Syarat Umur Hewan Qurban

 

10- Syarat Umur Hewan Qurban

 

HADITS JABIR BIN ABDULLOH

 

عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً، إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ، فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ»

 

Dari Jabir, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah kamu menyembelih (hewan qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan kamu, maka sembelihlah domba jadza’ah.”([1])

 

HADITS AL-BARO’ BIN ‘AZIB

 

عَنِ البَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ، ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا، وَمَنْ نَحَرَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ، لَيْسَ مِنَ النُّسْكِ فِي شَيْءٍ» فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ أَبُو بُرْدَةَ بْنُ نِيَارٍ: يَا رَسُولَ اللهِ ذَبَحْتُ , وَعِنْدِي جَذَعَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُسِنَّةٍ، فَقَالَ: «اجْعَلْهُ مَكَانَهُ وَلَنْ تُوفِيَ أَوْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ»

 

Dari Al-Baro’ bin ‘Azib, dia berkata: Rosulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya pertama yang kita mulai hari kita ini adalah: Kita sholat, lalu kita kembali (pulang) kemudian menyembelih (qurban). Barangsiapa melakukan itu, maka dia telah menetapi Sunnah (ajaran) kita. Namun barangsiapa yang telah menyembelih (qurban) sebelum sholat (ied), maka itu adalah daging yang dia berikan untuk keluarganya. Bukan termasuk qurban sedikitpun”.

 

Maka seorang laki-laki Anshor, bernama Abu Burdah bin Niyar, berkata: “Wahai Rosulullah, aku telah menyembelih (qurban kambing musinnah). Tetapi aku masih memiliki kambing jadza’ah, yang lebih baik dari musinnah”.

 

Maka   Rosulullah ﷺ bersabda: “Jadikan kambing itu (jadza’ah) sebagai gantinya (musinnah), tetapi tidak mencukupi dari seorangpun setelahmu”.([2]) 

 

HADITS MUJASYI’

 

عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: كُنَّا مَعَ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَالُ لَهُ: مُجَاشِعٌ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ  فَعَزَّتِ الْغَنَمُ، فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ: «إِنَّ الْجَذَعَ يُوَفِّي مِمَّا يُوَفِّي مِنْهُ الثَّنِيُّ»

 

Dari ‘Ashim bin Kulaib, dari bapak-nya, dia berkata: “Kami bersama seorang laki-laki dari para sahabat Nabi ﷺ yang bernama Mujasyi’ bin Bani Sulaim, waktu itu kambing jarang, dia memerintahkan seorang penyeru, lalu dia menyeru: Bahwa Rosulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya domba jadza’ (muda; umur 6 bulan ke atas) menyamai kambing tsaniyya (musinnah; tua; umur 1 tahun ke atas)”.([3])

 

NUKILAN IJMA’

 

Imam Ibnu Abdil Barr (wafat th 463 H) rohimahulloh berkata:

 

لَا أَعْلَمُ خِلَافًا أَنَّ الْجَذَعَ مِنَ الْمَعِزِ وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُضَحَّى بِهِ غَيْرَ الضَّأْنِ لَا يَجُوزُ  وَإِنَّمَا يَجُوزُ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ الثَّنِيُّ فَصَاعِدًا  وَيَجُوزُ الْجَذَعُ مِنَ الضَّأْنِ بِالسُّنَّةِ الْمَسْنُونَةِ

 

“Aku tidak mengetahui khilaf (beda pendapat), bahwa jadza’ (hewan belum ganti gigi) dari ma’iz (kambing jawa) dan semua hewan qurban selain domba (kambing gembel), tidak boleh (untuk qurban).

 

Tetapi yang boleh dari semua itu (selain domba) adalah musinnah (yang sudah ganti gigi) atau yang lebih (umurnya).

 

Sedang  domba  jadza’ boleh dengan dalil Sunnah yang telah ditetapkan”.([4])

 

KETERANGAN

 

Hewan musinnah atau tsaniyah adalah hewan berumur yang sudah tanggal gigi serinya (sudah poel).

 

Adapun hewan jadza’ah hewan muda yang belum tanggal gigi serinya (belum poel), separuh atau lebih dari umur tsaniyah.

 

Ulama berbeda pendapat tentang umur hewan musinnah atau tsaniiyah, sebab tergantung jenis dan keadaan hewan. Inilah pendapat para ulama:

 

1) Kambing jika telah berumur 1 tahun. Ini pendapat Hanafiyah dan Hanabilah.

 

Kambing jika telah berumur 2 tahun. Ini pendapat Malikiyah dan Syafi’iyah.

 

2) Sapi jika telah berumur 2 tahun. Ini pendapat Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.

 

Sapi jika telah berumur 3 tahun. Ini pendapat Malikiyah.

 

3) Onta jika telah berumur 5 tahun. Ini pendapat Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.([5])

 

Semua ini bisa dilihat langsung pada gigi serinya, apakah sudah poel atau belum.

 

FAWAID HADITS:

 

Ada beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadits-hadits ini, antara lain:

 

1- Ibadah qurban memiliki syarat-syarat sah. Yaitu syarat: orang yang berqurban, jenis hewan qurban, umur hewan qurban, tidak ada cacat yang menghalanginya, dan waktu penyembelihan.

 

2- Hewan qurban disyaratkan musinnah atau tsaniyyah, ini untuk onta, sapi, dan kambing jawa.

 

Adapun domba boleh jadza’ah, separuh umur tsaniyyah.

 

3- Amalan tidak cukup hanya dengan ikhlas, namun juga harus sesuai dengan tuntunan Nabi ﷺ.

 

4- Amalan yang dituntunkan  pada hari raya ‘idul adh-ha adalah sholat ‘idul adh-ha di tanah lapang, kemudian imam berkhutbah, kemudian pulang menyembelih qurban.

 

5- Urgensi menjelaskan hukum-hukum syari’at agar amalan ibadah sesuai yang dituntunkan  sehingga diterima oleh Alloh ﷻ.

 

6- Urgensi bertanya kepada ulama di dalam masalah agama yang dihadapi.

 

7- Hikmah Nabi ﷺ di dalam memberikan solusi sahabatnya.

 

8- Menghukumi sesuatu harus disertai pemahaman terhadap masalahnya.

 

Inilah sedikit penjelasan tentang hadits-hadits yang agung ini. Semoga Alloh ﷻ selalu memudahkan kita untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Dan selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran menuju sorga-Nya yang penuh kebaikan.

 

Ditulis oleh Muslim Atsari,

Sragen, Jum’at, Bakda Ashar, 11-Dzulqo’dah-1443 H / 10-Juni-2022

 

_______________

Footnote:

([1]) HR. Muslim, no. 1963; Nasai, no. 4378; Abu Dawud, no. 2797; Ibnu Majah, no. 3141; Ahmad, no. 14348, 14502; Ibnu Khuzaimah, no. 2918. Hadits ini dinyatakan lemah oleh Syaikh Al-Albani, sebab perawi bernama Abu Zubair mudallis dan meriwayatkan dengan ‘an’anah (menggunakan kata ‘dari’). Lihat: Irwaul Gholil, no. 1145; Silsilah Adh-Dho’ifah, no. 65; Dhoi’f Abi Dawud (Al-Umm), no. 485

([2]) HR. Al-Bukhari, no. 965, 968, 976; Muslim, no. 1961

([3]) HR. Abu Dawud, no. 2799; Ibnu Majah, no. 3140; dan ini lafzah keduanya; Nasai, no. 4383, 4384; Ahmad, no. 23123. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth

([4]) At-Tamhiid, 23/188

([5]) Lihat kitab-kitab fiqih madzhab, spt: Badai’ Ash-Shonai’, 4/206; Adz-Dzakhiroh, 4/154; Kifayatul Akhyar, hlm. 529; Al-Mughniy, 9/440

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *