Penghapus Dosa Dari As-Sunnah as-Shahiihah (10) Berjalan Menuju Masjid

Dengannya kesalahan-kesalahan dihapus, derajat ditinggikan, kebaikan-kebaikan ditulis, dan dosa-dosa diampuni.

 

26-1. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata,

 

«مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا، فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلاَءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ؛ فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ ﷺ سُنَنَ الْهُدَى، وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى، وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ، كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِى بَيْتِهِ، لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ، وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ، وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً، وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً، وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً، وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلاَّ مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ، وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِى الصَّفِّ»

 

“Barangsiapa membuatnya senang bertemu Allah besok dalam keadaan muslim, maka hendaknya dia menjaga shalat-shalat tersebut, dimana ia dipanggil oleh shalat-shalat tersebut. Dikarenakan Allah telah mensyariatkan untuk Nabi kalian ﷺ sunah-sunnah petunjuk, dan bahwasannya shalat-shalat tersebut adalah termasuk sunnah-sunnah petunjuk. Dan seandainya kalian shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana orang yang tidak hadir ini shalat di dalam rumahnya, maka pastilah kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Dan seandainya kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, pastilah kalian tersesat. Dan tidak ada di antara seorang laki-lakipun yang bersuci, lalu dia memperbagusi bersucinya, kemudian dia mensengajakan dirinya berangkat menuju masjid dari masjid-masjid ini, melainkan Allah akan menuliskan baginya untuk setiap langkah yang dia langkahkan satu kebaikan, dengannya Dia akan mengangkatnya satu derajat, dan dengannya Dia akan menghapus satu keburukan. Dan sungguh aku telah melihat kami, dan tidak ada yang tidak hadir dari shalat berjama’ah tersebut melainkan seorang munafiq yang diketahui kenifakannya. Dan sungguh seorang laki-laki dia didatangkan dengan dipapah diantara dua orang laki-laki hingga dia diberdirikan di dalam shaf.”([1])

 

27-2. Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dan di dalamnya dia berkata ‘Rasulullah ﷺ bersabda,

 

«…وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ، لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ…»

 

“… dan yang demikian bahwasannya jika dia berwudhu`, lalu dia memperbagusi wudhu`, kemudian dia keluar menuju masjid, tidak ada yang mengeluarkannya melainkan shalat, maka tidaklah dia melangkahkan satu langkah kaki melainkan diangkatlah untuknya satu derajat dengannya, dan dihapuskanlah darinya dengan satu langkah itu satu kesalahan…”([2])

 

28-3. Dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

 

«مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ فَصَلاَّهَا مَعَ النَّاسِ، أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ، أَوْ فِي الْمَسْجِدِ، غَفَرَ اللهُ لَهُ ذُنُوبَهُ»

 

“Barangsiapa berwudhu untuk shalat, lalu dia sempurnakan wudhu`nya, kemudian dia berjalan menuju shalat fardhu, lalu dia melakukan shalat fardhu tersebut bersama manusia, atau bersama jama’ah, atau di dalam masjid, maka Allah akan ampuni untuknya dosa-dosanya.”([3])

 

29-4. Perselisihan para malaikat yang mulia tentang berjalan di atas kaki-kaki menuju shalat berjama’ah, berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, dari Nabi ﷺ, dan di dalamnya (disebutkan) bahwa Allah ﷻ berfirman kepada Nabi ﷺ di dalam tidur,

 

«… يَا مُحَمَّدُ، هَلْ تَدْرِي فِيمَ يَخْتَصِمُ الْمَلَأُ الأَعْلَى؟ قُلْتُ: نَعَمْ، فِي الكَفَّارَاتِ، وَالكَفَّارَاتُ: الْمُكْثُ فِي الْمَسَاجِدِ بَعْدَ الصَّلاَةِ، وَالْمَشْيُ عَلَى الأَقْدَامِ إِلَى الْجَمَاعَاتِ، وَإِسْبَاغُ الوُضُوءِ فِي الْمَكَارِهِ، وَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَاشَ بِخَيْرٍ وَمَاتَ بِخَيْرٍ، وَكَانَ مِنْ خَطِيئَتِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ…»

 

“… wahai Muhammad, tahukah kamu dalam hal apa para malaikat muqarrabin([4]) berselisih([5])? Aku katakan, ‘Ya, tentang kaffarah-kaffarah. Dan kaffarah-kaffarah tersebut adalah berdiam diri di dalam masjid setelah shalat; berjalan di atas kaki-kaki menuju shalat-shalat berjama’ah; menyempurnakan wudhu` pada waktu yang tidak disukai; dan barangsiapa melakukan yang demikian, maka ia akan hidup dengan kebaikan, dan mati dengan kebaikan. Dan adalah dia, terhadap kesalahan-kesalahannya, seperti pada hari ibunya melahirkannya…”([6])

 

(Diambil dari kitab Mukaffiraatu adz-Dzunuubi wal Khathaayaa Wa Asbaabul Maghfirati Minal Kitaabi Was Sunnah oleh DR. Sa’id bin ‘Aliy bin Wahf al-Qahthaniy, alih bahasa oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)

_____________________________________

Footnote:

([1]) Muslim dalam Kitaab al-Masaajid Wa Mawaadhi’i as-Shalaat, Bab Shalat Berjama’ah Adalah Termasuk Sunnah-Sunnah Petunjuk, no. 257-(654).

([2]) Muttafaqun ‘alaih, al-Bukhari dalam Kitaab al-Adzaan, Bab Keutamaan Shalat Berjama’ah, no. 647; Muslim dalam Kitaab al-Masaajid Wa Mawaadhi’i as-Shalaat, Bab Shalat Berjama’ah Adalah Termasuk Sunnah-Sunnah Petunjuk, no. 654.

([3]) Muslim dalam Kitaab at-Thahaarah, Bab Keutamaan Wudhu` Dan Shalat, no. 232.

([4]) Al-Mala` al-A’laa, adalah para malaikat muqarrabuun. Al-Mala`, mereka adalah makhluk-makhluk termulia yang memenuhi majelis-majelis dan dada-dada dengan keagungan dan pengagungan. Mereka disifati al-A’laa bisa jadi karena ketinggian kedudukan mereka di sisi Allah, bisa jadi karena ketinggian tempat mereka. Lihat Tuhfatul Ahwadzi, oleh al-Mubaarkfuuriy, 9/3.

([5]) Yakhtashimu adalah yabhatsu (mendiskusikan, mengkaji, mempelajari, meneliti, menguji). Dan perselisihan mereka adalah sebuah ungkapan akan bertindak cepatnya mereka untuk menegaskan amal-amal tersebut, dan naik dengannya menuju langit. Bisa jadi dari perbincangan mereka tentang keutamaan dan kemuliaannya. Bisa jadi karena sikap iri mereka kepada manusia dengan keutamaan-keutamaan tersebut, karena kekhususan mereka dengannya, dan keunggulan mereka atas para malaikat karena sebabnya, bersamaan dengan pergumulan mereka di dalam syahwat. Hal itu disebut dengan mukhaashamah (perselisihan) tiada lain karena ia disebutkan dengan bentuk tanya jawab, dan yang demikian itu menyerupai perselisihan dan perdebatan. Oleh karena sebab ini, menjadi baguslah kemutlakan penyebutan lafazh mukhaashamah padanya… Ibnu Katsir rahimahullah telah menyebutkan bahwa perselisihan ini bukanlah perselisihan yang di sebutkan di dalam al-Qur`an. Lihat Tuhafatul Ahwaadzi bi Syarhi Jaami’ at-Tirmidzi, 9/193, 109.

([6]) Sunan at-Tirmidzi, Kitaab at-Tafsiir, Surat Shaad, no. 3233, dan no. 3234, dan ia memiliki penguat dari hadits Mu’adz radhiyallaahu ‘anhu pada riwayat at-Tirmidzi dengan no. 3235, dan keduanya dishahihkan oleh al-Albaniy dalam Shahiih Sunan at-Tirmidzi, 3/98-99.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *