Keyakinan Sebagian Wanita, Bahwa Dengan Kematian Suami, Maka Dia Diharamkan Atas Sang Suami, Bahkan Dilarang Menemuinya.
Maka ini adalah sebuah pemahaman yang salah. Sebab setelah kematian seorang istri, maka Allah D telah mensifatinya sebagai seorang istri. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman,
۞وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَٰجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٌ
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.” (QS. an-Nisa` (4): 12)
Bahkan telah datang di dalam as-sunnah riwayat yang menguatkan dan menetapkan kesalahan ungkapan ini. Dan bahwa suami boleh menemui suaminya, bahkan dia boleh memandikan suaminya setelah wafatnya.
Riwayat yang menunjukkan hal itu adalah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan selainnya, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda kepada ibunda ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha,
«مَا ضَرَّكِ لَوْ مِتِّ قَبْلِي، فَغَسَّلْتُكِ وَكَفَّنْتُكِ، ثُمَّ صَلَّيْتُ عَلَيْكِ، وَدَفَنْتُكِ؟»
“Tidak akan memadharatkanmu seandainya Engkau meninggal sebelumku, aku akan memandikanmu, mengkafanimu, kemudian Engkau kushalati, dan kukuburkan.”([1])
Demikian juga perkataan ibunda ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha,
لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ , مَا غَسَّلَهُ إِلَّا نِسَاؤُهُ
“Seandainya aku mengetahui dari awal apa yang kuketahui belakangan (dan nampak bagiku sedari awal, apa yang nampak bagiku belakangan), maka tidaklah memandikan beliau ﷺ melainkan istri-istri beliau.”([2])
Demikian juga ‘Aliy bin Abi Thalib, dia memandikan istrinya, Fathimah binti Nabi ﷺ. Dan haditsnya diriwayatkan oleh al-Baihaqiy dan ad-Daraquthniy.
Demikian juga Asma` binti ‘Umais, dia memandikan suaminya, Abu Bakar as-Shidiiq subhaanahu wa ta’aala. Dan haditsnya diriwayatkan oleh al-Baihaqiy, dan di sebutkan di dalam al-Muwaththa`.
Catatan:
Boleh bagi seorang wanita untuk memandikan bocah laki-laki.
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, ‘Para ‘Ulama telah sepakat bahwa wanita boleh memandikan bocah laki-laki.” Selesai.
Disebutkan di dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (III/251) dengan sanad shahih dari al-Hasan bahwa dia berpandangan bahwa tidak ada masalah bagi wanita untuk memandikan bocah laki-laki jika dia telah disapih, dan diatas badannya ada sesuatu. Kebolehan ini, tempatnya adalah jika si anak belum mencapai akil baligh yang karenanya seorang wanita akan tergoda padanya, jika tidak demikian maka kaum wanita boleh memandikannya.” Imam Nawawiy di dalam al-Majmu’ juga berpendapat demikian.
(Diambil dari Kitab Silsilah Akhthaaunnisaa` (2) Akhthooun Nisa al-Muta’alliqah fi al-Janaaiz, Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)
_____________________________
Footnote:
([1]) HR. Ahmad (25908), Syaikh al-Arnauth berkata, ‘Hadits hasan.’-pent
([2]) HR. Abu Dawud (3141), Ibnu Majah (1464), Ahmad (26349), dihasankan oleh Al-Albaniy dalam al-Irwaa` (702), Shahih Mawaaridu az-Zham`aan (1808), Syaikh al-Arnauth berkata, ‘Sanadnya hasan.’ Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (28/380)-pent