Memandang Lawan Jenis Bukan Mahram([1])
فَصْلٌ: وَمِنْ مَعَاصِى الْعَيْنِ النَّظَرُإِلىَ النِّسَاءِ الْأَجْنَبِيَّاتِ وَكَذَا نَظْرُهُنَّ إِلَيْهِمْ
‘Pasal: Dan termasuk maksiat mata melihat kepada wanita asing (bukan mahram), demikian juga melihatnya mereka (kaum wanita) kepada mereka (laki-laki bukan mahram)”
Imam Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata,
قَالَ الحُصَنِى وَالأَصَحُّ عِنْدَ الرَّافِعِى أَنَّ الْمَرْأَةَ تَنْظُرُ إِلىَ جَمِيْعِ بَدَنِ الرَّجُلِ الْأَجْنَبِيِّ إِلاَّ مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ وَالْقَوْلُ الثَّانِىْ لاَ تَرَى مِنْهُ إِلاَّ مَا يَرَى مِنْهَا، قَالَ النَّوَوِى وَهَذَا هُوَ الأَصَحُّ عِنْدَ جَمَاعَةٍ أهـ
‘Berkata al-Hushaniy, ‘Dan yang paling shahih menurut ar-Rafi’iy bahwasannya seorang wanita (boleh) melihat kepada seluruh tubuh laki-laki asing selain apa yang ada diantara pusar dan lututnya.’ Dan pendapat yang kedua adalah bahwa seorang wanita tidak (boleh) melihat dari (tubuh) laki-laki kecuali apa yang dia (laki-laki boleh) melihat dari (bagian tubuh)nya perempuan.’ An-Nawawi rahimahullah berkata, ‘Inilah yang paling benar menurut jama’ah.’([2])
Perintah Ghaddhul Bashar (Menundukkan Pandangan)
Dilarang memandang lawan jenis yang bukan mahram dan diperintahkan untuk menundukkan pandangan dari mereka. Allah ﷻ berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada para lelaki yang beriman agar hendaklah mereka menahan pandanganya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada para wanita yang beriman agar hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya.” [QS An Nur: 30-31]
Dari Abu Sa’id al-Khudriy rodhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ فَقَالُوا مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا قَالَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ
“Hati-hatilah kalian dari duduk-duduk di (pinggir) jalan.’ Maka merekapun berkata, ‘Itu harus kami lakukan (kami tidak bisa meninggalkannya), itu adalah tempat duduk-duduk kami, yang kami berbincang padanya.’ Maka beliau bersabda, ‘Maka jika kalian tidak mau melainkan (harus duduk) di majelis tersebut, maka berikanlah jalan itu haknya.’ Maka mereka bertanya, ‘Apa hak jalan?’ Maka beliau bersabda, ‘Menundukkan pandangan, menahan gangguan, menjawab salam, memerintah yang ma’ruf dan melarang dari mungkar.’([3])
Nabi ﷺ bersabda,
«يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ»
“Wahai sekalian para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu ba`ah (kemampuan memberi nafkah bathin), maka hendaknya dia menikah, dikarenakan menikah itu akan lebih bisa menundukkan pandangan, lebih bisa menjaga kemaluan, dan barangsiapa tidak mampu, maka wajib atasnya berpuasa, dikarenakan puasa adalah perisai baginya.”([4])
Dari Abu Hurairah rodhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
«كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكُ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ؛ الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ»
“Telah ditetapkan atas anak cucu Adam bagian dia dari perbuatan zina, dia mendapatkannya tidak bisa menghindar; dua mata, zinanya dengan memandang; dua telinga, zinanya dengan mendengar; lisan, zinanya adalah bertutur kata; tangan, zinanya adalah memukul; kaki, zinanya adalah melangkah; dan hati dia yang berkeinginan dan berangan-angan, sementara kemaluanlah yang membenarkan atau mendustakannya.”([5])
Dari Masruq, dari ‘Abdullah rodhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ beliau bersabda,
«الْعَيْنَانِ تَزْنِيَانِ، وَالْيَدَانِ تَزْنِيَانِ، وَالرِّجْلَانِ تَزْنِيَانِ، وَالْفَرْجُ يَزْنِي»
“Dua mata berzina, dua tangan berzina, dua kaki berzina, dan kemaluan berzina.”([6])
Tidak Berdosa Jika Pandangan Tanpa Sengaja
Apabila pada suatu ketika kita tidak sengaja melihat kepada bagian tubuh lawan jenis yang seharusnya tidak boleh dilihat oleh orang lain, maka yang harus dilakukan adalah memalingkan pandangan ke arah yang lain sehingga kita tidak lagi melihatnya.
Dalilnya adalah hadits Abdullah bin Abbas radhiyallaahu ‘anhuma Dia berkata:
كَانَ الْفَضْلُ رَدِيفَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَجَاءَتْ امْرَأَةٌ مِنْ خَشْعَمَ فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ وَجَعَلَ النَّبِيُّ ﷺ يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ الْآخَرِ
“Fadhl bin Abbas pernah berboncengan bersama Rasulullah ﷺ lalu datanglah seorang wanita dari Khasy’am (ingin bertemu dan bertanya kepada Rasulullah ﷺ). Lantas Fadhl memandang wanita tersebut dan wanita itupun memandang kepadanya. Lalu Nabi ﷺ memalingkan wajah Fadhl ke arah yang lain.”([7])
Dari Jarir bin ‘Abdillah rodhiyallaahu ‘anahu, dia berkata,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي
‘Aku bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja), maka Nabi memerintahkanku untuk memalingkan pandanganku.’([8])
(Makalah Kajian Syarah Sullamauttaufik oleh Ust. Muhammad Syahri di Rumah Bpk. H. Jarot Jawi Prigen)
__________________________________
Footnote:
([1]) Pembahasan ini banyak mengambil faidah dari kitab an-Nazhru Fii Ahkaami an-Nazhari Bihaasati al-Bashariy, Syaikh al-Imam al-Faqiih al-Muhaddits al-Hafizh Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdil Malik bin Yahya bin Ibrahim bin Isa bin Ibrahim yang dikenal dengan nama Ibnul Qaththan al-Fasiy, Ta’liq DR. Fathiy Abu Isa.
([2]) Al-Mirqah, Imam Nawawi al-Bantani (66)
([3]) HR. al-Bukhari (2285), Muslim (3960)
([4]) Muttafaqun ‘alaih, HR. Muslim (1400)
([5]) HR. al-Bukhari (6243), Muslim (21)
([6]) Shahih, HR. al-Bazzar (1956), Ahmad (3912), al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (157), dishahihkan oleh al-Albaniy dalam Shahiih al-Jaami’ (4150)
([7]) HR Al Bukhari (1513) dan Muslim (1334)