عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: «ثَلَاثٌ مِنْ أَخْلَاقِ النُّبُوَّةِ: تَعْجِيْلُ الْإِفْطَارِ، وَ تَأْخِيْرُ السَّحُوْرِ، وَوَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلىَ الشِّمَالِ فِيْ الصَّلَاةِ»
Dari Abu ad-Darda` radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Tiga perkara termasuk akhlaq kenabian; mensegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dalam shalat.” (HR. at-Thabraniy dalam al-Kabiir, dan dishahihkan oleh al-Albaniy). ([1])
Di dalam hadits ini, Nabi ﷺ menyebutkan tiga amal yang para Nabi biasa melaksanakannya.
Di dalam riwayat lain milik Ibnu Hibban dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
«إِنَّا مَعْشَرَ الْأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا أَنْ نُؤَخِّرَ سَحُوْرَنَا، وَنُعَجِّلَ فِطْرَنَا، وَأَنْ نُمْسِكَ بِأَيْمَانِنَا عَلَى شَمَائِلِنَا فِيْ صَلَاتِنَا»
“Sesungguhnya kami para Nabi, kami diperintah untuk mengakhirkan makan sahur kami, mensegerakan berbuka kami, dan agar kami menahan tangan-tangan kanan kami di atas tangan-tangan kiri kami di dalam shalat kami.” ([2])
Akhlaq pertama, mensegerakan berbuka.
Nabi ﷺ telah bersabda di dalam hadits yang lain,
«لَا تَزَالُ أُمَّتِيْ عَلَى سُنَّتِيْ مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُوْمَ»
“Tiada hentinya umatku berada di atas sunnahku, selagi tidak menunggu bintang dengan berbukanya.” (HR. Ibnu Hibban di dalam Shahihnya) ([3])
Dan telah valid di dalam as-Shahiihain, dari ‘Abdullah bin Abi Aufa radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Dulu kami bersama Rasulullah ﷺ di dalam sebuah safar di dalam bulan Ramadhan. Maka tatkala matahari telah terbenam beliau bersabda,
«يَا فُلَانُ انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا». قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ عَلَيْكَ نَهَارًا. قَالَ: «انْزِلْ فَاجْدَحْ لَنَا». قَالَ: فَنَزَلَ، فَجَدَحَ، فَأَتَاهُ بِهِ، فَشَرِبَ النَّبِيُّ ﷺ ثُمَّ قَالَ -بِيَدِهِ-: «إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مِنْ هَا هُنَا، وَجَاءَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ»
“Wahai Fulan, turunlah, buatkanlah (adonan) samin (yang dicampur dengan air) untuk kami.” Maka dia berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya ada kewajiban (puasa) atas Anda pada siang hari (ini).’ Maka beliau bersabda, ‘Turunlah, buatkanlah (adonan) samin (yang dicampur dengan air) untuk kami.” Dia berkata, ‘Maka diapun turun lalu membuatkan (adonan) samin (yang dicampur dengan air). Lalu dia mendatangi beliau dengannya, lantas Nabi ﷺ pun minum, kemudian beliau bersabda sambil memberikan isyarat dengan tangan beliau, ‘Jika matahari telah terbenam dari arah sini, sementara malam telah datang dari arah sini, maka orang yang berpuasa telah berbuka.”([4])
Mensegerakan berbuka adalah keberkahan dan kebaikan.
Berdasarkan riwayat yang telah tsabit dari Sahl bin Sa’d radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
«لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ»
“Tiada hentinya manusia berada dengan kebaikan selagi mereka mensegerakan berbuka.” (HR. al-Bukhari Muslim) ([5])
Dan di antara sisi kebaikan ini adalah pahala mengikuti sunnah, yaitu sunnah memberikan kemudahan, dikarenakan mensegerakan berbuka adalah lebih meringankan orang yang berpuasa.
Dan mensegerakan berbuka adalah menyelisihi jalannya orang-orang Yahudi.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
«لَا يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لِأَنَّ الْيَهُودَ، وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ»
“Tiada hentinya agama ini dalam kemenangan selagi manusia mensegerakan berbuka; dikarenakan orang-orang Yahudi dan Nashraniy mengakhirkan (berbuka).” (HR. Abu Dawud) ([6])
Hadits ini dalah sebuah dalil akan dua faidah;
Pertama, di dalamnya terdapat bantahan terhadap orang yang membagi Islam menjadi lubb (inti) dan qusyuur (kulit); dikarenakan Nabi ﷺ menggantungkan kemenangan agama, tinggi dan kejayaannya adalah dengan sunnah. Maka Islam adalah manhaj (metodolodi) yang saling menyempurnakan; dimana Allah ﷻ memerintahkan untuk mengamalkan semuanya saat Allah menyeru hamba-hamba-Nya yang beriman dengan firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدخُلُواْ فِي ٱلسِّلمِ كَآفَّةٗ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan…” (QS. al-Baqarah (2): 208)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah ﷻ berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman, lagi membenarkan Rasul-Nya untuk mengambil keseluruhan tali-tali simpul Islam dan syari’at-syari’atnya, mengamalkan keseluruhan perintah-perintah-Nya, dan meninggalkan segala larangan-larangan-Nya semampu mereka dari yang demikian.” ([7])
Tidak ada kulit di dalam Islam, dan barangsiapa berprasangka demikian, maka dia telah berprasangka buruk kepada Allah. Dan tidaklah asing setelah itu, Anda akan mengetahui bahwa kaum muslimin di dalam suatu peperangan mendapatkan kemenangan dengan sebab pelaksanaan mereka terhadap sunnah bersiwak.
Maka yang wajib, wahai saudara-saudara yang terkasih, adalah mengagungkan sunnah Rasulullah ﷺ. Dan seandainya salah satu da’i mukhlish pada hari ini berdiri lantas berkata, ‘Sesungguhnya termasuk di antara sebab kemenangan kita terhadap orang Yahudi adalah mensegerakan berbuka’ maka pastilah manusia akan takjub. Akan tetapi jika kita membaca hadits ini, maka akan menjadi jelas bagi kita bahwa agama kita adalah manhaj yang sempurna, yang wajib bagi kita untuk konsisten dengan segenap ajarannya. Dan bahwa jika kita melakukannya, dan konsisten dengan sunnah Nabi kita, lalu kita menyelisihi musuh-musuh kita, maka kemenangan adalah milik kita. Dan bukankah agama ini tiada lain adalah sunnah ma`tsurah (sunnah yang diamalkan dan diwariskan secara turun temurun)?!
Kedua, bahwa termasuk sebab kemenangan kita terhadap orang-orang Yahudi dan Nashraniy adalah berlepas diri dari mereka, serta menyelisihi jalan mereka.
Nabi kita Muhammad ﷺ mensengajakan diri untuk menyelisihi mereka. Telah diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, bahwa orang-orang Yahudi, jika ada seorang wanita haidh di tengah mereka, maka mereka tidak akan makan bersamanya, dan tidak akan berkumpul dengannya di dalam rumah-rumah. Maka bertanyalah para sahabat Nabi ﷺ tentangnya, lalu Allah ﷻ menurunkan,
وَيَسئلُونَكَ عَنِ ٱلمَحِيضِۖ قُل هُوَ أَذٗى فَاعتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلمَحِيضِ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh…” (QS. al-Baqarah (2): 222)
Lalu bersabdalah Rasulullah ﷺ,
«اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ»
“Lakukanlah segala sesuatu kecuali nikah([8]).”([9])
Maka yang demikian ini sampai kepada orang-orang Yahudi lalu merekapun berkata, ‘Lelaki ini tidaklah menginginkan untuk meninggalkan sesuatupun dari urusan kita melainkan dia akan menyelisihi kita di dalamnya.” (HR. Ash-haabussunan)
Sunnah ini, yaitu mensegerakan berbuka, mengandung makna keberadaan berbuka itu adalah sebelum shalat maghrib. Sementara adzan adalah pengumuman masuknya waktu. maka jika waktu telah masuk, maka orang yang berpuasa boleh berbuka, sama saja dia telah mendengar adzan ataupun belum mendengarnya.
Sunnah para Nabi yang kedua adalah mengakhirkan sahur.
Telah valid di dalam as-Shahiihain dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu,
أَنَّ نَبِيَّ اللهِ ﷺ وَزَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ: «تَسَحَّرَا فَلَمَّا فَرَغَا مِنْ سَحُورِهِمَا، قَامَ نَبِيُّ اللهِ ﷺ إِلَى الصَّلاَةِ، فَصَلَّى»، قُلْنَا لِأَنَسٍ: كَمْ كَانَ بَيْنَ فَرَاغِهِمَا مِنْ سَحُورِهِمَا وَدُخُولِهِمَا فِي الصَّلاَةِ؟ قَالَ: «قَدْرُ مَا يَقْرَأُ الرَّجُلُ خَمْسِينَ آيَةً»
“Bahwa Nabi ﷺ dan Zaid bin Tsabit makan sahur (bersama), maka tatkala beliau berdua telah selesai dari sahur keduanya, berdirilah Nabi ﷺ menuju shalat, lalu beliau shalat. Kami berkata kepada Anas, ‘Berapa jarak antara selesainya mereka berdua dari sahur mereka dengan masuknya keduanya ke dalam shalat.” Maka Anas berkata, ‘Seukuran lima puluh ayat yang dibaca oleh seseorang.’ ([10])
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, ‘Adalah bangsa Arab mengukur waktu dengan perbuatan-perbuatan; seperti ucapannya, seukuran memerah susu kambing, dan seukuran menyembelih onta. Maka Zaid bin Tsabit membandingkannya dengan kadar ukuran membaca al-Qur`an; sebagai isyarat bahwa waktu itu adalah waktu yang biasa digunakan sebagai waktu ibadah dengan membaca al-Qur`an… … Ibnu Abi Hamzah berkata, ‘Di dalamnya terdapat isyarat bahwa waktu-waktu mereka ditenggelamkan dengan peribadatan. Dan di dalamnya terdapat dalil pengakhiran sahur, karena keberadaannya lebih dalam maksud dan tujuannya.” ([11])
Sunnah para Nabi yang ketiga; meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dalam shalat.
Dari Sahl bin Sa’d radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata,
«كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُونَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ اليَدَ اليُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ اليُسْرَى فِي الصَّلاَةِ»
“Adalah manusia diperintahkan agar meletakkan tangan kanan di atas lengan kiri di dalam shalat.” (HR. al-Bukhari) ([12])
Maka ini adalah petunjuk Nabi kita Muhammad ﷺ; dan petunjuk para Nabi sebelumnya, dan bukanlah menurunkan tangan di dalam shalat termasuk sunnah sama sekali.
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah, ‘Tidak pernah datang satu khilafpun dari Nabi ﷺ tentangnya; dan ia adalah pendapat jumhur dari kalangan para sahabat dan para tabi’in. Dan ialah pendapat yang disebutkan oleh Imam Malik di dalam al-Muwaththa`. Sementara Ibnul Mundzir dan selainnya tidak mengisahkannya dari Malik dan selainnya. Ibnul Qasim telah meriwayatkan riwayat mursal dari Malik. Maka jadilah mayoritas para sahabatnya berpendapat kepadanya. Dan ada riwayat pembedaan antara shalat fardhu dan shalat sunnah dari Malik. Dan ada di antara mereka yang memakruhkan menggenggamkan tangan (kanan di atas tangan kiri).
Dan Ibnu al-Hajib menukil bahwa yang demikian itu adalah dengan anggapan untuk tujuan kenyamanan. ([13])
Al-Malikiyah menyebutkan di dalam riwayat akan kesunnahan menggenggam di dalam shalat fardhu dan sunnah, dan bahwa ia adalah yang paling nyata; dikarenakan manusia dulu diperintahkan dengannya di masa-masa awal. ([14])
Dan termasuk sunnah adalah meletakkan kedua tangan di atas dada, dan meletakkan tangan kanan di atas punggung tapak tangan, pergelangan, dan lengan kiri.
Dari Waa-il bin Hujrin radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata,
لَأَنْظُرُنَّ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ﷺ كَيْفَ يُصَلِّيْ. قَالَ: فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ، قَامَ فَكَبَّرَ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ، حَتَّى حَاذَتَا أُذُنَيْهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ
‘Sungguh benar-benar aku melihat kepada Rasulullah ﷺ, bagaimana beliau shalat.’ Dia berkata, ‘Maka aku melihat kepada beliau, beliau berdiri lalu bertakbir, lalu mengangkat kedua tangan beliau hingga sejajar dengan kedua telinga beliau, kemudian beliau meletakkan tapak tangan kanan beliau di atas punggung tapak tangan, pergelangan dan lengan kiri.’ ([15])
Maka dimanakah ar-rusghu (pergelangan)? Berkata seorang penyair:
وَعَظْمٌ يَلِيْ الْإِبْهَامَ كُوْعٌ وَمَا يَلِيْ الْخِنْصَرَ الكُرْسُوْعُ وَالرُّسْغُ مَا وَسَط
وَعَظْمٌ يَلِي إبهامَ رِجْلٍ مُلَقَّـبٌ بِبُوْعٍ فَخُذْ بِالْعِلْمِ وَاحْذَرْ مِنَ الْغَلَط
Tulang setelah jempol adalah kuu’ dan yang setelah kelingking adalah kursu’, sementara ar-rusghu adalah apa yang pertengahan
Sementara tulang setelah jempol kaki disebut buu’, maka ambillah dengan ilmu dan waspadalah dari kekeliruan.
Dan yang dimaksud adalah bahwa beliau ﷺ meletakkan tapak tangan kanannya di atas tapak tangan, pergelangan dan lengan kirinya. ([16])
Dan telah valid dari beliau ﷺ bahwa kadang beliau menggenggamkan tangan kanan di atas tangan kiri.’ ([17])
(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari Kitab Tsulatsiyaat Nabawiyah, Syaikh Mihran Maahir Utsman)
_______________________
Footnote:
([1]) Lihat Shahiih al-Jaami’ (3038)-pent
([2]) HR. Ibnu Hibban (1770), dishahihkan oleh al-Albaniy dalam Shifatu as-Shalaah, Syaikh al-Arnauth berkata, ‘Shahih menurut syarat Muslim.’ Lihat Takhriij Shahiih Ibni Hibban (5/68)-pent
([3]) HR. Ibnu Khuzaimah (2061), Ibnu Hibban (3510), al-Hakim (1584), lihat Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (1074), Shahiih Mawaaridi azh-Zham-aan (738), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (29/229)-pent
([4]) HR. Muslim (1101), al-Bukhari (4991), Abu Dawud (2352), Ahmad (19414), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (29/231)-pent
([5]) HR. al-Bukhari (1856), Muslim (1098), at-Tirmidzi (699), Ibnu Majah (1697), Ahmad (22856), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (29/228)-pent
([6]) HR. Abu Dawud (2353), Ibnu Majah (1698), Ahmad (9809), Ibnu Abi Syaibah (8944), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (29/358)-pent
([7]) Tafsir al-Qur-aanil ‘Azhiim (1/565)-pent
([8]) Kalimat ini, jika yang diajak bicara adalah suami, maka yang diinginkan dengannya adalah hubungan badan, dan jika yang diajak bicara dengannya adalah selain suami, maka yang diinginkan dengannya adalah akad nikah.
([10]) HR. al-Bukhari (551), Muslim (1097), at-Tirmidzi (703), an-Nasa-iy (2157), Ahmad (12762), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (29/225)-pent
([12]) HR. al-Bukhari (707), Ahmad (22900), al-Muwaththa` (376), al-Baihaqiy (2158), al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (28/461)-pent
([13]) Fathul Baariy (2/224), Nailul Authaar (2/201)-pent
([14]) Lihat at-Taaj wa al-Ikliil (1/536) dan al-Qawaaniin al-Fiqhiyyah hal. 65.
([15]) HR. an-Nasa-iy (879), Muslim (401), Abu Dawud (726), Ibnu Majah (867), al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (25/163)-pent
([16]) Nailul Authar (2/200)-pent
([17]) Lihat Shifat Shalat Nabi i, hal 79.