Kita telah meninggalkan bulan Romadhon, bulan yang diberkahi.
Dan orang yang beruntung adalah orang yang telah mengisi bulan Romadhon dengan amal-amal sholih dengan ikhlas.
Adapun orang yang menyia-nyiakannya, maka dia adalah orang yang merugi.
Setelah bulan Romadhon berlalu, marilah kita merenungkan beberapa perkara:
1- Siapa yang meraih manfaat dari bulan Romadhon?
Orang-orang yang melakukan puasa, qiyam, dan qiyam lailatul qodr, adalah orang-orang yang mendapatkan manfaat dengan bulan Romadhon.
Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa berpuasa Romadhon karena iman dan ihtisab (mengharapkan pahala), dia pasti akan diampuni dosanya yang telah lalu”.([1])
Beliau ﷺ juga bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Romadhon karena iman dan ihtisab (mengharapkan pahala) diampuni dosanya yang telah lalu.”([2])
Adapun orang-orang yang tidak berpuasa dan tidak melakukan qiyam Romadhon, Nabi ﷺ bersabda:
وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ
“Hina seseorang, yang bulan Romadhon mendatanginya, kemudian pergi, namun dosanya tidak diampuni”.([3])
2- Kita pasti banyak kekurangan!
Tidak diragukan bahwa ibadah kita di bulan Romadhon pasti banyak kekurangan. Adab-adab wajib atau sunnah di dalam berpuasa pasti ada yang kita lalaikan.
Maka hendaklah kita banyak beristighfar kepada Alloh ﷻ.
Karena istighfar adalah penutup amal-amal sholih.
Nabi ﷺ memberikan tuntunan dengan membaca istighfar 3 kali setelah salam dari shalat wajibnya, sebagaimana diriwayatkan di dalam hadits sebagai berikut:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا، وَقَالَ: اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Dari Tsauban dia berkata: “Jika Rasulullah ﷺ selesai shalat, beliau istighfar (meminta ampunan) tiga kali dan berkata: ALLOOHUMMA ANTAS SALAAM WAMINKAS SALAAM TABAAROKTA DZAL JALAALIL WAL IKROOM (Ya Allah, Engkau adalah Dzat yang memberi keselamatan, dan dari-Mulah segala keselamatan, Maha Besar Engkau wahai Dzat Pemilik kebesaran dan kemuliaan.”([4])
Inilah yang dituntunkan oleh Nabi kita, Nabi Muhammad ﷺ, istighfar setelah selesai shalat.
Namun kita lihat sebagian umat di zaman ini, begitu selesai salam dari shalat, langsung mengajak berjabat tangan orang-orang di sebelah kanan dan kirinya, tentu ini menyelisihi sunah Nabi ﷺ ini.
Sebagian lainnya, begitu selesai salam dari shalat, langsung melakukan sujud syukur, tentu ini juga menyelisihi sunah Nabi ﷺ ini.
Allah ﷻ berfirman memberitakan sifat-sifat orang-orang yang bertakwa penduduk sorga:
إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ، كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ، وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ، وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Sesungguhnya mereka (orang-orang yang bertakwa) sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohon ampunan di waktu sahur (akhir malam sebelum fajar). Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian [yaitu yang tidak meminta-minta].” (Adz-Dzariyat/51: 16-19)
Sebagian ulama berkata, “Mereka menghidupkan malam dengan shalat, ketika waktu sahar (akhir malam sebelum subuh) mereka diperintahkan istighfar”.([5])
Jika demikian ini keadaan orang-orang yang telah berbuat kebaikan, maka bagaimana dengan orang-orang yang telah berbuat keburukan? Tentu mereka harus lebih banyak banyak beristighfar.
3- Hanya muttaqin yang amalnya diterima!
Di bulan Romadhon sebagian kita mungkin telah berusaha banyak beramal.
Berpuasa, sholat wajib berjama’ah, sholat tarowih, membaca Al-Qur’an, berdzikir, bersedekah, dll.
Kita berharap amalan itu akan diterima oleh Alloh.
Namun, tentu kita tidak yakin amalan itu diterima. Sebab amalan diterima dengan tiga syarat: iman, ikhlas, sesuai tuntunan Nabi.
Alloh ﷻ berfirman:
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Maidah/5: 27)
Sesungguhnya seorang mukmin itu menggabungkan antara berbuat baik dengan rasa takut, sehingga semakin bertambah waktu bertambah amal kebaikan mereka.
Alloh ﷻ berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60) أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun/23: 60-61)
Nabi ﷺ telah menjelaskan ayat ini sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha:
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ {وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ} أَهُوَ الَّذِي يَزْنِي، وَيَسْرِقُ، وَيَشْرَبُ الْخَمْرَ؟ قَالَ: «لَا يَا بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ أَوْ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ وَلَكِنَّهُ الرَّجُلُ يَصُومُ، وَيَتَصَدَّقُ، وَيُصَلِّي، وَهُوَ يَخَافُ أَنْ لَا يُتَقَبَّلَ مِنْهُ»
Dari Aisyah radhiyallaahu ‘anha, beliau berkata: ‘Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, firman Alloh “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut”, apakah dia orang yang berzina, mencuri, dan minum khomr?”.
Beliau menjawab: “Tidak wahai putri Abu Bakar, atau putri Ash-Shiddiiq, tetapi dia adalah orang yang berpuasa, bersedekah, dan sholat, dan dia khawatir amalannya tidak diterima!”.([6])
Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ جَمَعَ إِحْسَانًا وَشَفَقَةً، وَإِنَّ الْمُنَافِقَ جَمَعَ إِسَاءَةً وَأَمْنًا.
“Sesungguhnya seorang mukmin menggabungkan ihsan (berbuat baik) dengan rasa takut. Dan sesungguhnya seorang munafiq menggabungkan isa-ah (berbuat buruk) dengan rasa aman”.([7])
4- Kewajiban beribadah sampai datang kematian.
Hikmah penciptaan manusia dan jin adalah untuk beribadah kepada Alloh semata.
Alloh ﷻ berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat/51:5 6)
Dan kewajiban ibadah bukan hanya di bulan Romadhon.
Kewajiban ibadah adalah semenjak dewasa sampai datang kematian.
Alloh ﷻ berfirman:
يَاأَيُّهاَ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali-‘Imron/3: 102)
Manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Alloh, yaitu Nabi Muhammad ﷺ, berkewajiban beribadah sampai wafat, maka orang-orang yang derajatnya di bawah beliau lebih wajib untuk beribadah kepada Alloh sampai matinya.
Alloh ﷻ berfirman:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan beribadahlah kepada Robbmu (Penguasamu) sampai al-yaqiin (kematian) datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr/15: 99)
Para ulama ahli tafsir bersepakat bahwa makna al-yaqiin di dalam ayat ini adalah kematian. Hal ini seperti firman Alloh pada ayat lain, yang memberitakan pertanyaan penduduk sorga kepada penduduk neraka:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ{42} قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ {43} وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ {44} وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَآئِضِينَ {45} وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ {46} حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ {47}
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka) Mereka (penduduk neraka) menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami al-yaqiin (kematian)”. (QS. Al-Muddatstsir (74): 42-47)
Setelah kita mengetahui hal ini, maka ketahuilah bahwa anggapan “kewajiban beribadah kepada Alloh dengan syari’at Nabi Muhammad” gugur pada orang yang telah mencapai hakekat atau ma’rifat, merupakan anggapan yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits dan kesepakatan umat Islam semenjak dahulu sampai sekarang.
5- Istiqomah beribadah setelah Romadhon
Walaupun Romadhon telah selesai, namun kita harus istiqomah di dalam beribadah.
Oleh karena itu, setelah selesai puasa wajib Romadhon, kita dianjurkan melengkapi dengan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal.
Rosululloh ﷺ bersabda:
«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ»
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian dia mengiringinya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh”.([8])
Di dalam hadits lain, beliau ﷺ bersabda:
«مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ، مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا»
“Barangsiapa berpuasa (sunnah) enam hari (di bulan Syawwal), setelah ‘idul fithri, maka itu merupakan (puasa) setahun penuh. Barangsiapa membawa amal yang baik, maka dia mendapatkan (pahala) sepuluh kali lipat amalnya”.([9])
Dan sesungguhnya amalan yang paling Alloh sukai adalah yang terus dilakukan, walaupun sedikit.
Nabi ﷺ bersabda:
« وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ»
“Sesungguhnya amalan yang paling Alloh cintai adalah yang terus dilakukan, walaupun sedikit”.([10])
Dan istiqomah beribadah adalah sebab husnul khotimah.
Di dalam sebuah hadits diriwayatkan:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ» فَقِيلَ: كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ يَا رَسُولَ اللهِ؟
قَالَ: «يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ المَوْتِ»
Dari Anas, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika Alloh menghendaki kebaikan kepada seorang hamba, Dia pasti akan menjadikannya beramal!”.
Beliau ditanya: “Bagaimana Alloh akan menjadikannya beramal, wahai Rasulullah?”.
Beliau menjawab: “Alloh akan memberikan bimbingan kepadanya untuk melakukan amal sholih sebelum matinya”.([11])
PENUTUP:
Di hari idul fithri kita sering mendengar kalimat:
مِنَ الْعَائِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ
“Minal ‘aidin wal faizin” (Termasuk orang-orang yang kembali dan termasuk orang-orang yang beruntung).
Namun tahukah kita, siapa sebenarnya orang-orang yang beruntung yang sebenarnya itu?
Alloh ﷻ berfirman:
فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ
“Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung.” (QS. Ali Imroon/3: 185)
Alloh ﷻ juga berfirman:
لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Tidak sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr/59: 20)
Kita memohon kepada Alloh semoga menerima semua amal sholih kita, dan memaafkan kesalahan kita.
Kita memohon kepada Alloh semoga memasukkan kita ke dalam sorga-Nya, dan dan menjauhkan kita dari neraka.
Semoga sholawat dan salam selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya sampai Hari Kiamat. Wal hamdulillahi Robbil ‘alamiin.
Ditulis oleh Muslim Atsari,
Sragen, Dhuha, Ahad, 14-Syawal-1443 H / 15-Mei-2022 M.
NB: Tulisan ini banyak mengambil fadah dari:
https://almunajjid.com/speeches/lessons/629
__________________________
Footnote:
([1]) HR. Bukhori, no: 1901; Muslim, no: 760; dll; dari Abu Huroiroh rodhiyalloohu ‘anhu
([2]) HR. Bukhori, no: 2009; Muslim, no: 760
([3]) HR. Tirmidzi, no. 3545; Ibnu Hibban, no. 908. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Misykatul Mashobih, no. 927, Shohih Al-Jami’, no. 3510, dan Irwaul Gholil, no. 6; dari Abu Hurairah rodhiyallohu ‘anhu
([4]) HR. Muslim, no. 591; Abu Dawud, no. 1513; Nasai, no. 1337; Ibnu Majah, no. 928; Tirmidzi, no. 300
([6]) HR. Tirmidzi, no. 3175; Ibnu Majah, no. 4198, dan ini lafazhnya. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani
([7]) Tafsir ibnu Katsir, 5/480
([8]) HR. Muslim, no. 1164; Tirmidzi, no. 759; Abu Dawud, no. 2433; Ibnu Majah, no. 1716; Ahmad, no. 23533; dari Abu Ayyub al-Anshari rodhiyallohu ‘anhu
([9]) HR. Ibnu Majah, no. 1715, dan ini lafazhnya; Ahmad, no. 22412; Ibnu Khuzaimah, no. 2115; Ibnu Hibban, no. 3635; dari Tsauban rodhiyallohu ‘anhu. Dishohihkan Syaikh Al-Albani
([10]) HR. Bukhori, no. 5861, dan ini lafazhnya; Muslim, no. 782; dari ‘Aisyah
([11]) HR. Tirmidzi, no. 2142; Ahmad, no. 12036, 12214, 13333, 13408, 13695, ; Ibnu Hibban, no. 341. Dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dan Syaikh Syu’aib Al-Arnauth