Kesalahan Khusus Berkaitan Dengan Shalat Tarawih (23-24)

23. Shalat malam, atau tarawih berjama’ah pada malam hari raya.

 

Tidak shahih berjama’ah untuk shalat malam kecuali pada malam-malam Ramadhan, yaitu yang dikenal dengan shalat tarawih. Maka jika hilal bulan Syawal telah muncul, maka shalat tarawihpun berhenti, dan masing-masing individu shalat sendirian, atau bersama keluarga di dalam rumahnya.

 

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hukum shalat tarawih di malam hari raya.

 

Maka beliau rahimahullah menjawab, ‘Jika hilal telah tetap pada malam ketiga puluh ramadhan, maka tidak dilakukan shalat tarawih, tidak juga qiyamullail([1]); yang demikian itu dikarenakan shalat tarawih dan qiyamullail (secara berjama’ah) hanya ada pada bulan Ramadhan. Maka, jika telah tetap keluarnya bulan Ramadhan, maka ia tidak didirikan, lalu manusiapun berpindah dari masjid-masjid mereka menuju rumah-rumah mereka.

 

Peringatan:

 

Diantara manusia ada yang sengaja mendirikan shalat malam pada malam hari raya dengan bersandar pada hadits-hadits palsu; diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh at-Thabraniy dari ‘Ubadah bin as-Shamit radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

 

مَنْ أَحْيَا لَيْلَةَ الْفِطْرِ وَلَيْلَةَ الْأَضْحَى لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ

 

“Barangsiapa menghidupkan malam hari raya Idul Fithri dan malam hari raya idul Adhha, maka hatinya tidak akan mati pada hari hati-hati mati.” (Hadits maudhu’, lihat Dha’iif al-Jaami’ (5361))

 

Ibnu Majah mengeluarkan hadits dari Abu Umamah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda,

 

مَنْ قَامَ لَيْلَتَيْ الْعِيْدَيْنِ مُحْتَسِباً لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ

 

“Barangsiapa mendirikan dua malam hari raya seraya berharap pahala, maka hatinya tidak akan mati pada hari hati-hati mati.” (Hadits dha’if, lihat Dha’iif al-Jaami’ (5742))

 

Abu al-Qasim al-Ashbahaniy mengeluarkan hadits di dalam kitab at-Targhiib wa at-Tarhiib dengan sanadnya dari Mu’adz bin Jabal radhiyallaahu ‘anhu secara marfu’,

 

مَنْ أَحْيَا اللَّيَالِيْ الْخَمْسَ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ: التَّرْوِيَةَ، وَلَيْلَةَ عَرَفَةَ، وَلَيْلَةَ النَّحْرِ، وَلَيْلَةَ الْفِطْرِ، وَلَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ

 

“Barangsiapa menghidupkan malam-malam yang lima, maka wajib baginya sorga; tarwiyah, malam ‘Arafah, malam Idul Adha, malam Idul Fitri, dan malam nisfhu sya’ban.” (Hadits maudhu’, lihat Dha’iif al-Jaami’ (5451))

 

Seluruh hadits-hadits ini tidak shahih. Maka Anda akan melihat ia tidak mendirikan shalat malam kemudian mensengaja mendirikannya pada malam-malam ini, atau ia termasuk orang yang mendirikan malam, akan tetapi dia mendirikan malam-malam tersebut dengan niat ini; maka ini semua adalah sebuah kesalahan. Dikarenakan hadits-hadits yang ada di dalamnya tidaklah shahih.

 

24. Meninggalkan shalat malam setelah Ramadhan

 

Di antara manusia di bulan Ramadhan ia menghadapi shalat tarawih dan shalat malam dengan kemauan kuat dan giat, dia merutinkannya sepanjang hari-hari di dalam bulan Ramadhan, akan tetapi Anda akan mendapatinya berhenti dari shalat malam bersamaan dengan munculnya hilal bulan Syawal.

 

Maka orang ini, kita katakan kepadanya seperti yang dikatakan oleh Nabi ﷺ kepada ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma,

 

يَا عَبْدَ اللهِ، لَا تَكُنْ مِثْلَ فُلَانٍ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ، فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

 

“Wahai Abdullah, janganlah kamu seperti si Fulan, dulu dia biasa shalat malam, lalu dia tinggalkan shalat malam.” (HR. al-Bukhari Muslim) ([2])

 

Seseorang haruslah menjaga shalat malam hingga ia terbiasa melakukan kebaikan, dan ia menjadi watak dan prilaku baginya, sebagaimana dikatakan oleh al-Habiib an-Nabiy ﷺ, dan hadits ada pada Ibnu Majah,

 

الْخَيْرُ عَادَةٌ

 

“Kebaikan itu adalah sebuah kebiasaan.” ([3])

 

Saya tambahkan kepada hal ini, yaitu bahwa menjaganya, dan melanggengkannya sekalipun sedikit adalah termasuk bagian dari amal-amal yang dicintai oleh Allah subhaanahu wata’aalaa. Sebagaimana datang dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim,

 

فَإِنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهَا، وَإِنْ قَلَّ

 

“Maka sesungguhnya amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling langgeng sekalipun sedikit.” ([4])

 

Lihatlah kepada ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, sementara dia berkata, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim,

 

مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً

 

“Tidak pernah Rasulullah ﷺ menambah di dalam Ramadhan, tidak juga diselainnya lebih dari sebelas rakaat.” ([5])

 

Penguatnya adalah ‘di dalam Ramadhan, tidak juga diselainnya’, yaitu bahwa beliau melanggengkan shalat malam –semoga shalawat serta salam tercurah kepada sebaik-baik makhluk-.

 

Pembicaraan ini masih akan berlanjut insyaallah bersama dengan Kesalahan-kesalahan yang para imam biasa terjerumus di dalamnya pada qiyamullail dan shalat tarawih.

 

(Diambil dari kitab Akhthoo-unaa Fii Ramadhaan, Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)

___________________________________

 

Footnote:

([1]) Yang dimaksud oleh Syaikh rahimahullah adalah bahwa ia tidak didirikan dalam keadaan berjama’ah. Jika tidak, maka sesungguhnya shalat malam tetap disyariatkan di dalam Ramadhan, dan selain bulan Ramadhan dihari-hari sepanjang tahun.

([2]) HR. al-Bukhari (1101), Muslim (1159), an-Nasa`iy (1763), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (8/118)-pent

([3]) HR. Ibnu Majah (221), lihat Shahiih al-Jaami (3348), as-Shahiihah (651), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (4/41)-pent

([4]) HR. al-Bukhari (6099), Muslim (2818), Ibnu Majah (4240), Ahmad (24985), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (8/107)-pent

([5]) HR. al-Bukhari (1909), Muslim (738)-pent

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *