15. Mengada-adakan dzikir bid’ah di antara setiap dua rakaat
Sungguh telah menyebar di antara banyak kaum muslimin yang shalat tarawih, dzikir-dzikir (yang mereka ada-adakan) di antara setiap dua rakaat; diantaranya adalah ucapan para penyeru, ashshalaatu wassalaamu ‘alaika yaa awwala khalqillaah (shalawat serta salam semoga tercurah kepadamu wahai makhluk Allah yang pertama), serta meninggikan suara setelah setiap dua rakaat dari shalat tarawih dengan ucapan semacam, shalaatul qiyaam atsaabakumullaah, washshaalaatu yarhamukumullaah, bertahlil setelah setiap kali jeda shalat, bertaradhdhi (mengucapkan radhiyallaahu ‘anhu) setelah rakaat pertama terhadap Abu Bakar as-Shiddiq, setelah yang kedua kepada ‘Umar, setelah yang ketiga kepada ‘Utsman, dan setelah yang keempat kepada ‘Aliy radhiyallaahu ‘anhum, atau membaca surat al-Ikhlash tiga kali setelah setiap dua rakaat.
Semua itu tidak memiliki asal usul, dan syari’atpun tidak pernah menyebutkannya. Bahkan di dalamnya terdapat perbuatan yang membuat ribut di dalam rumah-rumah Allah, dan pengacauan kepada orang-orang yang sedang beribadah kepada Allah.
Ibnul Haaj rahimahullah berkata, ‘Selayaknya baginya (yaitu bagi imam masjid) untuk menjauhi apa yang mereka buat-buat baru tersebut; yang berupa dzikir-dzikir setelah setiap dua salam dari shalat tarawih; juga yang berupa peninggian suara-suara mereka dengannya dan melakukannya di atas satu suara; dikarenakan semua itu adalah bagian dari bid’ah.
Demikian juga dilarang dari ucapan para penyeru setiap dua salam dari shalat tarawih, ashshalaatu yarhamukumullaah, dikarenakan ia adalah juga perkara baru, dan perkara baru dalam urusan agama adalah terlarang. Sementara sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk penghulu kita Muhammad ﷺ, kemudian para Khalifah sepeninggal beliau, kemudian para sahabat, dan tidak ada seorangpun dari kalangan salaf yang melakukan demikian. Maka hendaknya apa yang mencukupi mereka juga mencukupi kita.’ (al-Madkhal, 2/145)
16. Membaca seluruh ayat do’a di dalam al-Qur`an.
Yaitu menyebut satu persatu keseluruhan ayat-ayat do’a di akhir rakaat dari shalat tarawih pada malam khataman setelah membaca surat an-Naas.
Maka semua ini adalah termasuk perbuatan bid’ah yang Allah dan Rasul-Nya tidak mengizinkannya, bahkan ia adalah bagian dari bikinan manusia. (Lihat al-Baa’its ‘Alaa Inkaari al-Bida’i wa al-Hawaaditsi milik Abu Syaamah, hal. 76)
17. Meninggalkan masjid sebelum imam berwitir
Banyak di antara manusia, jika salah seorang dari mereka shalat tarawih di dalam masjid, dan di dalam niatnya adalah akan bertahajjud di akhir malam. Lalu dia shalat tarawih semuanya di belakang imam. Lalu jika sang imam ingin shalat witir, dia pergi dan meninggalkan imam… maka ini adalah sebuah kesalahan. Dikarenakan dengan yang demikian, dia telah mengharamkan dirinya dari kebaikan yang telah diberitakan oleh Nabi ﷺ tentangnya, yaitu saat beliau bersabda,
مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Barangsiapa berdiri shalat bersama dengan imam hingga ia selesai, maka dituliskan untuk shalat sepanjang malam.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`iy, Ibnu Majah, tersebut di dalam Shahiih al-Jaami’ (1615))([1])
Yang benar adalah shalat di belakang imam hingga imam witir, sekalipun di dalam niatnya dia ingin bangun malam shalat tahajjud.
Imam Ahmad rahimahullah berkata, ‘Shalat bersama imam dan witir bersamanya membuatku takjub.’
18. Merasa berat dari duduk di dalam shalat tarawih, atau saat tahajjud
Maka kita katakan kepada orang-orang yang memiliki udzur, dan bagi orang-orang yang berdiri shalat memberatkan mereka, ‘Ketahuilah bahwa duduk di dalam shalat tarawih dan berdiri di dalamnya adalah dibolehkan karena suatu udzur atau untuk selain udzur. Akan tetapi jika shalat sambil duduk tanpa udzur maka pahalanya adalah separuh orang yang shalat sambil berdiri.
Yang demikian itu berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh al-Bukhari bahwa Nabi ﷺ bersabda,
«مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَاعِدِ»
“Barangsiapa shalat sambil berdiri, maka itu lebih utama, dan barangsiapa shalat sambil duduk, maka baginya setengah pahala orang yang shalat sambil berdiri, dan barangsiapa shalat sambil berbaring, maka baginya setengah pahala orang yang shalat sambil duduk.” ([2])
Dua peringatan:
- Hadits ini khusus berlaku bagi shalat sunnah. Adapun shalat fardhu, maka selayaknya bagi yang shalat untuk tidak duduk di dalamnya kecuali saat tidak memiliki kemampuan untuk berdiri.
- Termasuk di antara kekhususan Nabi ﷺ adalah bahwa pahala beliau tidak berkurang jika shalat sunnah dalam keadaan duduk sekalipun tanpa udzur.
Yang demikian itu berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dari ‘Abdillah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma, dia berkata, ‘Telah diceritakan kepadaku bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda,
«صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلَاةِ»، قَالَ: فَأَتَيْتُهُ، فَوَجَدْتُهُ يُصَلِّي جَالِسًا، فَوَضَعْتُ يَدِي عَلَى رَأْسِهِ، فَقَالَ: «مَا لَكَ؟ يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو» قُلْتُ: حُدِّثْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَنَّكَ قُلْتَ: «صَلَاةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا عَلَى نِصْفِ الصَّلَاةِ»، وَأَنْتَ تُصَلِّي قَاعِدًا، قَالَ: «أَجَلْ، وَلَكِنِّي لَسْتُ كَأَحَدٍ مِنْكُمْ»
“Shalatnya seseorang dalam keadaan duduk adalah separuh shalat.’ Dia berkata, ‘Lalu saya mendatangi beliau, dan saya temukan beliau shalat dalam keadaan duduk, maka saya letakkan tangan saya ke atas kepala saya. Kemudian beliau bersabda, ‘Ada apa denganmu wahai ‘Abdullah bin ‘Amr?’ Maka saya berkata, ‘Telah diceritakan kepada saya ya Rasulullah, bahwa Anda telah bersabda, ‘Shalat seseorang dalam keadaan duduk adalah berada di atas setengah shalat, sementara Anda shalat dalam keadaan duduk.’ Maka beliau ﷺ bersabda, ‘Tentu (benar), akan tetapi aku tidak seperti seorangpun di antara kalian.”([3])
Adapun orang yang shalat sambil duduk karena udzur, maka baginya pahala yang sempurna insyaallaah.
Yang demikian berdasarkan hadits yang telah dikeluarkan oleh al-Bukhari bahwa Nabi ﷺ bersabda,
«إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا»
“Jika seorang hamba sakit, atau bepergian, maka dituliskan untuknya apa yang biasa dia amalkan dalam keadaan sehat lagi mukim.” ([4])
(Diambil dari kitab Akhthoo-unaa Fii Ramadhaan, Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)
___________________________________
Footnote:
([1]) HR. at-Tirmidi (806), Ibnu majah (1327), Abu Dawud (1375), an-Nasa-iy (1364), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (27/8)-pent
([2]) HR. al-Bukhari (1064,1065), at-Tirmidzi (371), an-Nasa`iy (1660), Abu Dawud (951), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (25/168)-pent
([3]) HR. Muslim (735), Abu Dawud (950), Ahmad (6894), ‘Abdurrazzaq (4123), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (2/36)-pent
([4]) HR. al-Bukhari (2834), Ahmad (19768), Abu Dawud (3091), Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (10805), Syaikh al-Arnauth berkata, ‘Sanadnya shahih.’ Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (4/316)-pent