Mengapa Kuburan Diziarahi?

عَنْ أَنَسْ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: «كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ، أَلَا فَزُورُوهَا؛ فَإِنَّهَا تُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ، وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا »

Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Dulu aku telah melarang kalian dari berziarah kubur, maka ketahuilah sekarang, berziarahlah kalian ke kuburan; dikarenakan ia bisa melembutkan hati, membuat mata mengalirkan air mata, serta mengingatkan akhirat, dan janganlah kalian mengatakan hujran (kata-kata yang batil([1])).” (HR. al-Hakim dengan sanad hasan) ([2])

 

Nabi ﷺ telah mensyariatkan ziarah kubur untuk tiga alasan;

 

Alasan pertama, melembutkan hati.

 

Melembutkan hati adalah perkara yang dituntut secara syar’iy, sementara hati-hati yang paling jauh dari Allah adalah hati yang keras. Dan hati yang lembut akan mudah terpengaruh dengan nasihat-nasihat syari’at lalu membawa pemiliknya untuk istiqamah di atas jalan yang lurus.

 

Untuk bisa meraih kelembutan ini, diantaranya adalah dengan berziarah kubur –sebagaimana telah dikabarkan oleh Nabi ﷺ -; ada dengan bersedekah; duduk-duduk dengan orang-orang miskin; mengusap kepala anak yatim, dan selainnya. Maka wajib bagi seseorang untuk memberikan perhatian dengan yang demikian. Dikarenakan yang demikian memiliki pengaruh yang besar di dalam mengambil manfaat dengan al-Qur`an, nasihat-nasihatnya, dan pendekatan diri kepada Allah subhaanahu wata’aalaa.

 

Alasan kedua, mengalirkan air mata.

 

Termasuk di antara perkara-perkara yang paling menakjubkan adalah bahwa Anda bisa melihat sekarang ini orang yang mengantar jenazah saudaranya dari kalangan orang-orang mukmin, dan ia berada di pekuburan sementara dia tidak terpengaruh dengannya. Bahkan ia tenggelam di dalam pembicaraan duniawi sementara jenazah sedang dikebumikan! Suaranya meninggi dengan tawa! Melalukan bisnis makelar! Maka betapa besarnya kelalaian kita!

 

Alasan ketiga, mengingatkan akhirat.

 

Haruslah selalu mengingat akhirat, dikarenakan ia adalah negeri yang kekal.

 

Sementara Nabi ﷺ telah memerintah untuk mengingat kematian dan akhirat bukan hanya pada satu hadits…

 

Beliau ﷺ bersabda,

 

« أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ»

 

“Perbanyaklah oleh kalian mengingat pemutus segala kelezatan.” (HR. at-Tirmidzi)([3])

 

Haadzim adalah qaathi’ (pemutus), dan juga diriwayatkan dengan hufur dal (د). Seakan-akan ia menjadikan kelezatan dunia adalah sebagai sebuah bangunan yang tinggi, sementara kematian meruntuhkannya.

 

Dan adalah Nabi ﷺ memerintah mereka untuk mengambil perbekalan demi akhirat.

 

Telah shahih dari al-Barra` bin ‘Aazib radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Dulu kami bersama Rasulullah ﷺ dalam (rangka mengantar) jenazah, lalu beliau duduk di pinggir (ujung) kuburan, kemudian beliau menangis hingga tanahpun basah, lantas beliau bersabda,

 

«يَا إِخْوَانِي، لِمِثْلِ هَذَا فَأَعِدُّوا»

 

“Wahai saudara-saudaraku, untuk yang semisal ini, maka bersiap-siaplah kalian.” (HR. Ibnu Majah)([4])

 

Adalah beliau ﷺ biasa mengingatkan mereka dengan kematian. Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

 

« بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ سَبْعاً: هَل تَنْتَظِرُوْنَ إِلَّا فَقْراً مُنْسِياً، أَوْ غِنًى مُطْغِياً، أَوْ مَرَضاً مُفْسِداً، أَوْ هَرَماً مُفَنِّداً، أَوْ مَوْتاً مُجْهِزاً، أَوْ الدَّجَّالَ؟! ، فَشَرُّ غَائِبٍ يُنْتَظَرُ، أَوْ السَّاعَةَ؟! فَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ»

 

“Dahuluilah oleh kalian tujuh (perkara) dengan amal-amal (shalih); tidaklah kalian menunggu melainkan kefakiran yang membuat lupa, atau kekayaan yang (membuat pemiliknya berbuat yang) melampaui batas, atau sakit yang merusak (badan), atau masa tua yang membuat pikun, atau kematian yang mendadak, atau Dajjal; sebuah keburukan ghaib yang ditunggu, atau hari kiamat; maka hari kiamat adalah (malapetaka) yang paling dahsyat lagi paling pahit (memilukan).” (HR. at-Tirmidzi) ([5])

 

Dan telah shahih bahwa beliau ﷺ memegang pundak Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma seraya bersabda,

 

«كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ» وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ , وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ»

 

“Jadilah kamu di dunia seakan-akan engkau adalah orang asing atau orang yang sekedar melewati jalan.” Dan adalah Ibnu ‘Umar dia berkata, ‘Jika engkau ada di waktu sore makan janganlah menunggu pagi, dan jika engkau berada di waktu pagi, maka janganlah menunggu waktu sore, serta ambillah bagian dari kesehatanmu untuk masa sakitmu, dan bagian dari kehidupanmu untuk kematianmu.” (HR. al-Bukhari) ([6])

 

As-Shan’aniy rahimahullah berkata –selepas menyebutkan hadits-hadits tentang berziarah kubur di dalam kitabnya, Subulussalaam 92/162)-, ‘Semuanya menunjukkan akan disyari’atkannya berziarah kubur, dan penjelasan hikmah di dalamnya adalah bahwa berziarah kubur adalah untuk mengambil pelajaran….  maka, jika ziarah kubur kosong dari pengambilan pelajaran ini, maka ia tidak diinginkan secara syar’iy.”

 

Telah shahih dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaahu ‘anhu, bahwa dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,

 

«إِنِّيْ نَهْيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا؛ فَإِنَّ فِيْهَا عِبْرَةً، [وَلَا تَقُوْلُوا مَا يُسْخِطُ الرَّبَّ]»

 

“Sesungguhnya aku dulu melarang kalian dari berziarah kubur, maka berziarahlah kalian (sekarang); dikarenakan di dalamnya terdapat pelajaran, [dan janganlah kalian mengatakan apa yang membuat Allah murka].” (HR. Ahmad , Al-Hakim, al-Bazzar. Sementara tambahan walaa taquuluu adalah miliknya sebagaimana di dalam al-Majma’ milik al-Haitsami) ([7])

 

Terdapat sejumlah perkara yang berkaitan dengan ziarah kubur…

 

Pertama, tidak mengapa menziarahi kuburan orang kafir untuk mengambil pelajaran dan mengingat akhirat. Adapun mendo’akannya, maka tidak diperbolehkan berdasarkan ijma’.

 

Kedua, hadits itu menunjukkan akan disyari’atkannya wanita berziarah kubur.

 

Dan ini adalah masalah khilafiyah, dan yang benar adalah bahwa barangsiapa menahan diri dari niyahah (meratap) dan ucapan yang bathil, maka boleh baginya (wanita) untuk berziarah kubur tanpa memperbanyaknya. Hal ini karena laknat Rasulullah ﷺ bagi wanita-wanita yang tukang berziarah kubur([8]). Dan pensyariatan ini, diambil dari empat dalil;

 

Pertama, hadits yang sedang kita jelaskan ini.

 

Al-Albaniy rahimahullah berkata, ‘Dan yang menguatkannya adalah bahwa arah pembicaraan pada sisa dari perbuatan-perbuatan yang telah disebutkan adalah pada tambahan muslim (laki-laki) pada hadits Buraidah yang telah lewat baru saja, ‘Dan aku telah melarang kalian dari daging hewan-hewan qurban lebih dari tiga hari, maka simpanlah oleh kalian apa yang nampak bagi kalian; dan dulu aku melarang kalian dari nabidz (air rendaman korma) pada kantong air, maka minumlah oleh kalian pada seluruh wadah air, dan janganlah kalian meminum yang memabukkan.’ Maka saya katakan, ‘Arah pembicaraan pada keseluruhan perbuatan ini adalah di arahkan kepada kedua jenis (laki-laki dan perempuan) secara pasti. Sebagaimana ia adalah urusan pada arah pembicaraan yang pertama, ‘Dulu aku melarang kalian…’. Maka, jika dikatakan bahwa arah pembicaraan pada sabda beliau ‘maka berziarahlah kalian’ adalah khusus untuk kaum laki-laki, maka menjadi tidak teraturlah tata bahasa ucapan dan hilanglah kelunakannya; suatu perkara yang tidak layak bagi orang yang telah diberi jawaami’il kalim (ungkapan ringkas yang bermakna dalam, padat, dan luas), dan tidak layak bagi orang yang paling fasih mengucapkan huruf dhaad ﷺ.”([9])

 

Dalil kedua, keikut sertaan kaum wanita dengan kaum laki-laki di dalam alasan yang karenanya ziarah kubur disyari’atkan, ‘Karena sesungguhnya ia bisa melembutkan hati, mengalirkan air mata, dan mengingatkan akhirat.’

 

Ketiga, dari Abullah bin Abi Mulaikah, bahwa ‘Aisyah suatu hari datang dari pekuburan. Maka akupun bertanya kepadanya,

 

يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَيْنَ أَقْبَلْتِ؟ قَالَتْ: مِنْ قَبْرِ أَخِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ، فَقُلْتُ لَهَا: أَلَيْسَ كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ نَهَى عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، ثُمَّ أَمَرَ بِزِيَارَتِهَا

 

‘Wahai ummul mukminiin, dari manakah Anda datang?’ Dia menjawab, ‘Dari kuburan ‘Abdurrahman bin Abi Bakar.’ Maka kukatakan kepadanya, ‘Bukankah Rasulullah ﷺ telah melarang dari berziarah kubur?’ maka dia menjawab, ‘Ya, kemudian beilau memerintahkan untuk menziarahinya.’ (HR. al-Hakim) ([10])

 

Keempat, diamnya Nabi ﷺ terhadap seorang wanita yang beliau lihat di sisi kuburan di dalam hadits as-Shahiihain yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallaahu ‘anhu dengan perkataannya, ‘Rasulullah ﷺ pernah melewati seorang wanita berada di sisi kuburan, sementara dia menangis.’ Maka beliau ﷺ bersabda kepadanya,

 

«اِتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِيْ». قَالَتْ: إِلَيْكَ عَنِّيْ؛ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيْبَتِيْ -وَلَمْ تَعْرِفْهُ-. فَقِيْلَ لَهَا: إِنَّهُ النَّبِيُّ ﷺ! فَأَتَتْ بَابَ النَّبِيِّ ﷺ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِيْنَ فَقَالَتْ: لَمْ أَعْرِفْكَ! فَقَالَ: «إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُوْلَى»

 

‘Bertakwalah kepada Allah, dan bersabarlah.’ Diapun menjawab ‘Pergi dariku, sesungguhnya engkau belum ditimpa musibah dengan musibah (yang menimpa)ku –dan ia tidak mengenal beliau ﷺ – maka dikatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya beliau adalah Nabi ﷺ.! Maka diapun mendatangi pintu Nabi ﷺ, dan ia tidak menemukan di sisinya para penjaga pintu, lantas dia berkata, ‘Sesungguhnya saya tadi tidak mengenal Anda.’ Maka beliau ﷺ bersabda, ‘Sesungguhnya kesabaran itu adalah ada pada sisi hantaman yang pertama.”([11])

 

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah([12]), ‘Sumber pendalilan darinya adalah bahwa beliau ﷺ tidak mengingkari wanita tersebut dan duduknya dia di sisi kuburan. Sementara diamnya beliau adalah hujjah.’

 

Al-‘Ainiy rahimahullah([13]) berkata, ‘Dan di dalamnya terdapat kebolehan berziarah kubur secara mutlak, sama saja yang berziarah itu adalah laki-laki ataupun perempuan; sama saja yang diziarahi itu adalah seorang muslim ataupun orang kafir.”

 

Al-Albaniy rahimahullah([14]) berkata, ‘Apa yang ditunjukkan oleh hadits ini, berupa kebolehan berziarah kubur bagi wanita adalah perkara yang dituju dengan bergegas dari hadits tersebut. Akan tetapi yang demikian itu hanya akan menjadi sempurna jika kisah tersebut tidak terjadi sebelum larangan, dan inilah yang nyata. Jika kita mengingat-ingat apa yang telah kami sebutkan sebelumnya berupa penjelasan bahwa larangan tersebut berada di Makkah, dan bahwa kisah yang diriwayatkan oleh Anas sementara dia adalah penduduk Madinah; Ibunya, Ummu Sulaim, datang dengannya kepada Nabi ﷺ, saat beliau datang di Madinah, sedang anas saat itu berusia sepuluh tahun. Maka jadilah kisah tersebut adalah kisah Madinah. Maka menjadi tetaplah bahwa ia datang setelah larangan. Maka sempurnalah pendalilan dengannya diatas hukum boleh.

 

Adapun ucapan Ibnul Qayyim di dalam Tahdziibu as-Sunan (4/350), ‘Dan taqwa kepada Allah adalah mengerjakan apa yang Dia perintahkan, dan meninggalkan apa yang telah beliau larang darinya; dan termasuk bagian dari larangan tersebut adalah berziarah kubur.’ maka ucapan itu benar seandainya di sisi wanita tersebut terdapat ilmu akan larangan bagi kaum wanita dari berziarah kubur, dan bahwa ia terus menerus ada dan belum di nasakh. Maka saat itu, menjadi kuatlah perkataannya, ‘dan termasuk bagian dari larangan tersebut adalah berziarah kubur’. Adapun ini, maka ia tidak diketahui di sisi kami, maka ia adalah pendalilan yang tidak benar. Dan yang menguatkannya adalah seandainya larangan Nabi ﷺ terus ada (berlaku), maka pastilah Nabi ﷺ akan melarangnya dari berziarah dengan terang-terangan, dan menjelaskan yang demikian untuknya. Serta tidak cukup dengan memerintahnya untuk bertaqwa kepada Allah dengan bentuk umum. Dan ini adalah nyata insyaallaah ta’aalaa.”

 

Diantara faidah dari hadits ini adalah, bahwa termasuk adab-adab berziarah kubur adalah tidak berbicara yang batil.

 

Dan ini mencakup niyahah; dan mencakup yang lebih besar dari segala sisi yaitu mensekutukan Allah; seperti menyeru (memanggil) si mayit, beristighatsah (memohon pertolongan) kepadanya, serta berdo’a kepadanya dari selain Allah. Ini, wal’iyaadzu billaah adalah dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah subhaanahu wata’aalaa. Dan termasuk di antara sebesar-besarnya kebatilan adalah thawaf di kuburan, bertabarruk dengan tanahnya, serya menyangka bahwa beribadah di sisinya memiliki suatu keistimewaan. Dan akan lewat bersama kita, bahwa kuburan bukanlah tempat untuk mendirikan ibadah-ibadah, dan pembacaan ayat-ayat.

 

An-Nawawiy rahimahullah berkata, ‘al-Hujru adalah ucapan bathil. Larangan itu di awalnya adalah karena dekatnya masa mereka dengan masa jahiliyah. Dan barangkali mereka biasa berbicara dengan ucapan-ucapan jahiliyah yang bathil. Maka tatkala dasar-dasar Islam telah kokoh, hukum-hukumnya telah menjadi terbentang, dan karakteristiknya telah menjadi masyhur, dibolehkanlah ziarah kubur bagi mereka. Dan Nabi ﷺ mengambil tindakan pencegahan dengan sabda beliau, ‘Janganlah kalian mengatakan kebatilan.’ ([15])

 

([1]) al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Imam Nawawi (5/310)-pent

([2]) HR. al-Hakim (1385), Muslim (977), al-Baihaqiy (6990), at-Tirmidzi (1054), lihat Shahiih al-Jaami’ (4584), Ahkaamul Janaa-iz (hal. 180), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (29/134)-pent

([3]) HR. at-Tirmidzi (2307), an-Nasa-iy (2/73), at-Thabraniy dalam al-Ausath (8560), Shahiih al-Jaami’ (1211), Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (3333), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (2/73)-pent

([4]) HR. Ibnu Majah (4195), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (1/263)-pent

([5]) HR. at-Tirmidzi (2306), al-‘Uqailiy dalam ad-Dhu’afaa` (1/215), Ibnu ‘Adiy dalam al-Kaamil (6/2434), Ibnul Jauziy dalam al-Masyiikhah (197-198), didha’ifkan oleh as-Syaikh Abu Ishhaaq al-Huwainiy dalam  an-Naafilan fii al-Ahaadiits ad-Dha’iifah wa al-Baathilah (1/22, Syamilah), juga didha’ifkan oleh al-Albaniy dalam ad-Dha’iifah (1666) dan Dha’iif al-Jaami’ (2315)-pent

([6]) HR. al-Bukhari (6053), at-Tirmidzi (2333), Ahmad (2156), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (10/374)-pent

([7]) HR. Ahmad (3/38, 63, 66), al-Hakim (1/374-375), al-Baihaqiy (4/77) kemudian berkata, ‘Shahiih menurut syarat Muslim) dan disetujui oleh adz-Dzahabiy; al-Bazzar juga dengan tambahan adalah miliknya sebagaimana di dalam Majma’ al-Haitsami (3/58) dan berkata, ‘Dan sanadnya, maka para perawinya adalah perawi shahih.’ Lihat Ahkaamul Janaa-iz (1/179)-pent

([8]) Adapun riwayat laknat Nabi ﷺ kepada wanita yang berziarah kubur, maka riwayat itu tidak shahih. Lihat Ahkaamul Janaa-iz milik al-Albaniy rahimahullah, hal. 186.

([9]) Ahkaamul Janaa-iz, hal. 180, dan sungguh aku telah menyebutkan dalil-dalil tersebut darinya.

([10]) HR. al-Hakim (1392), Abu Ya’la (4871), al-Baihaqiy (6999), Ibnu Majah (1570), dishahihkan oleh al-Albaniy dalam al-Irwaa` (775), dan Ahkaamul Janaa-iz, hal. 181. Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (29/138)-pent

([11]) HR. al-Bukhari (1223), Muslim (926), Abu Dawud (3124), at-Tirmidzi (988), an-Nasa`iy (1869), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (10/92)-pent

([12]) Fathul Baariy (3/148)

([13]) al-‘Umdah (3/76)

([14]) Ahkaamul Janaa-iz hal. 184

([15]) al-Majmu’ (5/310)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *