3. Menjaga Waktu-Waktunya
Dan Berhati-Hati Dari Mengakhirkan Dan Menyia-nyiakannya.
Allah ﷻ berfirman,
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَت عَلَى ٱلمُؤمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوقُوتًا ١٠٣
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nisaa` (4): 103)
Imam al-Bukhari rahimahullaah berkata, ‘Ditentukan, dan telah ditentukan atas mereka.”
Dari Abu ‘Amr as-Syaibaniy, dia berkata, ‘Pemilik rumah ini menceritakan kepada kami –dia menunjuk ke rumah ‘Abdullah, dia berkata,
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ العَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: «الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا»، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «ثُمَّ بِرُّ الوَالِدَيْنِ» قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: «الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ» قَالَ: حَدَّثَنِي بِهِنَّ، وَلَوِ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي
‘Aku pernah bertanya kepada Nabi ﷺ, ‘Amal apa yang lebih dicintai oleh Allah? Maka beliau menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.” Dia bertanya, ‘Kemudian apa?’ Beliau ﷺ bersabda, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Dia bertanya, ‘Kemudian apa?’ Maka beliau ﷺ menjawab, “Berjihad di jalan Allah.’ Dia berkata, ‘Beliau menceritakannya kepadaku, seandainya aku meminta tambah kepada beliau, pastilah beliaupun akan menambahinya.” ([1])
Sungguh, Rasulullah ﷺ telah menjelaskan bahwa shalat tepat pada waktunya termasuk amal yang paling dicintai (oleh Allah ﷻ), dan Nabi ﷺ mendahulukannya atas berbakti kepada orang tua dan jihad di jalan Allah ﷻ. Dalilnya adalah kata tsumma (kemudian), yang menunjukkan maksud berurutan sebagaimana sudah diketahui dalam bahasa ‘Arab.
Al-Hafizh rahimahullaah berkata dalam Fathul Baariy, “Berkata Ibnu Bazizah, ‘Setelah dikaji, kesimpulannya adalah di dahulukannya jihad atas segala amal badan, karena di dalamnya terdapat pengorbanan jiwa. Hanya saja, bersabar untuk menjalankan menjaga shalat, menunaikannya tepat pada waktunya, dan menjaga berbakti kepada kedua orang tua adalah perkara yang berulang-ulang serta berkesinambunan. Tidak akan bisa sabar bermuraqabah kepada Allah di dalamnya, kecuali orang-orang yang jujur (keimanannya). Wallahu a’lam.
Dan saya akan membuat perumpamaan hal ini untuk memperjelas maksudnya, ‘Ada seorang laki-laki yang tenggelam dalam perniagaannya beserta berbagai kesibukan dan janji-janjinya. Setan banyak sekali menggodanya, agar dia kehilangan takbiratul ihram, atau agar ia ketinggalan salah satu bagian shalat. Kemudian Anda mendatanginya dengan nash-nash tentang jihad di jalan Allah dan sikap-sikap heroik para sahabat radhiyallaahu ‘anhum dengan panjang lebar. Anda memotivasinya untuk meraih Sorga dan menjadikannya zuhud terhadap dunia. Dia melihat dunia setelah nasihat Anda. Dia melihat dunia menjadi kecil dalam pandangannya. Lalu dia merenungkan akhirat, maka jika dia bersegera menuju Sorga yang seluas langit dan bumi. Kemudian dia menulis wasiat, menyelesaikan hak-hak para hamba, berpamitan kepada keluarga dan orang-orang yang dicintai. Dia pun berlalu menuju medan pertempuran, dan terbunuhlah sebagai syahid di jalan Allah ﷻ.”
Anggaplah Anda belum mengajak laki-laki ini untuk berjihad di jalan Allah ﷻ, akan tetapi Anda mengajaknya untuk menjaga waktu-waktu shalat. Anda sebutkan padanya nash-nash yang memotivasi dan yang mengancam, serta sikap-sikap orang mukmin yang mempengaruhi jiwa. Maka apa yang akan Anda lihat darinya?
Kemungkinan dia akan menerima dan menangisi apa yang telah berlalu darinya. Dia bertekad untuk menjaga shalat tepat pada waktunya, bisa jadi dia mengerjakannya beberapa hari. Akan tetapi setan memberikan was-was kepadanya, sementara kesibukan-kesibukan semakin banyak, janji-janji, ikatan-ikatan dan beban semakin memuncak. Maka setanpun memenangkannya. Penjagaan waktu-waktu shalat kembali disia-siakannya lagi. Kemudian dia kembali memerangi hawa nafsunya, dan dia menang atas setannya. Lalu sekali lagi dia kehilangan semangatnya. Demikian seterusnya, senantiasa berada dalam pergulatan dan benturan bersama syetan dalam lima waktu disetiap harinya. Sementara umur adalah hari ke hari…
Maka inilah peperangan hawa nafsu. Yang pertama adalah memerangi hawa nafsu! Akan tetapi dimanakah kedudukan yang pertama dari yang kedua? Yang satu memerangi usia dan yang lain memerangi jam, hari, bulan, atau bahkan tahun. Lantas keadaan mana yang terbaik? Saya katakan, ‘Pada masing-masing terdapat kebaikan.”
Aku memohon kepada Allah ﷻ agar menjadikan aku termasuk orang-orang yang menjaga shalat tepat pada waktunya, kekhusyu’annya, dan menjaga semua perintah-perintah-Nya ﷻ. Dan mudah-mudahan Dia menulisku termasuk orang-orang yang mati syahid. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dari Mush’ab bin Sa’d, dia berkata, aku berkata kepada bapakku, ‘Wahai bapakku, apa pendapat Anda tentang Firman Allah, “(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. al-Maa’uun (107): 5) Siapa di antara kita yang tidak lalai? Siapa di antara kita yang tidak berbuat kotor? Maka dia menjawab, ‘Bukan begitu maksudnya. Maksudnya adalah menyia-nyiakan waktunya. Dia bermain-main hingga waktu tersia-siakan.” ([2])
Dan dari Musa bin Isma’il, dia berkata, ‘Bercerita kepada kami Mahdi dari Ghailan dari Anas radhiyallaahu ‘anhu. Dia berkata, ‘Aku tidak mengetahui sesuatu seperti di zaman Nabi ﷺ.” Dikatakan kepadanya, ‘Shalat?’ Maka dia berkata, ‘Bukankah kalian telah berbuat apa yang telah kalian perbuat terhadapnya?”([3]) Yang dia kehendaki adalah pengakhiran shalat dari waktunya.
Dari ‘Utsman bin Abi Rawwad, saudara ‘Abdul ‘Aziz, dia berkata, ‘Aku mendengar az-Zuhri berkata, ‘Aku masuk menemui Anas bin Malik di Damaskus, sementara dia dalam keadaan menangis. Maka aku berkata, ‘Apa yang menjadikan Anda menangis?’ Dia menjawab, ‘Aku tidak mengetahui sesuatu yang aku dapatkan kecuali shalat ini, dan shalat ini telah disia-siakan.”([4])
Al-Hafizh bin Hajar rahimahullaah dalam Fathul Baariy berkata, ‘Al-Muhallab berkata, ‘Yang dimaksud dengan menyia-nyiakannya adalah mengakhirkannya dari waktu yang mustahab, bukannya mereka mengeluarkannya dari waktunya.” Dan Ibnu Hajar rahimahullaah menyelisihi rincian penyebutannya dalam kitabnya. Dia berpendapat bahwa maksudnya adalah mengeluarkan shalat dari waktunya.
Aku berkata, ‘Perkataan penyair membenarkan hal ini,
فَقُلْتُ هُمَا مُرَّانِ أَحْلَاهُمَا مُرٌّ
Aku berkata keduanya pahit.
Maka yang lebih manis di antara keduanya juga pahit
Sungguh, Anas radhiyallaahu ‘anhu telah menangis. Maka apa yang kita lakukan? Apa yang seyogyanya kita lakukan? Bukankah layak bagi kita untuk menumbuhkan tumbuhan dengan air mata kita, karena kita telah meremehkan dan menyia-nyiakan shalat, beserta perintah-perintah Allah?!
Dari ‘Ubadah bin as-Shamit radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Aku bersaksi bahwa aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
«خَمْسُ صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهُنَّ اللهُ تَعَالَى، مَنْ أَحْسَنَ وُضُوءَهُنَّ، وَصَلَّاهُنَّ لِوَقْتِهِنَّ، وَأَتَمَّ رُكُوعَهُنَّ وَسُجُوْدَهُنَّ وَخُشُوعَهُنَّ، كَانَ لَهُ عَلَى اللهِ عَهْدٌ أَنْ يَغْفِرَ لَهُ، وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَيْسَ لَهُ عَلَى اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ وَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ»
“Lima shalat yang Allah ﷻ telah mewajibkannya. Barangsiapa yang memperbaiki wudhu’nya, dan shalat tepat pada waktunya, menyempurnakan ruku’, sujud, dan khusyu’nya, maka baginya janji Allah untuk mengampuninya. Dan barangsiapa yang tidak melakukannya, maka tidak ada baginya janji dari Allah. Jika Dia berkehendak, maka Dia mengampuninya. Dan jika Dia berkehendak, maka Dia mengadzabnya.” ([5])
Dari Ka’b bin ‘Ujrah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ pernah keluar menemui kami, sementara kami berjumlah tujuh orang. Empat orang dari maula-maula([6]) kami dan tiga orang dari Arab([7]). Punggung-punggung kami bersandar pada masjid beliau. Kemudian beliau bersabda,
«مَا أَجْلَسُكُمْ؟»، قُلْنَا: جَلَسْنَا نَنْتَظِرُ الصَّلَاةَ، قَالَ: فَأَرَمَّ قَلِيلًا ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ، فَقَالَ: «هَلْ تَدْرُونَ مَا يَقُولُ رَبُّكُمْ؟» ، قُلْنَا: لَا، قَالَ: «فَإِنَّ رَبَّكُمْ يَقُولُ: مَنْ صَلَّى الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، وَحَافَظَ عَلَيْهَا وَلَمْ يُضَيِّعْهَا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهَا، فَلَهُ عَلَيَّ عَهْدٌ أَنْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يُصَلِّهَا لِوَقْتِهَا وَلَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهَا، فَلَا عَهْدَ لَهُ عَلَيَّ إِنْ شِئْتُ عَذَّبْتُهُ وَإِنْ شِئْتُ غَفَرْتُ لَهُ»
‘Apa yang menjadikan kalian duduk-duduk?” Kami berkata, ‘Kami duduk-duduk untuk menunggu shalat.” Dia (perawi) berkata, ‘Maka beliau diam sebentar, kemudian menemui kami lalu bersabda, ‘Tahukah kalian apa yang dikatakan oleh Rabb kalian? Kami menjawab, ‘Tidak.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Rabb kalian berfirman, ‘Barangsiapa shalat tepat pada waktunya, menjaganya, dan tidak menyia-nyiakannya karena meremehkan haknya, maka baginya janji dari-Ku untuk Aku masukkan ke dalam Sorga. Dan barangsiapa yang tidak shalat tepat pada waktunya, tidak menjaganya, menyia-nyiakannya karena meremehkan haknya, maka tidak ada baginya janji dari-Ku. Jika Aku berkehendak, maka Aku menyiksanya. Dan jika aku berkehendak, maka Aku memberikan ampunan untuknya.” ([8])
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ pernah melewati para sahabatnya pada suatu hari, kemudian beliau bersabda kepada mereka,
«هَلْ تَدْرُونَ مَا يَقُولُ رَبُّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ؟» قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، (قَالَهَا ثَلَاثًا)، قَالَ: «وَعِزَّتِي وَجَلَالِي، لَا يُصَلِّيهَا أَحَدٌ لِوَقْتِهَا إِلَّا أَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ صَلَّاهَا بِغَيْرِ وَقْتِهَا إِنْ شِئْتُ رَحْمَتُهُ، وَإِنْ شِئْتُ عَذَّبْتُهُ»
‘Tahukah kalian apa yang difirmankan oleh Rabb kalian Yang Maha Suci Lagi Maha Tinggi?” Mereka menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” (Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali) Allah ﷻ berfirman, “Demi keagungan-Ku dan kemuliaan-Ku, tidaklah seseorang shalat tepat pada waktunya, kecuali Aku masukkan dia ke dalam Sorga. Dan barangsiapa yang shalat bukan pada waktunya, maka jika Aku berkehendak, aku merahmatinya; tapi jika Aku berkehendak pula, maka Aku menyiksanya.”([9])
(bersambung)
(Dialih bahasakan oleh Muhammad Syahri dari kitab as-Shalaat Wa Atsaruhaa Fi Ziyaadatil Iimaan Wa Tahdziibin Nafsi, Syaikh Husain al-‘Awayisyah)
_____________________
Footnote:
([1]) HR. Al-Bukhari dan lainnya.
([2]) HR. Abu Ya’la dengan sanad hasan, dari Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (575)
([3]) Dari Shahiih al-Bukhari, Bab Menyia-nyiakan Shalat Dari Waktunya.
([5]) HR. Malik, Abu Dawud, dan an-Nasa-iy. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Hadits dari Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (396)
([6]) Budak yang telah dimerdekakan.
([7]) Orang yang belum pernah menjadi budak.
([8]) HR. At-Thabraniy dalam al-Kabiir dan al-Ausath, Imam Ahmad dengan semisalnya, hadits dari Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (397)
([9]) HR. At-Thabraniy dalam al-Kabiir, dan hadits dari Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (398)