Dengannya dosa-dosa akan diampuni.
- Allah ﷻ berfirman,
وَلَا يَأۡتَلِ أُوْلُواْ ٱلفَضلِ مِنكُم وَٱلسَّعَةِ أَن يُؤتُوٓاْ أُوْلِي ٱلقُربَىٰ وَٱلمَسَٰكِينَ وَٱلمُهَٰجِرِينَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۖ وَليَعفُواْ وَليَصفَحُوٓاْۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ٢٢
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang([1]).” (QS. an-Nuur (24): 22)
[Dan janganlah bersumpah] yaitu jangan bersumpah [orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada].
Adalah termasuk di antara kumpulan orang-orang yang ikut tenggelam menyiarkan (berita bohong tersebut), Misthah bin Utsaatsah, dan ia adalah kerabat dekat Abu Bakar as-Shiddiq ﷻ. Misthah adalah seorang faqir dari kalangan kaum muhajirin yang berhijrah di jalan Allah. Lalu Abu Bakar ﷻ bersumpah untuk tidak memberikan infaq kepadanya karena sebab perkataan yang telah dia katakan. Lalu turunlah ayat ini, dan melarang mereka dari sumpah yang mengandung pemutusan nafkah darinya, serta mendorongnya untuk memaafkan dan berlapang dada, serta menjanjikannya ampunan Allah jika dia mengampuninya. Seraya berfirman, [Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang], jika Engkau memperlakukan hamba-hamba-Nya dengan maaf dan lapang dada, maka Dia akan memperlakukanmu dengan yang demikian. Maka berkatalah Abu Bakar ﷻ saat mendengar ayat ini, ‘Iya, demi Allah, sesungguhnya ku benar-benar senang Allah mengampuniku.’ Kemudian dia kembali memberikan nafkah kepada Misthah.
Dan di dalam ayat ini terdapat dalil pemberian nafkah kepada kerabat dekat, dan bahwa pemberian nafkah dan berbuat baik tidaklah di tinggalkan karena sebab kemaksiatan manusia, serta anjuran untuk memaafkan dan berlapang dada sekalipun telah berlaku padanya apa yang telah berlaku dari pelaku kemaksiatan.”([2])
- Allah ﷻ berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ مِن أَزوَٰجِكُم وَأَولَٰدِكُم عَدُوًّا لَّكُم فَاحذَرُوهُمۡۚ وَإِن تَعفُواْ وَتَصفَحُواْ وَتَغفِرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ١٤
“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu([3]). Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. at-Taghaabun (64): 14)
“Ini adalah sebuah peringatan dari Allah ﷻ bagi kaum mukminin, peringatan dari tertipu oleh istri dan anak-anak. Dikarenakan sebagian mereka adalah musuh bagi kalian. Dan musuh adalah orang yang menginginkan keburukan bagimu. Sementara tugasmu adalah waspada dari orang yang seperti ini sifatnya. Dan jiwa telah diciptakan untuk mencintai istri dan anak-anak. Maka Allah ﷻ memberikan nasihat kepada hamba-hamba-Nya bahwa rasa cinta ini akan mewajibkan mereka untuk tunduk kepada tuntutan-tuntutan istri dan anak-anak, sekalipun di dalamnya terdapat perkara-perkara yang berisiko secara syar’iy, dan Allah mendorong mereka untuk melaksanakan perintah-perintah-Nya, mendahulukan keridhaan-Nya dengan pahala besar yang ada di sisi-Nya, yang mencakup segala tuntutan-tuntutan yang tinggi, dan cinta yang mahal. Dan agar mereka lebih mengutamakan akhirat daripada dunia yang fana lagi binasa.
Dan tatkala larangan dari mentaati istri dan anak-anak dalam perkara yang membahayakan seorang hamba, dan tatkala peringatan dari yang demikian kadang memberikan kesan sikap keras kepada mereka dan menghukum mereka, Allah ﷻ memerintahkan untuk berhati-hati terhadap mereka dan berlapang dada serta memaafkan mereka. Dikarenakan di dalam yang demikian terdapat kemashlahatan yang tidak mungkin membatasinya.
Maka Allah ﷻ berfirman, [dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang] dikarenakan balasan adalah dari jenis amal yang telah dikerjakan. Maka barangsiapa memberikan maaf, Allah akan memaafkannya; siapa yang berlapang dada, maka Allah berlapang dada padanya; siapa mengampuni, maka Allah akan mengampuninya; dan barangsiapa bermuamalah kepada Allah dalam perkara yang Dia cinta, maka Dia akan memperlakukan hamba-hamba-Nya sebagaimana yang mereka suka dan bermanfaat bagi mereka. Maka dia akan meraih kecintaan Allah dan kecintaan hamba-hamba-Nya, dan urusannya pun menjadi pasti.”([4])
(Diambil dari kitab Mukaffiraatu adz-Dzunuubi wal Khathaayaa Wa Asbaabul Maghfirati Minal Kitaabi Was Sunnah oleh DR. Sa’id bin ‘Aliy bin Wahf al-Qahthaniy, alih bahasa oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)
_____________________________________
Footnote:
([1]) Ayat ini berhubungan dengan sumpah Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu bahwa Dia tidak akan memberi apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri ‘Aisyah. Maka turunlah ayat ini melarang beliau melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh mema’afkan dan berlapang dada terhadap mereka sesudah mendapat hukuman atas perbuatan mereka itu. (Terjemah DEPAG RI)-pent
([2]) Lihat Taisiiru al-Kariim ar-Rahmaan, hal. 660.
([3]) Maksudnya: kadang-kadang isteri atau anak dapat menjerumuskan suami atau ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama. (Terjemah DEPAG RI)
([4]) Lihat Taisiiru al-Kariim ar-Rahmaan, hal. 1023.