu derajat dengannya.” (Shahih lighairihi, HR. Ibnu Majah (995), Shahih at-Targhib (1/335))

Juga hadits Ibnu ‘Umar , Rasulullah bersabda:

« مَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ »

Siapa yang menyambung shaf, maka Allah akan menyambungnya, dan siapa yang memutus shaf, maka Allah akan memutusnya.” (Shahih, HR. an-Nasa`i (819), Abu Dawud (666), Shahih at-Targhib (1/335))

7. Tidak Shalat Sendirian di belakang Shaf tanpa udzur

Berdasarkan hadits Wabishah ,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ رَأَى رَجُلاً يُصَلِّى خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيدَ الصَّلاَةَ

Bahwa Rasulullah melihat ada seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf, maka beliau memerintahkannya untuk mengulangi shalat.” (Shahih, HR. Abu Dawud (682), at-Turmudzi (230-231), Ibnu Majah (1004), Ahmad (4/228), Ibnu Hibban (5/576), Shahih Sunan Abu Dawud (1/299))

Juga hadits ‘Ali bin Syaiban bahwa Rasulullah melihat seorang laki-laki bersendirian shalat di belakang shaf, maka beliau berhenti hingga laki-laki itu selesai, kemudian beliau bersabda:

اسْتَقْبِلْ صَلاَتَكَ ، لاَ صَلاَةَ لِرَجُلٍ فَرْدٍ خَلْفَ الصَّفِّ

Ulangi lagi shalatmu, tidak ada shalat bagi seorang laki-laki sendirian di belakang shaf.” (Shahih, HR. Ahmad (4/23), Ibnu Majah (1003), Shahih Abu Dawud (1/299), al-Irwa (2/328)) 2

Di saat menjelaskan kedha’ifan hadits:

« أَلاَ دَخَلْتَ فِي الصَّفِ ، أَوْ جَذَبْتَ رَجُلاً صَلىَّ مَعَكَ ؟! أَعِدْ صَلاَتَكَ »

Tidakkah engkau masuk ke dalam shaf, atau engkau tarik seorang laki-laki agar shalat bersamamu?! Ulangi shalatmu.” (as-Silsilah ad-Dha’ifah (922)) Syaikh al-Albani berkata, ‘… jika telah pasti akan kedha’ifan hadits tersebut, maka tidak benar pendapat disyariatkannya menarik seseorang dari shaf untuk membentuk shaf (baru) bersamanya, karena itu adalah pensyariatan tanpa nash yang shahih, dan ini tidak boleh. Bahkan yang wajib adalah dia bergabung ke shaf jika memungkinkan, jika tidak memungkinkan maka dia shalat sendirian, dan shalatnya sah karena Allah tidak akan membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya (QS. Al-Baqarah: 286)

Sementara hadits yang memerintahkan untuk mengulangi shalat, dibawa kepada makna jika dia teledor terhadap kewajiban, yaitu bergabung ke shaf dan menutup celah, adapun jika dia tidak menemukan celah, maka dia bukan termasuk yang teledor. Maka tidak masuk akal shalatnya dihukumi batal dalam keadaan ini. Ini adalah pilihan Syaikhul Islam Ibni Taimiyah, dia berkata dalam al-Ikhtiyarat (42): ‘Dan sah shalatnya orang sendirian karena udzur…’ (As-Silsilah ad-Dha’ifah (2/322)

Syaikhul Islam berkata, ‘Makmum dilarang shalat sendirian di belakang shaf, seandainya dia tidak menemukan orang yang bershaf dengannya, dan tidak menarik seorangpun untuk shalat bersamanya, maka dia shalat sendirian di belakang shaf, dan tidak meninggalkan jama’ah. Dia hanya diperintah untuk bershaf sesuai dengan kemampuan tidak pada saat tidak bisa bershaf.” (Majmu’ fatawa 23/406) (Ithaful Muslimin bidzikri akhtho`il mushallin (143))

8. Makruh membentuk shaf di antara tiang tanpa udzur

Berdasarkan hadits dari ‘Abdul Hamid bin Mahmud dari Anas, dia berkata, ‘Dulu kami bersama Anas , lalu kami shalat bersama seorang Amir dari para Amir, lalu mereka mendorong kami hingga kami berdiri dan shalat di antara dua tiang, maka hal ini menjadikan Anas mundur seraya berkata,

قَدْ كُنَّا نَتَّقِي هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ

Sungguh kami dulu menghindari ini di masa Rasulullah .” (Shahih, HR. an-Nasa`i (820), Abu Dawud (673), at-Turmudzi (229), Ahmad (3/831), al-Hakim (1/218), Shahih Sunan an-Nasa`i (1/271))

Juga hadits Qurah , dia berkata:

كُنَّا نُنْهَى أَنْ نَصُفَّ بَيْنَ السَّوَارِى عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ وَنُطْرَدُ عَنْهَا طَرْدًا

Dulu kami dilarang bershaf di antara tiang, di zaman Rasulullah , dan kami pun didorong menjauh darinya dengan sebenar-benarnya.” (Hasan Shahih, HR. Ibnu Majah (1002), al-Hakim (1/218), Shahih Sunan Ibnu Majah (1/298)) (AR)*

1 Disarikan oleh Muhammad Syahri dari risalah yang ditulis oleh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthaniy yang berjudul al-Imamah fis Shalat, Mafhum, wafadha’il, wa anwa`, wa adab wa ahkam, fi dhauil kitabi was-sunnah.

2 Tentang masalah ini para ulama salaf berbeda pendapat;

Pertama, menyatakan tidak boleh dan tidak sah shalat sendirian di belakang shaf secara mutlak, ada udzur atau tidak ada udzur, ini adalah pendapat Ibrahim an-Nakho’i (tabi’in), al-Hasan bin Shalih, Ahmad, Ishaq, Hammad, Ibnu Abi Laili, dan waki’, dan dirajihkan oleh Syaikh Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin Baz berdasarkan kedua hadits tersebut di atas.

Kedua, menyatakan boleh dan sah shalat sendirian dibelakang shaf dengan udzur atau tanpa udzur, ini adalah pendapat mayoritas ahli ilmu, al-Hasan al-Bashri, al-Auza’i, Malik, as-Syafi’i, dan satu riwayat dari Ahmad, dengan dalil hadits Abu Bakrah,

أَنَّهُ انْتَهَى إِلَى النَّبِىِّ وَهْوَ رَاكِعٌ ، فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ فَقَالَ « زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ »

Bahwa dia datang kepada Nabi sementara beliau sedang dalam keadaan ruku’, maka diapun ruku’ sebelum sampai di shaf. Lalu dia sebutkan hal itu kepada Nabi , maka beliau bersabda, ‘Mudah-mudahan Allah menambah semangatmu, dan jangan diulangi.’ (HR. al-Bukhari (783))

Kemudian mereka mengatakan, bahwa Abu Bakrah datang dengan sebagian shalat, yaitu takbiratul ihram dan ruku’ sendirian di belakang shaf kemudian maju ke dalam shaf, dan Nabi tidak memerintahkannya untuk mengulangi shalat. Seandainya takbiratul ihramnya tadi di belakang shaf batal, maka pastilah beliau akan memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya. (Ithaful Muslimin bidzikri akhtho`il mushallin (143))

Ketiga, masalah ini dirinci; jika shalat sendirian di belakang shaf karena udzur maka sah shalatnya, jika bukan karena udzur, maka tidak sah shalatnya, ini adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, dan Muhammad bin Shailh al-‘Utsaimin rahimahumullahu ta’ala. (al-Mughni (3/49), Nailul Authar (2/429), Subulus Salam (3/110-111), Syarhul Mumti’ (4/367-385), Fatawa bin Baz (2/41), al-Fatawa as-Sa’diyah (1/171), al-Mukhtarat al-Jaliyah (62))

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *