22- Nabi Meringankan Memakan Daging Qurban Setelah Tiga Hari
HADITS JABIR
عَنْ جَابِرٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الضَّحَايَا بَعْدَ ثَلَاثٍ، ثُمَّ قَالَ بَعْدُ: «كُلُوا، وَتَزَوَّدُوا، وَادَّخِرُوا»
Dari Jabir radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, bahwa beliau telah melarang memakan daging hewan qurban setelah tiga hari.
Kemudian setelah itu beliau bersabda: “Silahkan makan, silahkan membawa bekal, dan silahkan menyimpan (daging hewan qurban)!”.([1])
HADITS ABU SA’ID AL-KHUDRI
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ نَهَانَا عَنْ أَنْ نَأْكُلَ لُحُومَ نُسُكِنَا فَوْقَ ثَلَاثٍ، قَالَ: فَخَرَجْتُ فِي سَفَرٍ، ثُمَّ قَدِمْتُ عَلَى أَهْلِي، وَذَلِكَ بَعْدَ الْأَضْحَى بِأَيَّامٍ، قَالَ: فَأَتَتْنِي صَاحِبَتِي بِسَلقٍ قَدْ جَعَلَتْ فِيهِ قَدِيدًا، فَقُلْتُ لَهَا: أَنَّى لَكِ هَذَا الْقَدِيدُ؟ فَقَالَتْ: مِنْ ضَحَايَانَا؟ قَالَ: فَقُلْتُ لَهَا: أَوَلَمْ يَنْهَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَنْ نَأْكُلَهَا فَوْقَ ثَلَاثٍ؟ قَالَ: فَقَالَتْ: «إِنَّهُ قَدْ رَخَّصَ لِلنَّاسِ بَعْدَ ذَلِكَ»، قَالَ: فَلَمْ أُصَدِّقْهَا، حَتَّى بَعَثْتُ إِلَى أَخِي قَتَادَةَ بْنِ النُّعْمَانِ، وَكَانَ بَدْرِيًّا، أَسْأَلُهُ عَنْ ذَلِكَ، قَالَ: فَبَعَثَ إِلَيَّ أَنْ كُلْ طَعَامَكَ فَقَدْ صَدَقَتْ قَدْ أَرْخَصَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمُسْلِمِينَ فِي ذَلِكَ»
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Rosululloh ﷺ telah melarang kami memakan daging hewan qurban lebih tiga hari.
Lalu aku keluar safar (pergi ke luar kota), lalu aku pulang kepada keluargaku setelah beberapa hari ‘idul adh-ha.
Istriku menghidangkan kacang yang dicampur dengan dendeng kepadaku.
Maka aku bertanya kepadanya: “Dari mana engkau mendapatkan dendeng ini?”
Dia menjawab: “Dari hewan-hewan qurban kita”.
Lalu aku berkata kepadanya: “Bukankah Rosululloh ﷺ telah melarang kita memakan daging hewan qurban lebih tiga hari?”.
Dia menjawab: “Sesungguhnya beliau telah memberikan keringanan kepada orang-orang setelah itu”.
Aku tidak mempercayainya, sehingga aku mengutus seseorang kepada saudaraku, Qotadah bin An-Nu’man, beliau seorang Badriy (sahabat yang ikut perang Badar), aku bertanya kepadanya tentang hal itu.
Dia mengutus seseorang kepadaku, yang mengatakan, “Makan-lah makananmu, istrimu telah berkata benar. Sesungguhnya Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan kepada kaum Muslimin dalam hal itu”.([2])
FAWAID HADITS:
Ada beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadits-hadits ini, antara lain:
1- Nabi ﷺ pernah melarang memakan daging hewan qurban setelah tiga hari. Namun kemudian beliau memberikan keringanan.
2- Shohibul qurban boleh makan daging hewan qurban-nya, membawa-nya bekal di dalam perjalanan, dan menyimpan-nya lebih dari tiga hari.
3- Syari’at Islam datang berangsur-angsur, tidak sekaligus.
4- Terkadang terjadi perubahan hukum atau penghapusan hukum syari’at di zaman Nabi ﷺ sebelum wafat beliau.
5- Tidak ada seorang sahabat Nabi yang mengetahui seluruh Sunnah Nabi, namun Sunnah Nabi tidak hilang dari seluruh sahabat.
6- Di antara kewajiban seorang istri adalah melayani suaminya di dalam kebutuhan-kebutuhannya. Termasuk menghidangkan makanan atau minuman kepadanya.
7- Bertanya kepada orang yang dianggap berbuat kesalahan, bukan langsung menghukuminya. Karena kemungkinan dia yang salah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Sa’id kepada istrinya.
8- Tabayyun (tatsabbut; mencari kejelasan, kepastian) di dalam permasalahan agama.
9- Bertanya kepada ahli ilmu di dalam permasalahan agama.
10- Keutamaan sahabat Qotadah bin An-Nu’man, sebab beliau seorang Badriy (sahabat yang ikut perang Badar). Para sahabat yang ikut perang Badar dijamin masuk sorga.
Inilah sedikit penjelasan tentang hadits yang agung ini. Semoga Alloh ﷻ selalu memudahkan kita untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Dan selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran menuju sorga-Nya yang penuh kebaikan.
Ditulis oleh Muslim Atsari,
Sragen, Senin, Bakda Ashar, 4-Dzulhijjah-1443 H / 4-Juli-2022
_________________
Footnote:
([1]) HR. Muslim, no. 1972/29; Nasai, no. 4426; Ahmad, no. 15168; Ibnu Hibban, no. 5925. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani
([2]) HR. Ahmad, no. 16214. Dihasankan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth di dalam Takhrij Musnad Ahmad