13. Keyakinan sebagian mereka bahwa shalat tarawih berjama’ah adalah sunnah ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu dan bukanlah sunnah Nabi ﷺ.
Sungguh sebagian manusia telah mengeklaim bahwa shalat tarawih adalah bagian dari sunnah-sunnah ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu, lalu untuknya dia berdalil dengan perintah ‘Umar kepada Ubay bin Ka’b dan Tamim ad-Dariy radhiyallaahu ‘anhuma untuk mengimami manusia sebelas rakaat, kemudian suatu malam dia keluar sementara manusia sedang shalat lantas berkata,
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.” (HR. al-Bukhari) ([1])
Mereka berkata, ini menunjukkan bahwa sebelumnya tidak disyariatkan. Dan atas dasar ini, jadilah shalat tarawih adalah bagian sunnah-sunnahnya ‘Umar, dan bukan bagian dari sunnah-sunnah Nabi ﷺ. Dan saat itu boleh bagi kita untuk menolak lalu kita katakan bahwa ia bukanlah sunnah. Dikarenakan penyebabnya adalah ditemukan di zaman Rasulullah ﷺ dan beliau tidak melakukannya. Sementara kaidahnya adalah apapun yang ditemukan sebabnya di zaman Nabi ﷺ dan beliau tidak melakukannya, maka ia bukanlah sunnah; dikarenakan bagaimanakah Rasulullah ﷺ akan meninggalkannya sementara penyebabnya ada? Dan penyebabnya disini adalah bulan Ramadhan; dan ia ada di zaman Nabi ﷺ. Maka tatkala beliau tidak melakukannya, maka ia bukanlah sunnah. Atas dasar ini, jika Anda telah shalat fardhu di dalam bulan Ramadhan, maka pergilah ke rumah dan shalatlah, dan janganlah shalat bersama manusia.’ (Demikianlah yang mereka katakan)
Jawabnya adalah bahwa ucapan ini adalah ucapan yang lemah. Pengucapnya lalai dengan riwayat yang telah shahih di dalam as-Shahihain dan selain keduanya bahwa Nabi ﷺ shalat bersama para sahabat beliau selama tiga malam, dan pada hari yang ketiga atau keempat, beliau tidak hadir dan tidak shalat (bersama para sahabat), lantas beliau bersabda,
إِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan atas kalian.” (Al-Bukhari Muslim) ([2])
Maka tarawih telah valid dengan sunnah Nabi ﷺ, dan Nabi ﷺ telah menyebut penghalang beliau melakukannya terus menerus di dalamnya, yaitu kekhawatiran akan diwajibkan. Dan kekhawatiran ini telah hilang dengan wafatnya Rasulullah ﷺ. Dikarenakan tatkala beliau ﷺ wafat, maka terputuslah wahyu dan dijamin dari pewajibannya. Maka tatkalah alasan telah hilang, yaitu alasan kekhawatiran pewajiban dengan terputusnya wahyu, maka telah valid hilangnya yang dikhawatirkan. Maka saat itu kembalilah sunnah Nabi ﷺ bagi shalat tarawih berjama’ah.
Dan tersisa satu peninjauan; mengapa Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu tidak melakukannya?
Jawaban tentangnya adalah dikatakan, ‘Sesungguhnya masa pemerintahan Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu adalah dua tahun lebih beberapa bulan. Dan beliau kala itu sibuk dengan menyiapkan pasukan perang untuk memerangi orang-orang yang murtad dan selain mereka. Maka kala itu ada diantara manusia yang shalat sendirian; diantara mereka ada yang shalat bersama dua orang; dan ada diantara mereka yang shalat bersama tiga orang. Maka tatkala ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu suatu malam keluar dan menemukan mereka shalat berkelompok-kelompok dan perpecahan itu tidak membuatnya kagum, beliau perintahkan Tamim ad-Dari dan Ubay bin Ka’b radhiyallaahu ‘anhuma untuk mengimami manusia semuanya. Keduanya shalat sebelas rakaat bersama manusia. Dan dengan ini kita mengetahui bahwa perbuatan ‘Umar tiada lain adalah pengembalian satu perkara yang dulu telah disyariatkan.
Jika ada yang berkata, ‘Apa yang kalian katakan tentang ucapan ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu, ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yang ini menunjukkan bahwa ia adalah perkara yang diada-adakan (bid’ah).
Jawabnya, sesungguhnya ini adalah bid’ah yang relatif (nisbi); maka ia adalah bid’ah bila dibandingkan dengan yang sebelumnya, dan tidak bila dibandingkan dengan asal perkara yang disyari’atkan. Dikarenakan ia ada di akhir kehidupan Rasulullah ﷺ, yang pada kekhilafahan Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu tidak didirikan. Maka tatkala pendiriannya tidak diperbarui lagi, jadilah ia seakan-akan memulai sesuatu yang baru. Dan tidak mungkin bagi ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu untuk memuji satu bid’ah di dalam syari’at sama sekali, sementara Nabi ﷺ telah bersabda,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim) ([3])
Dan yang menakjubkan adalah bahwa sebagian ahli bid’ah mengambil bagian dari ucapan ‘Umar (نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ) sebagai satu pintu untuk perbuatan bid’ah. Lalu jadilah ia membuat-buat bid’ah sesukanya lantas berkata, ‘Ini adalah sebaik-baik bid’ah’. Dan tidak diragukan lagi bahwa ini adalah termasuk bagian mengambil perkara yang mutasyabih (syubhat).
Sekalipun seandainya diharuskan bahwa ‘Umar telah melakukan bid’ah –dan sekali-kali ia tidak melakukan yang demikian-, maka sesungguhnya ia memiliki sunnah yang diikuti; berdasarkan sabda beliau ﷺ,
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ
“Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaa-u ar-Raasyidiin (para pengganti Rasul ﷺ yang diberi petunjuk) setelah aku.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan ia adalah pada as-Silsilah as-Shahiihah (2735))([4])
(Diambil dari kitab Akhthoo-unaa Fii Ramadhaan, Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)
___________________________________
Footnote:
([1]) HR. al-Bukhari (1906), Malik dalam al-Muwaththa` (250), ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (7723), Ibnu Khuzaimah (1100), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (27/36)-pent
([2]) HR. al-Bukhari (1077), Muslim (761), Abu Dawud (1447), Ahmad (21622), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (2/42)-pent
([4]) As-Syarhu al-Mumti’ (4/56) dengan perubahan.