14. Mengingkari orang yang menambah shalat tarawih lebih dari sebelas rakaat.
Tidak selayaknya bagi kita untuk berlebih-lebihan ataupun melalaikan. Maka sebagian manusia berlebih-lebihan dari sisi konsisten dengan sunnah di dalam jumlah, lalu berkata, ‘Tidak boleh menambah lebih dari apa yang telah datang di dalam sunnah’ lalu melakukan pengingkaran dengan sekeras-kerasnya pengingkaran kepada orang yang menambah lebih dari itu, lantas berkata, ‘Dia berdosa, lagi bermaksiat.’
Maka ini, tidak diragukan lagi adalah sebuah kesalahan. Bagaimana ia menjadi seorang yang berbuat dosa lagi bermaksiat sementara Nabi ﷺ pernah ditanya tentang shalat malam lalu beliau menjawab,
مَثْنَى مَثْنَى
“Dua (rakaat) dua (rakaat).” (al-Bukhari Muslim)([1])
Dan beliau tidak memberikan batasan dengan jumlah.
Dan termasuk perkara yang telah diketahui bahwa orang yang bertanya kepada beliau tentang shalat malam tidak mengetahui jumlahnya. Dikarenakan orang yang tidak mengetahui tata cara, maka ketidak tahuannya akan jumlah adalah lebih utama lagi. Dan ia bukanlah termasuk orang yang berkhidmah melayani Rasulullah ﷺ hingga kita katakan sesungguhnya ia mengetahui apa yang terjadi di dalam rumah beliau ﷺ. Maka jika Nabi ﷺ menjelaskan kepadanya tata cara shalat tanpa memberikan batasan dengan jumlah, maka diketahui bahwa perkara tersebut adalah luas. Dan bahwa boleh bagi seseorang untuk shalat dengan seratus rakaat lalu witir dengan satu rakaat.
Dan adapun sabda beliau ﷺ,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّيْ
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. al-Bukhari)([2])
Maka ini tidaklah berada di atas keumumannya sekalipun menurut mereka. Oleh karena itulah mereka tidak mewajibkan manusia untuk berwitir sekali dengan lima rakaat langsung, sekali dengan tujuh rakaat langsung, dan sekali dengan sembilan rakaat langsung. Dan seandainya kita mengambil dengan keumumannya maka pastilah kita akan berkata, ‘Wajib berwitir sekali dengan lima rakaat langsung, dan sekali waktu dengan tujuh rakaat, dan sekali waktu dengan sembilan rakaat sekaligus.’ Yang dimaksud dengan sabda beliau, ‘Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat’ adalah tiada lain di dalam masalah kaifiyah (tata cara). Adapun di dalam masalah jumlah, maka tidak, kecuali apa yang telah dibatasi oleh nash.
Atas dasar semua itu, selayaknya bagi seseorang untuk tidak menekan manusia di dalam perkara yang luas. Hingga kita pernah melihat seseorang dari saudara-saudaraka kita yang bersikeras di dalam masalah ini membid’ah-bid’ahkan para imam yang menambah lebih dari sebelah rakaat, serta keluar dari masjid hingga kehilangan pahala yang dikatakan oleh Rasulullah ﷺ,
مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Barangsiapa berdiri shalat bersama dengan imam hingga ia selesai, maka dituliskan untuk shalat sepanjang malam.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasaiy, Ibnu Majah, dan ia adalah di dalam Shahiih al-Jami’ (1615))([3])
Dan kadang mereka duduk jika mereka telah shalat sepuluh rakaat, lalu shaf pun terputus dengan sebab duduk mereka. Dan barangkali kadang mereka berbicara lalu menganggu orang-orang yang sedang shalat. Dan semua ini adalah termasuk kesalahan.
Dan kita tidak ragu bahwa mereka menginginkan kebaikan, dan bahwa mereka berijtihad, akan tetapi tidak setiap orang yang berijtihad itu benar.’ (as-Syarhu al-Mumti’ (4/53))
Jumhur ‘ulama dari kalangan salaf maupun khalaf berpendapat bolehnya menambah lebih dari jumlah ini, bersamaan dengan ucapan mereka bahwa jumlah itu disunnahkan.
Oleh karenanya, al-Qadhiy ‘Iyadh rahimahullah berkata, ‘Dan tidak ada perselisihan bahwa tidak ada di dalamnya batasan yang tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi darinya. Dan bahwa shalat malam termasuk diantara ketaatan-ketaatan yang setiap kali bertambah di dalamnya, maka bertambah pula pahalanya. Akan tetapi perselisihannya adalah tentang perbuatan Nabi ﷺ, dan apa yang beliau pilih untuk diri beliau sendiri. Wallahu a’lam.’ Selesai.
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata di dalam at-Tamhiid, ‘Maka tidak ada perselisihan di antara kaum muslimin bahwa shalat malam tidak ada batasan yang dibatasi di dalamnya. Dan bahwa ia adalah ibadah sunnah, perbuatan baik, dan amal kebaikan. Maka siapa yang menghendaki dia boleh mempersedikitnya, dan siapa yang mau, maka boleh baginya untuk memperbanyaknya.’ Selesai.
Di antara dalil yang menunjukkan akan keabsahan madzhab ini adalah sebagai berikut,
Pertama, sabda beliau ﷺ,
صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
“Shalat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), maka jika engkau khawatir subuh, maka witirlah dengan satu (rakaat).” (HR. al-Bukhari Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma)([4])
Kedua, sabda beliau ﷺ kepada Rabi’ah bin Malik al-Aslamiy radhiyallaahu ‘anhu,
أَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُوْدِ
“Bantulah aku atas dirimu dengan banyak sujud.” (HR. Muslim)([5])
Ketiga, sabda beliau ﷺ,
إِنَّكَ لَا تَسْجُدُ للهِ سَجْدَةً، إِلَّا رَفَعَكَ اللهُ بِهَا دَرَجَةً، وَحَطَّ بِهَا عَنْكَ خَطِيئَةً
“Sesungguhnya tidaklah engkau sujud sekali karena Allah, melainkan dengannya Allah akan angkat derajatmu, dan menghapus satu kesalahan darimu.” (HR. Muslim) ([6])
Keempat, bahwasanya pilihan Nabi ﷺ untuk diri beliau dengan jumlah ini tidaklah bisa menjadi pengkhususan karena adanya dalil-dalil yang sebelumnya; yang demikian itu karena beberapa perkara;
- Dikarenakan perbuatan beliau tidaklah mengkhususkan sabda beliau ﷺ sebagaimana hal ini telah diakui di dalam ilmu ushul.
- Bahwa Nabi ﷺ tidak pernah melarang menambah lebih dari sebelas rakaat, bahkan telah menentukan untuk kita shalat malam yang paling dicintai oleh Allah adalah shalat malamnya Dawud ‘alaihissalaam yaitu sepertiga malam.
Oleh karenanya Syaikhul Islam berkata (22/272-273), ‘Nabi ﷺ tidak pernah memberikan batasan pada qiyam Ramadhan dengan satu jumlah tertentu, bahkan beliau ﷺ tidak pernah menambah di dalam Ramadhan tidak juga di selain Ramadhan lebih dari tiga belas rakaat. Akan tetapi beliau kala itu biasa memanjangkan rakaat-rakaat tersebut… dan barangsiapa menyangka bahwa pada qiyam Ramadhan terdapat jumlah yang telah ditetapkan dari Nabi ﷺ, yang tidak boleh ditambah, tidak juga dikurangi, maka sungguh dia telah keliru…’ selesai.
3. Bahwasannya Nabi ﷺ tidak pernah memerintah dengan jumlah ini dari shalat malam. Dan seandainya dipaksa bahwa beliau memerintahnya –dan ini tidak ada seorangpun yang mengatakannya- maka tidak layak juga untuk mengkhususkan keumuman dalil-dalil yang terdahulu, dikarenakan telah dirumuskan di dalam ilmu ushul bahwa perkara yang umum tidak bisa dikhususkan oleh salah satu dari bagian-bagian tunggalnya kecuali saat ada kontradiksi.
Kelima, Bahwasannya orang yang ingin menetapi sunnah Nabi ﷺ, maka sesungguhnya hal itu mengharuskannya untuk menetapinya baik jumlah, tata cara, kuantitas dan kualitas. Dan sungguh telah kami sebutkan sifat panjangnya shalat Nabi ﷺ pada waktu shalat malam sementara beliau shalat dengan jumlah rakaat ini.
Dan orang yang memperhatikan ayat-ayat yang datang tentang keutamaan shalat malam, dia akan mendapati bahwa yang disandarkan di dalamnya adalah masa lamanya shalat malam. Maka, jika seseorang yang ingin menetapi sunnah tidak mampu melakukan pemanjangan shalat ini –terutama jika dia shalat mengimami manusia- maka apakah kita akan melarang dia dari menambah jumlah rakaat agar menjadi lebih ringan baginya dan orang yang dibelakangnya dan lebih membantunya untuk menghidupkan sepertiga malam?!!
Dan apakah orang yang shalat dengan sebelas rakaat dalam satu jam lebih afdhal daripada orang yang shalat dua puluh rakaat, atau lebih, atau sedikit dalam empat jam?!!
Iya, tidak ada khilaf bahwa seandainya ia bisa menetapi sunnah dalam jumlah dan waktu secara bersamaan maka lebih utama, dan jika tidak, maka sesuai dengan apa yang mudah baginya.
Keenam, telah shahih di dalam Mushannaf ‘Abdirrazzaaq dengan sanad shahih bahwa ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu telah mengumpulkan manusia pada qiyam Ramadhan pada Ubay bin Ka’b dan Tamim ad-Daariy (sebagai imam mereka) di atas sebelas rakaat, dan dulu mereka membacanya dengan ratusan ayat, lalu mereka bubar (dari tarawih) pada saat mendekati terbitnya fajar.’ (Shahiih Fiqih as-Sunnah (1/414-416) dengan penyesuaian)
As-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang shalat di belakang imam yang menambah lebih dari sebelas rakaat, maka apakah dia menetapi imam atau pergi jika imam telah menyelesaikan sebelas rakaat?
Maka beliau menjawab, ‘Yang sunnah adalah menetapi imam, dikarenakan jika dia pergi sebelum selesainya imam, maka dia tidak mendapatkan pahala shalat sepanjang malam, sementara Rasulullah ﷺ telah bersabda di dalam hadits yang telah dikeluarkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi,
مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Barangsiapa berdiri shalat bersama dengan imam hingga ia selesai, maka dituliskan untuk shalat sepanjang malam.” ([7])
Beliau bersabda demikian adalah dalam rangka mendorong kita untuk menjaga diri agar selalu tetap tinggal bersama imam hingga imam selesai.
Sesungguhnya para sahabat radhiyallaahu ‘anhum mereka tetap menetapi imam di dalam perkara yang lebih dari yang disyariatkan di dalam satu shalat. Yang demikian itu adalah bersama Amiirul Mukminiin ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anhu saat beliau menyempurnakan shalat di Mina dalam ibadah haji, yaitu beliau shalat empat rakaat, padahal Nabi ﷺ menshalatinya dengan dua rakaat. Demikian juga Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman di awal kekhilafahan beliau hingga berlalu delapan tahun, kemudian ‘Utsman radhiyallaahu ‘anhu menshalatinya empat rakaat setelahnya, dan para sahabatpun mengingkarinya. Sekalipun demikian mereka tetap mengikutinya, dan shalat bersamanya empat rakaat.
Maka jika ini adalah petunjuk para sahabat, yaitu perhatian untuk mengikuti imam, maka ada apa gerangan dengan sebagian manusia jika ia melihat imam menambah lebih dari jumlah yang dulu Nabi ﷺ tidak menambahnya lebih darinya, yaitu sebelas rakaat, mereka pergi di tengah-tengah shalat?! Sebagaimana kami saksikan sebagian manusia di Masjidil Haram, mereka pergi sebelum imam dengan alasan bahwa yang disyariatkan adalah sebelas rakaat. Selesai.
(Diambil dari kitab Akhthoo-unaa Fii Ramadhaan, Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)
___________________________________
Footnote:
([1]) HR. al-Bukhari (946) Muslim (749), an-Nasa`iy (1665), Abu Dawud (1326), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (27/62)-pent
([2]) HR. al-Bukhari (605), Ibnu Khuzaimah (397), Ibnu Hibban (1658), al-Baihaqiy (3672), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (25/246)-pent
([3]) HR. at-Tirmidi (806), Ibnu majah (1327), Abu Dawud (1375), an-Nasa-iy (1364), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (27/8)-pent
([4]) HR. al-Bukhari (461, 946, 948, 950, 1086), Muslim (749)-pent
([5]) HR. Muslim (489), Abu Dawud (1320), an-Nasa1iy (2/227)-pent
([6]) HR. Ibnu Majah (1422), Ahmad (15566), Shahiih al-Jaami’ (4045), as-Shahiihah (1937), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (7/25)-pent
([7]) HR. at-Tirmidi (806), Ibnu majah (1327), Abu Dawud (1375), an-Nasa-iy (1364), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (27/8)-pent