Haji Mabrur, tidak ada baginya balasan melainkan sorga, sementara umrah ke umrah adalah penghapus dosa yang ada diantara keduanya.
102-1. Barangsiapa berhaji ke Baitul Haram, atau umrah, lalu tidak berbuat rafats, tidak berbuat fasiq, maka dia akan pulang sebagaimana ibunya melahirkannya.
Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,
«مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ»
“Barangsiapa berhaji ke Rumah ini, lalu dia tidak berbuat rafats([1]), dan tidak berbuat fasiq([2]), maka dia akan kembali pulang sebagaimana dia dilahirkan oleh ibunya.”([3])
Dan pada lafazh milik imam Muslim,
«مَنْ أَتَى هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ»
“Barangsiapa mendatangi Rumah ini, lalu tidak berbuat rafats dan tidak berbuat kefasikan, maka dia pulang kembali sebagaimana ibunya melahirkannya.”([4]) dan lafazh ini mencakup haji dan umrah.([5])
103-2. Umrah ke umrah, akan menghapus apa yang ada di antara keduanya, sementara haji dan ‘umrah balasannya adalah sorga.
Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
«الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ»
“’Umrah kepada ‘umrah, adalah penghapus dosa yang ada di antara keduanya; sementara haji yang mabrur, tidak ada balasan pahala baginya melainkan sorga.”([6])
Haji mabrur adalah haji yang tidak ada riya` di dalamnya, tidak ada sum’ah, tidak dicampuri oleh dosa, dan tidak diikuti oleh kemaksiatan. Ia adalah haji yang hukum-hukumnya telah dipenuhi, dan telah menempati satu tempat saat dituntut dari seorang mukallaf untuk menunaikannya dengan bentuk yang paling sempurna. Ia adalah haji yang diterima. Dan di antara tanda-tanda diterimanya adalah ia kembali dengan lebih baik dari apa yang sebelumnya ada, dan tidak mengulangi kemaksiatan. Al-mabruur diambil dari kata al-birr, yaitu ketaatan. Wallahu a’lam.([7])
104-3. Haji meruntuhkan dosa yang ada sebelumnya.
Berdasarkan hadits ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallaahu ‘anhu, dan di dalamnya disebutkan bahwa dia berkata, ‘Tatkala Allah menjadikan Islam di dalam hatiku, akupun mendatangi Nabi ﷺ, lalu aku berkata, ‘Bentangkanlah tangan kanan Anda, agar saya membaiat Anda.’ Maka beliau bentangkan tangan kanan beliau, lantas aku menggenggamkan tangan saya.’ Beliau bertanya,
«مَا لَكَ يَا عَمْرُو؟» قلت: أردتُ أن أشترط، قال: «تَشْتَرِطُ بِمَاذَا؟» قلت: أن يغفر لي، قال: «أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ الإِسْلاَمَ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ، وَأَنَّ الْهِجْرَةَ تَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهَا، وَأَنَّ الْحَجَّ يَهْدِمُ مَا كَانَ قَبْلَهُ»
“Ada apa denganmu wahai ‘Amr?’ Saya berkata, ‘Saya ingin bersyarat.’ Beliau berkata, ‘Engkau bersyarat dengan apa?’ Saya katakan, ‘Agar Dia mengampuni saya.’ Maka beliau bersabda, ‘Tidakkah Engkau tahu, bahwa Islam akan meruntuhkan dosa yang ada sebelumnya, dan bahwa hijrah akan meruntuhkan dosa yang ada sebelumnya, dan bahwa haji akan meruntuhkan dosa yang ada sebelumnya.”([8])
105-4. Haji dan ‘Umrah akan menafikan kefaqiran dan dosa; haji mabrur pahalanya adalah sorga.
Berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,
«تَابِعُوا بَيْنَ الحَجِّ وَالعُمْرَةِ، فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الكِيرُ خَبَثَ الحَدِيدِ، وَالذَّهَبِ، وَالفِضَّةِ، وَلَيْسَ لِلْحَجَّةِ الْمَبْرُورَةِ ثَوَابٌ إِلاَّ الجَنَّةُ»
“Ikutkanlah (secara berturut-turut) oleh kalian antara haji dan umrah, dikarenakan keduanya akan menafikan kefaqiran dan dosa-dosa, sebagaimana bara api akan menafikan kotoran besi, emas dan perak. Sementara bagi haji mabrur, tidak ada pahala baginya melainkan sorga.”([9])
106-5. Mengusap hajar aswad, dan rukun yamani, keduanya akan menghapus kesalahan-kesalahan dengan sebenarnya; thawaf mengelilingi Ka’bah adalah seperti memerdekakan seorang budak; dan setiap langkahnya ditulis untuknya sepuluh kebaikan karenanya; dihapus darinya sepuluh keburukan, dan diangkat untuknya sepuluh derajat.
Berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Ubaid bin ‘Umair dari bapaknya, dia berkata, ‘Aku pernah berkata kepada Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, ‘Mengapa aku tidak melihatmu melainkan mengusap kedua rukun ini; hajar aswad dan rukun yamani? Maka Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma menjawab, ‘Jika aku melakukannya, maka sungguh aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
«إِنَّ اسْتِلَامَهُمَا يَحُطُّ الْخَطَايَا»
“Sesungguhnya mengusap keduanya akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.” Dia berkata, ‘Dan aku mendengar beliau bersabda,
«مَنْ طَافَ أُسْبُوعًا يُحْصِيهِ، وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَ لَهُ كَعِدْلِ رَقَبَةٍ»
“Barangsiapa thawaf tujuh kali yang yang dia menghitungnya, lalu shalat dua rakaat, maka ada pahala untuknya seperti memerdekakan seorang budak.” Dia berkata, ‘Dan aku mendengar beliau bersabda,
«مَا رَفَعَ رَجُلٌ قَدَمًا وَلَا وَضَعَهَا إِلَّا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ وَحُطَّ عَنْهُ عَشْرُ سَيِّئَاتٍ وَرُفِعَ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ»
“Tidaklah seseorang mengangkat tapak kakinya, dan tidaklah ia meletakkannya melainkan dituliskan untuknya sepuluh kebaikan, dan dihapus darinya sepuluh keburukan, dan ditinggikan untuknya sepuluh derajat.”
Di dalam lafazh milik Imam Ahmad, ‘Aku melihatmu berdesakan pada kedua rukun ini?’ maka dia berkata, ‘Jika aku melakukan, maka sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
«إِنَّ مَسْحَهُمَا يَحُطَّانِ الْخَطَايَا»
“Sesungguhnya mengusap keduanya akan menghapus kesalahan-kesalahan.”([10])
107-6. Orang yang berhaji, jika dia keluar dari rumahnya, dengan niat menuju al-Bait al-Haram, dituliskan untuknya dengan setiap langkahnya, yang dia melangkahkannya, dia dan hewan tunggangannya satu kebaikan, dan Allah hapuskan darinya satu kesalahan, serta diangkat untuknya satu derajat. Berdasarkan hadits ‘Ubadah bin as-Shamit radhiyallaahu ‘anhu yang dia merafa’kannya, dan di dalamnya disebutkan,
«فَإِنَّ لَكَ مِنَ الأَجْرِ إِذَا أَمَمْتَ الْبَيْتَ الْعَتِيقَ أَنْ لَا تَرْفَعَ قَدَماً، أَوْ تَضَعَهَا أَنْتَ وَدَابَّتُكَ إِلاَّ كُتِبَتْ لَكَ حَسَنَةٌ،وَرُفِعَتْ لَكَ دَرَجَةٌ»
“Maka sesungguhnya bagimu bagian dari pahala, jika Engkau meniatkan tujuan menuju al-Bait al-‘Atiiq (Ka’bah), tidaklah Engkau angkat satu tapak kaki, atau Engkau letakkan, Engkau dan hewan tungganganmu, melainkan dituliskan untukmu satu kebaikan, dan diangkat untukmu satu derajat.”([11])
Dan di dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, dia merafa’kannya,
«… فَإِنَّكَ إِذَا خَرَجْتَ مِنْ بَيْتِكَ تَؤُمُّ الْبَيْتَ الْحَرَامَ، لَمْ تَضَعُ نَاقَتُكَ خُفًّا، وَلَا تَرْفَعُهُ، إِلَّا كَتَبَ [اللهُ] لَكَ بِهِ حَسَنَةً، وَمَحَا عَنْكَ بِهِ خَطِيئَةً»
“… maka sesungguhnya Engkau, jika Engkau keluar dari rumahmu, berniat menuju al-Bait al-Haram (Ka’bah), maka tidaklah ontamu meletakkan satu sepatu, dan tidak juga mengangkatnya, melaikan [Allah] tuliskan untukmu dengannya satu kebaikan, dan Allah hapus darimu satu kesalahan dengannya.”([12])
(Diambil dari kitab Mukaffiraatu adz-Dzunuubi wal Khathaayaa Wa Asbaabul Maghfirati Minal Kitaabi Was Sunnah oleh DR. Sa’id bin ‘Aliy bin Wahf al-Qahthaniy, alih bahasa oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)
_____________________________________
Footnote:
([1]) Tidak berbuat rafats, berkata Ibnu ‘Abbas L, ‘Rafats itu adalah apa yang dengannya ia dikembalikan kepada kaum wanita.’ Seakan-akan dia berpandangan bahwa rafats yang Allah telah melarang darinya adalah perkara yang dengannya seorang wanita di tuju. Adapun perkara yang diucapakan dan tidak di dengar oleh wanita maka tidak masuk di dalamnya. Al-Azhuriy berkata, ‘Rafats, adalah sebuah kata yang menggabungkan segala perkara yang diinginkan oleh seorang laki-laki dari seorang perempuan.” [an-Nihaayah Fii Ghariibi al-Hadiits, 2/241]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam menafsirkan firman Allah ﷻ [فَلَا رَفَثَ], ‘Yaitu, barangsiapa berihram haji atau umrah, maka hendaknya dia menjauhi rafats, yaitu jima’. Sebagaimana Allah ﷻ berfirman,
] أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ [
“Telah dihalalkan bagi kalian pada alam puasa untuk menggauli istri-istri kalian.” (QS. al-Baqarah (2): 187) Demikian juga diharamkan untuk mengambil segala faktor pendorongnya; berupa percumbuan, penciuman dan semacamnya. Demikian juga berbicara tentangnya dengan kehadiran kaum wanita. [Tafsiiru al-Qur-aani al-‘Azhiimi, 2/242]
([2]) Tidak berbuat fasiq, asal al-fusuuq adalah keluar dari keistiqamahan, dan al-juur (perbuatan durhaka) dan dengannya orang yang berbuat maksiat sebagai orang fasiq. [an-Nihaayah Fii Ghariibi al-Hadiits, oleh Ibnu al-Atsiir, 3/446]
Dan tidak diragukan bahwa al-fusuuq adalah keseluruhan kemaksiatan. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
]الْـحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْـحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ[
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, dan berbuat Fasik…” (QS. al-Baqarah (2): 197)
Maka masuk di dalam kategori al-fusuuq adalah keseluruhan maksiat, sebagaimana hal itu dibenarkan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah di dalam Tafsirnya (2/244). Di antara yang demikian adalah terjerumus ke dalam larangan-larangan ihram, mencela, dan mencaci. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
(سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ)
“Mencaci maki seorang muslim adalah sebuah kafasikan dan membunuhnya adalah sebuah kekufuran.” [Dikeluarkan oleh al-Bukhari no. 6044; Muslim no. 63]
Dan jenis-jenis kemaksiatan yang lain.
Dan saya pernah mendengar guru kami, Syaikh Ibn Baz rahimahullah berkata di tengah keterangan beliau terhadap Shahiih al-Bukhari, hadits no. 1521, dan hadits no. 1819, ‘Masuk di dalam kategori kefasikan, adalah kemaksiatan-kemaksiatan yang ada sebelum ibadah haji. Maka jika dia terus menerus di atas maksiat itu, maka dia adalah orang fasiq, sementara ar-Rafats adalah jima’ dan segala pendoronganya.’
([3]) Muttafaqun ‘alaih, Shahiih al-Bukhari, Kitaab al-Hajji, Bab Keutamaan Haji dan ‘Umrah, no. 1521, Kitaab al-Mukhtashar, no. 1819; Muslim, Kitaab al-Hajji, Bab Keutamaan Haji Dan ‘Umrah, no. 1350.
([4]) Shahiih Muslim, no. 1350; dan pada at-Tirmidzi,
«غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
“Diampuni untuknya apa yang telah berlalu dari dosanya.” Lihat Shahiih at-Tirmidzi (1/245)
([5]) Lihat Fathu al-Baariy 3/382.
([6]) Muttafaqun ‘alaih, Shahiih al-Bukhari, Kitaab al-‘Umrah, Bab Wajibnya ‘Umrah dan Keutamaannya, no. 1773; Muslim, Kitaab al-Hajji, Bab Keutamaan Haji dan Umrah Serta Hari ‘Arafah, no. 1349.
([7]) Lihat Fathu al-Baariy, 3/382; Syarhu an-Nawawiy ‘Alaa Shahiih Muslim, 9/119.
([8]) Shahiih Muslim, Kitaab al-Iimaan, Bab Keberadaan Islam Akan Meruntuhkan Dosa Sebelumnya, Demikian Juga Hijrah Dan Haji, no. 121.
([9]) At-Tirmidzi, Kitaab al-Hajji, Bab Riwayat Yang Datang Tentang Pahala Haji Dan Umrah, no. 810, dan lafazh adalah miliknya; an-Nasa-iy, Kitaab Manaasik al-Hajji, Bab Keutamaan Memperikutkan Antara Haji Dan Umrah, no. 2631. Al-Albaniy berkata tentangnya di dalam Shahiih at-Tirmidzi, 1/426, ‘Hasan shahih.’, dan berkata di dalam Shahiih an-Nasaa-iy, 2/240, ‘Hasan shahih.’ Hadits tersebut juga telah datang dengan ringkas dari Ibnu ‘Abbas di dalam Sunan an-Nasa-iy, no. 2630. Dengan lafazh,
«تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ؛ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ، وَالذُّنُوبَ، كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ»
“Perikutkanlah (dengan berturut-turut) antara haji dan umrah, dikarenakan keduanya akan menafikan kefaqiran dan dosa-dosa, sebagaimana bara api akan menafikan karat besi.” Dishahihkan oleh al-Albaniy di dalam Shahiih an-Nasa`iy, 2/240, demikian juga di sisi Ibnu Majah dari hadits ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu dengan lafazh,
«تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ، فَإِنَّ الْمُتَابَعَةَ بَيْنَهُمَا، تَنْفِي الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ، كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ، خَبَثَ الْحَدِيدِ»
“Perikutkanlah antara haji dan umrah, dikarenakan memperturutkan diantara keduanya akan menafikan kefaqiran, dan dosa-dosa, sebagaimana bara api akan membersihkan karat besi.” Dishahihkan oleh al-Albaniy dalam Shahiih Ibnu Majah, 3/6.
([10]) Ahmad dalam al-Musnad, 8/31, no. 4462, 9/513, no. 5701, dan para pentahqiq al-Musnad berkata, ‘Hadits hasan.’ At-Tirmidzi mengeluarkan yang semisalnya, Kitaab al-Hajji, Bab Riwayat Yang Datang Tentang Mengusap Dua Rukun, no. 959, dishahihkan oleh al-Albaniy dalam Shahiih at-Tirmidzi, 1/491-492. Para pentahqiiq Musnad Imam Ahmad telah menyempurnakan takhrij hadits ini, 8/31 dengan no. 4462, 9/513, dan dengan no. 5701. Bagi yang mau maka silahkan meruju’nya.
Dikeluarkan oleh an-Nasa-iy dengan semisalnya, Kitaab Manaasik al-Hajji, Bab Penyebutan Keutamaan Tentang Thawaf di Ka’bah, no. 2919, dishahihkan juga oleh al-Albaniy dalam Shahiih an-Nasa-iy, 2/319; Ibnu Majah secara ringkas dalam Kitaab Manaasik al-Hajji, Bab Keutamaan Thawaf, no. 2956, dishahihkan oleh al-Albaniy juga dalam Shahiih Ibni Majah, 2/27; Ibnu Khuzaimah, 4/218, no. 2729.
([11]) Diriwayatkan oleh at-Thabraniy dalam al-Ausath [Majma’ al-Bahrain, 3/185, no. 1650], al-Haitsami berkata di dalam Majma’ az-Zawaa-id (3/277), ‘Dan di dalamnya terdapat ‘Abdurrahiim bin Syurus, disebut oleh Ibnu Abi Hatim, dan tidak menyebutkan padanya jarh tidak juga ta’dil, dan orang yang diatasnya adalah orang-orang yang ditsiqahkan.’ Dinyatakan hasan li ghairihi oleh Al-Albaniy rahimahullah di dalam Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib, 2/10/12.
([12]) Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 1887; al-Bazzar no. 1082; at-Thabraniy dalam al-Kabiir no. 13566; al-Haitsami berkata di dalam Majma’ az-Zawaa-id (3/274), ‘Diriwayatkan oleh at-Thabraniy di dalam al-Kabiir dengan semisalnya, dan para perawi al-Bazaar adalah perawi yang ditsiqahkan.’ Dinyatakan hasan lighairihi oleh al-Albaniy di dalam Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib, 2/10.