وَيَحْرُمُ عَلَيْهَا كَشْفُ شَيْءٍ مِنْ بَدَنِهَا بِحَضْرَةِ مَنْ يَحْرُمُ نَظْرُهُ إِلَيْهَا.
“… dan haram bagi wanita menyingkap sesuatu dari tubuhnya dengan hadirnya orang yang haram melihat kepadanya.”
Haram Bagi Wanita Menyingkap Aurat Pada Yang Bukan Mahram
Imam Nawawi al-Bantaniy rahimahullah berkata,
وَاتَّفَقَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ مَنْعِ النِّسَاءِ مِنَ الْخُرُوْجِ كَاشِفَاتِ الْوُجُوْهِ
‘Dan telah sepakat kaum muslimin atas pelarangan kaum wanita dari keluar (rumah) dalam keadaan menyingkap wajah-wajah (mereka).”([1])
Inilah perkataan dan pendapat al-Imam an-Nawawi rahimahullah, tentang menutup wajah (memakai cadar) bagi kaum wanita, yang barangkali luput dari perhatian kebanyakan kaum muslimin madzhab Syafi’iy di Indonesia. Hingga kemudian wanita bercadar seringkali diidentikkan dengan orang arab atau timur-tengah. Padahal memakai cadar atau menutup wajah bagi wanita adalah ajaran Islam yang didasari dalil-dalil Al Qur’an, hadits-hadits shahih serta penerapan para sahabat Nabi ﷺ serta para ulama yang mengikuti mereka. Sehingga tidak benar anggapan bahwa hal tersebut merupakan sekedar budaya timur-tengah.
Di dalam kitab Nihaayatuz Zain Fii Irsyaadil Mubtadi’iin, Al-Imam Muhammad bin ‘Umar Nawawi al-Jawi al-Bantaniy (w. 1316 H) rahimahullah berkata,
وَالْحُرَّةُ لَهَا أَرْبَعُ عَوْرَاتٍ إِحْدَاهَا جَمِيْعُ بَدَنِهَا إِلَّا وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا ظَهْرًا وَبَطْنًا وَهُوَ عَوْرَتُهَا فِيْ الصَّلَاةِ فَيَجِبُ عَلَيْهَا سَتْرُ ذَٰلِكَ فِيْ الصَّلَاةِ حَتَّىٰ الذِّرَاعَيْنِ وَالشَّعْرِ وَبَاطِنِ الْقَدَمَيْنِ ثَانِيَتُهَا مَا بَيْنَ سُرَّتِهَا وَرُكْبَتِهَا وَهِيَ عَوْرَتُهَا فِيْ الْخَلْوَةِ وَعِنْدَ الرِّجَالِ الْمَحَارِمِ وَعِنْدَ النِّسَاءِ الْمُؤْمِنَاتَ ثَالِثَتُهَا جَمِيْعُ الْبَدَنِ إِلَّا مَا يَظْهَرُ عِنْدَ الْمِهْنَةِ وَهِيَ عَوْرَتُهَا عِنْدَ النِّسَاءِ الْكَافِرَاتِ رَابِعَتُهَا جَمِيْعُ بَدَنِهَا حَتَّى قَلاَمَةِ ظُفْرِهَا وَهِيَ عَوْرَتُهَا عِنْدَ الرِّجَالِ الْأَجَانِبِ فَيَحْرُمُ عَلَىٰ الرَّجُلِ الْأَجْنَبِيّ النَّظَرُ إِلَى شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ وَيَجِبُ عَلىَ الْمَرْأَةِ سَتْرُ ذَلِكَ عَنْهُ
“Dan wanita merdeka, dia memiliki empat aurat (1) salah satunya adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan tua tapak tangannya; punggung dan tapaknya, dan itu adalah auratnya di dalam shalat, maka wajib atasnya untuk menutup itu semua di dalam shalat, hingga dua lengan, rambut, serta dua tapak kaki, (2) keduanya adalah apa yang ada diantara pusar dan lututnya, dan itu adalah auratnya pada saat bersendirian, dan sisi laki-laki mahram, dan di sisi wanita mukminah, (3) yang ketiganya, adalah seluruh tubuhnya kecuali apa yang nampak pada pekerjaannya, dan itu adalah auratnya di sisi wanita kafir, (4) dan keempatnya adalah keseluruhan tubuhnya hingga potongan-potongan kukunya, dan itu adalah auratnya di sisi laki-laki asing (bukan mahram), maka haram atas laki-laki asing (bukan mahram) untuk melihat kepada sesuatu dari yang demikian, dan wajib atas seorang wanita untuk menutupi yang demikian darinya.”([2])
Beliau juga berkata pada halaman lain di kitab yang sama,
وَيُخْتَلَفُ بِذُكُوْرَةِ الْمَيِّتِ وَأَنُوْثَتِهِ فَالرَّجُلُ مَا يَسْتُرُ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ وَالْمَرْأَةُ حُرَّةً كَانَتْ أَوْ أَمَةً وَمِثْلُهَا الْخُنْثَى مَا يَسْتُرُ بَدَنَهَا غَيْرَ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ وَوُجُوْبُ سَتْرُهُمَا فِيْ الْحَيَاةِ لِخَوْفِ الْفِتْنَةِ لَا لِكَوْنِهَا عَوْرَةً
“Dan diperselisihkan terhadap mayat laki-laki dan perempuan, maka laki-laki, (ditutupi dengan) apa yang menutupi apa yang ada diantara pusar dan lutut, dan wanita, baik merdeka ataupun budak, dan banci semisalnya (ditutupi dengan) apa yang menutupi badannya selain wajah dan dua tapak tangan. Dan kewajiban menutupi keduanya (wajah dan dua tapak tangan) dalam masa hidup adalah karena kekhawatiran fitnah, bukan karena keberadaannya sebagai aurat.”([3])
Demikian juga para imam lain dalam madzhab Syafi’iy berpendapat bahwa aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i.
Al-Imam Asy Syarwani rahimahullah berkata:
أَنَّ لَهَا ثَلَاثَ عَوْرَاتٍ عَوْرَةٌ فِي الصَّلَاةِ وَهُوَ مَا تَقَدَّمَ وَعَوْرَةٌ بِالنِّسْبَةِ لِنَظَرِ الْأَجَانِبِ إلَيْهَا جَمِيعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ وَعَوْرَةٌ فِي الْخَلْوَةِ وَعِنْدَ الْمَحَارِمِ كَعَوْرَةِ الرَّجُلِ اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ
“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha.” ([4])
al-Imam Sa’id bin Muhammad Ba’Aliy Ba ‘Isyn ad-Dau’aniy ar-Ribathiy al-Hadhramiy as-Syafi’iy (w. 1270 H) rahimahullah berkata,
لاَ مَنَافَاةَ بَيْنَ مَا قَدَّمْتُهُ مِنْ أَنَّ عَوْرَةَ الْحُرَّةِ: جَمِيْعُ بَدَنِهَا، وَبَيْنَ مَا ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ مِنْ أَنَّهَا عَوْرَةٌ حَتَّىٰ عِنْدَ الْأَجَانِبِ: مَا عَدَا الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ؛ لِأَنَّ الْمُرَادَ مِنَ الْأَوَّلِ: مَا يَحْرُمُ نَظَرُهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ عَوْرَةً، وَمِنَ الثَّانِيْ: مَا هُوَ عَوْرَةٌ حَقِيْقِيَّةٌ. وَعَلَيْهِ: فَيَجِبُ عَلَيْهِمَا سَتْرُهُمَا خَوْفَ الْفِتْنَةِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ.
“Tidak ada pertentangan antara apa yang telah kusebutkan bahwa aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuhnya, dengan apa yang telah disebutkan oleh penulis bahwa itu adalah aurat hingga di sisi laki-laki asing, selain wajah dan dua tapak tangan. Dikarenakan yang dimaksud dari yang pertama adalah apa yang diharamkan untuk melihatnya sekalipun bukan aurat, dan yang kedua, adalah aurat secara hakiki. Dan oleh karena itulah, wajib atas keduanya (wanita merdeka dan banci merdeka) untuk menutup keduanya (wajah dan tapak tangan) karena khawatir fitnah menurut pendapat yang mu’tamad.” ([5])
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Abi al-‘Abbas Ahmad bin Hamzah Syihabuddin ar-Romliy (w. 1004 H) rahimahullah berkata,
وَلَوْ عَرَفَهَا الشَّاهِدُ فِي النِّقَابِ لَمْ يَحْتَجْ لِلْكَشْفِ فَعَلَيْهِ يَحْرُمُ الْكَشْفُ حِينَئِذٍ إذْ لَا حَاجَةَ إلَيْهِ، وَمَتَى خَشِيَ فِتْنَةً أَوْ شَهْوَةً لَمْ يَنْظُرْ إلَّا إنْ تَعَيَّنَ.
“Dan seandainya saksi telah mengenalnya di dalam niqab (cadar) maka dia tidak butuh menyingkap (cadar tersebut), maka atas dasar itu haram menyingkap (cadar tersebut) saat itu, karena tidak ada keperluan padanya, dan kapan saja dikhawatirkan fitnah, atau syahwat, maka tidak boleh melihat (wajah wanita) kecuali jika harus (sangat diperlukan untuk menyingkapnya.”([6])
Syaikh Sulaiman Al Jamal (w. 1204 H) rahimahullah berkata:
(قَوْلُهُ غَيْرُ وَجْهٍ وَكَفَّيْنِ) … وَهَذِهِ عَوْرَتُهَا فِي الصَّلَاةِ، وَأَمَّا عَوْرَتُهَا عِنْدَ النِّسَاءِ الْمُسْلِمَاتِ مُطْلَقًا وَعِنْدَ الرِّجَالِ الْمَحَارِمِ فَمَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ، وَأَمَّا عِنْدَ الرِّجَالِ الْأَجَانِبِ فَجَمِيعُ الْبَدَنِ،
“Maksud perkataan An Nawawi rahimahullah ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, … ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan.”([7])
Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi (w. 918 H) rahimahullah, penulis Fathul Qaarib, berkata:
وَجَمِيْعُ بَدَنِ الْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ إِلاَّ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا، وَهٰذِهِ عَوْرَتُهَا فِيْ الصَّلاَةِ، أَمَّا خَارِجَ الصَّلاَةِ فَعَوْرَتُهَا جَمِيْعُ بَدَنِهَا
“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan.”([8])
Ibnu Qaasim Al Abadi (w. 992) rahimahullah berkata:
فَيَجِبُ مَا سَتَرَ مِنْ الْأُنْثَى وَلَوْ رَقِيقَةً مَا عَدَا الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ وَوُجُوبُ سَتْرِهِمَا فِي الْحَيَاةِ لَيْسَ لِكَوْنِهِمَا عَوْرَةً بَلْ لِخَوْفِ الْفِتْنَةِ غَالِبًا
“Maka wajib apa yang menutup (aurat) dari wanita sekalipun dia adalah seorang budak wanita selain wajah dan dua tapak tangan, dan kewajiban menutupi keduanya (wajah dan tapak tangan) dalam keadaan hidup adalah bukan karena keberadaannya sebagai aurat, akan tetapi karena umumnya kekhawatiran menimbulkan fitnah.”([9])
Syamsuddin, Muhammad bin Ahmad al-Khathiib as-Syarbiiniy as-Syafi’iy (w. 977 H) rahimahullah berkata,
وَيُكْرَهُ أَن يُصَلِّي فِي ثَوْبٍ فِيهِ صُوْرَةٌ وَأَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ مُتَلَثِّمًا وَالْمَرْأَةُ مُتَنَقِّبَةً إِلَّا أَنْ تَكُوْنَ فِيْ مَكَانٍ وَهُنَاكَ أَجَانِبُ لَا يُحْتَرَزُوْنَ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا فَلَا يَجُوْزُ لَهَا رَفْعُ النِّقَابِ
“Dan dimakruhkan shalat pada baju yang ada gambar padanya, dan (makruh) seorang laki-laki shalat dalam keadaan berselimut, dan (makruh) bagi wanita shalat dalam keadaan berniqab (bercadar), kecuali dia berada pada tempat yang disana terdapat laki-laki asing (bukan mahram) yang mereka tidak menjaga diri dari melihat kepadanya (wanita), maka tidak boleh baginya (wanita) untuk mengangkat (melepas) niqab (cadar)nya.”([10])
al-Imam Abu Bakar al-Bakri ‘Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyatiy as-Syafi’iy (w. 1310 H) rahimahullah berkata,
وَيُكْرَهُ أَنْ يُصَلِّيَ فِيْ ثَوْبٍ فِيْهِ صُوْرَةٌ أَوْ نَقْشٌ لِأَنَّهُ رُبَّمَا شَغَلَهُ عَنْ صَلاَتِهِ. وَأَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ مُتَلَثِّمًا وَالْمَرْأَةُ مُتَنَقِّبَةً، إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ بِحَضْرَةِ أَجْنَبِيٍّ لاَ يُحْتَرَزُ عَنْ نَظْرِهِ لَهَا فَلاَ يَجُوْزُ لَهَا رَفْعُ النِّقَابِ.
“Dan di makruhkan shalat pada baju ada gambar, atau pola padanya, dikarenakan barangkali hal itu akan menyibukkannya (menggangunya) di dalam shalatnya. Dan (dimakruhkan) seorang laki-laki shalat dalam keadaan berselimut, dan (dimakruhkan bagi) wanita (untuk shalat) dalam keadaan berniqab (bercadar) kecuali dia berada (pada tempat) dengan kehadiran laki-laki asing yang tidak menjaga diri pandangannya darinya (wanita), maka tidak boleh baginya (wanita) untuk mengangkat (melepas) niqab (cadarnya).” ([11])
Taqiyuddin Al Hushni (w. 829 H) rahimahullah, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:
وَيُكْرَهُ أَنْ يُصَلِّيَ فِيْ ثَوْبٍ فِيْهِ صُوْرَةٌ وَتَمْثِيْلٌ، وَالْمَرْأَةُ مُتَنَقِّبَةً إِلاَّ أْنْ تَكُوْنَ فِيْ مَسْجِدٍ وَهُنَاكَ أَجَانِبُ لاَ يُحْتَرَزُوْنَ عَنِ النَّظَرِ، فَإِنْ خِيْفَ مِنَ النَّظَرِ إِلَيْهَا مَا يَجُرُّ إِلَى الْفَسَادِ حَرُمَ عَلَيْهَا رَفْعُ النِّقَابِ
“Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandangan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar).”([12])
Al-Imam Abu Ishhaq Ibrahim bin ‘Aliy bin Yusuf as-Syairaziy (w. 976 H) rahimahullah, berkata,
وَلاَ يَجُوْزُ سَتْرُ وَجْهِهَا فَإِنْ أَرَادَتْ السِّتْرَ عَنِ النَّاسِ سَدَلَتْ عَلَى وَجْهِهَا مَا يَسْتُرُهُ وَلاَ يَقَعُ عَلىَ الْبَشَرِ.
“Dan tidak boleh (bagi wanita berihram untuk) menutup wajahnya, dan jika dia ingin menutup (wajahnya) dari (pandangan) manusia, maka dia menutupkan pada wajahnya sesuatu yang menutupinya tanpa mengenai kulitnya.”([13])
Al-Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalliy (w.864 H) rahimahullah, tatkala menafsirkan ayat ke- 59 dari surat al-Ahzab berkata,
{يأيها النَّبِيّ قُلْ لِأَزْوَاجِك وَبَنَاتك وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبهنَّ} جَمْع جِلْبَاب وَهِيَ الْمُلَاءَة الَّتِي تَشْتَمِل بِهَا الْمَرْأَة أَيْ يُرْخِينَ بَعْضهَا عَلَى الْوُجُوه إذَا خَرَجْنَ لِحَاجَتِهِنَّ إلَّا عَيْنًا وَاحِدَة
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, putri-putrimu, dan wanita-wanita mukminah, agar mereka melabukan jilbab-jilbab mereka atas mereka…” bentuk jamak dari jilbab, yaitu baju lebar yang mencakup (menutupi) keseluruhan (tubuh) wanita dengannya; yaitu mereka melabuhkan sebagiannya diatas wajah-wajah (mereka) jika mereka keluar untuk hajat-hajat mereka, kecuali satu mata (yang tidak ditutup).”([14])
Adapun al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 w) rahimahullah, tatkala menafsirkan ayat ke-59 dari surat al-Ahzab maka beliau membawakan banyak atsar, diantaranya;
Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan atsar dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma tentang ayat ini, dia berkata,
أَمَرَ اللهُ نِسَاءَ الْمُؤْمِنِيْنَ إِذَا خَرَجْنَ مِنْ بُيُوْتِهِنَّ فِيْ حَاجَةٍ أَنْ يُغَطِيْنَ وُجُوْهَهُنَّ مِنْ فَوْقِ رُؤُوْسِهِنَّ بِالْجَلاَبِيْبِ وَيُبْدِيْنَ عَيْنًا وَاحِدَةً
“Allah memerintahkan kepada wanita-wanita mukminah jika mereka keluar dari rumah-rumah mereka untuk sebuah hajat agar mereka menutupi wajah-wajah mereka dari atas kepala-kepala mereka dengan jilbab-jilbab dan mereka tampakkan satu mata.”
Al-Firyabiy, ‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin ﷻ, dia berkata,
سَأَلْتُ عُبَيْدَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ هَذِهِ الْآيَةِ {يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ} فَرَفَعَ مِلْحَفَةً كَانَتْ عَلَيْهِ فَقَنَّعَ بِهَا وَغَطَّىٰ رَأْسَهُ كُلَّهُ حَتَّى بَلَغَ الْحَاجِبَيْنِ وَغَطَّىٰ وَجْهَهُ وَأَخْرَجَ عَيْنَهُ الْيُسْرَىٰ مِنْ شَقِّ وَجْهِهِ الْأَيْسَرِ مِمَّا يَلِي الْعَيْنِ
“Aku telah bertanya kepada ‘Ubaidah ﷻ tentang ayat ini, ‘agar mereka melabuhkan jilbab-jilbab mereka atas mereka…’ maka diapun mengangkat mantel / selimuat yang ada padanya lalu dia berselimut dengannya, dan menutupi kepalanya semuanya hingga mencapai dua alis mata, lalu menutupi wajahnya, dan mengeluarkan mata kirinya dari sebelah wajahnya yang kiri dari arah mata.”
Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin ﷻ, dia berkata,
سَأَلْتُ عُبَيْدًا السَّلْمَانِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ قَوْلِ اللهِ {يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ} فَتَقَنَّعَ بِمِلْحَفَةٍ فَغَطَّى رَأْسَهُ وَوَجْهَهُ وَأَخْرَجَ إِحْدَىٰ عَيْنَيْهِ
“Aku telah bertanya kepada ‘Ubaid as-Salmaniy ﷻ, tentang firman Allah ﷻ, ‘… agar mereka melabuhkan atas mereka jilbab-jilbab mereka atas mereka…’ maka diapun berselimut (menutupi seluruh tubuhnya) dengan mantel / selimut, lalu dia menutupi kepala, dan wajahnya, serta mengeluarkan salah satu diantara kedua matanya.”([15])
(Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)
__________________________________
Footnote:
([2]) Nihaayatuz Zain Fii Irsyaadil Mubtadi’iin, 47
([3]) Nihaayatuz Zain Fii Irsyaadil Mubtadi’iin, 151
([4]) Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112
([5]) Syarah al-Muqaddimah al-Hadhramiyah yang diberi nama Busyra al-Kariim bi Syarhi Masa’ili at-Ta’liim, 26
([6]) Nihaayatul Muhtaaj Ilaa Syarhil al-Minhaj, VI/198
([7]) Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, 411
([9]) Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115
([10]) Al-Iqna` Fii Hilli Alfaazhi Abi Suja’ (I/124)
([11]) I’aanatut Thalibiin ‘Alaa Hilli al-Faazhi Fathil Mu’iin, Hasyiah ‘Alaa Fathil Mu’iin bi Syarhi Qurratul ‘Ain bi Muhimmati ad-Diin, 135
([12]) Kifaayatul Akhyaar, 181
([13]) at-Tanbiih fi al-Fiqhi as-Syafi’iy, 73
([14]) Tafsir al-Jalalain, ayat ke-59 dari surat al-Ahzab.
([15]) Ad-Durrul Mantsur, VI/659-661