عَنْ حُذَيْفَةَ رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «[فُضِّلْنَا عَلَى النَّاسِ بِثَلَاثٍ: جُعِلَتْ صُفُوفُنَا كَصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ، وَجُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدْ الْمَاءَ]، وَأُعْطِيتُ هَذِهِ الْآيَاتِ مِنْ آخِرِ الْبَقَرَةِ مِنْ كَنْزٍ تَحْتَ الْعَرْشِ، لَمْ يُعْطَهَا نَبِيٌّ قَبْلِي »
Dari Hudzaifah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Kita diunggulkan atas manusia yang lain dengan tiga perkara; barisan kita dijadikan seperti barisannya para malaikat; seluruh permukaan bumi dijadikan untuk kita sebagai masjid, dan tanahnya dijadikan untuk kita sebagai alat bersuci, jika kita tidak mendapati air; dan aku diberikan ayat-ayat terakhir dari surat al-Baqarah ini dari suatu perbendaraan di bawah ‘Arsy, yang belum pernah diberikan kepada seorang Nabipun sebelumku.” (HR. Muslim, Ahmad, an-Nasaiy)([1])
Di dalam Shahih Muslim tidak menyebut kedua ayat tersebut dari surat al-Baqarah, maka jadilah ketiga perkara tersebut adalah,
«جُعِلَتْ صُفُوفُنَا كَصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ، وَجُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدًا، وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدْ الْمَاءَ»
“Dijadikan barisan kita seperti barisannya para malaikat, keseluruhan bumi dijadikan sebagai masjid untuk kita, dan tanahnya dijadikan sebagai alat bersuci bagi kita, jika kita tidak mendapati air.”([2])
Siapakah orang-orang yang kita ungguli tersebut? Mereka adalah umat-umat terdahulu.
Dengan apakah kita mengungguli mereka? Dengan tiga perkara…
Pertama, barisan kita dijadikan seperti barisan para malaikat.
Yang dimaksud dengannya adalah barisan di dalam shalat. Allah ﷻ telah berfirman tentang para malaikat,
وَإِنَّا لَنَحنُ ٱلصَّآفُّونَ ١٦٥
“Dan Sesungguhnya Kami benar-benar bershaf-shaf (dalam menunaikan perintah Allah).” (QS. as-Shaaffaat (37): 165)
Maksudnya, kami berdiri berbaris di dalam ketaatan.
Dan telah valid dari al-‘Alla` bin Sa’d radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda,
«أطَّت السماء وحُقّ لها أن تَئِطّ، ليس فيها موضع قَدَم إلا عليه ملك راكع أو ساجد». ثم قرأ: }وَإِنَّا لَنَحْنُ الصَّافُّونَ وَإِنَّا لَنَحْنُ الْمُسَبِّحُونَ{
“Langit berderit, dan ia berhak untuk berderit, tidak ada pada langit satu tempatpun seukuran satu tapak kaki, melainkan diatasnya ada seorang malaikat yang sedang ruku’ atau sujud. Kemudian beliau membaca ayat, “Dan Sesungguhnya Kami benar-benar bershaf-shaf (dalam menunaikan perintah Allah). Dan sesungguhnya Kami benar-benar bertasbih (kepada Allah).” (QS. as-Shaaffaat (37): 165-166) (HR. Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasq)([3])
Al-Athiith adalah suara (derit) kendaraan dan onta karena beratnya beban.
Dan Allah ﷻ telah bersumpah dengan firman-Nya,
وَٱلصَّٰٓفَّٰتِ صَفّا ١
“Demi (rombongan) yang ber shaf-shaf dengan sebenar-benarnya..” (QS. as-Shaaffaat (37): 1)
Dan mereka adalah para malaikat yang berbaris di dalam peribadatan mereka dengan barisan yang rapat.
Dan perkara ini dikhususkan bagi umat ini, yaitu bahwa mereka berbaris di dalam shalat…
Oleh karena itulah Nabi ﷺ bersabda kepada para sahabat beliau,
«أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟» فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟ قَالَ: «يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوْلىَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ»
“Tidakkah kalian berbaris sebagaimana para malaikat berbaris di sisi Rabbnya? Mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, bagaimanakah para malaikat berbaris di sisi Rabb mereka? Beliau bersabda, ‘Mereka sempurnakan shaf-shaf yang pertama, dan mereka merapat di dalam shaf.”([4])
Maka, di dalam shalat, dua perkara ini harus diperhatikan.
Perkara pertama, menyempurnakan shaf dari barisan pertama, kemudian yang berikutnya.
Dari ‘Abdillah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
«مَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ»
“Barangsiapa menyambung shaf, maka Allah akan menyambungnya, dan barangsiapa memutus shaf, maka Allah ﷻ akan memutusnya.” (HR. an-Nasa`iy)([5])
Beliau ﷺ bersabda,
«مَنْ سَدَّ فُرْجَةً بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتاً فِيْ الْجَنَّةِ، وَرَفَعَهُ بِهَا دَرَجَةً»
“Barangsiapa menutup celah, maka Allah akan bangunkan untuknya sebuah rumah di sorga, dan dengannya Allah akan angkat derajatnya.” (HR. al-Muhamiliy di dalam al-Amaaliy)([6])
Dan disini perlu bagi saya untuk menunjukkan satu kesalahan yang tersebar luas dikalangan saudara-saudara kita, yaitu bahwa jika salah seorang diantara mereka datang, lalu tidak menemukan celah kosong di dalam shaf, maka dia menyeret orang agar berdiri bersamanya! Ini adalah sebuah kesalahan.
Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa beliau ﷺ bersabda kepada seorang yang shalat sendiri di belakang shaf,
«أَلاَ دَخَلْتَ فِيْ الصَّفِّ؟ أَوْ جَذَبْتَ رَجُلاً صَلىَّ مَعَكَ؟ أَعِدْ الصَّلاَةَ»
“Tidakkah Engkau masuk ke dalam shaf? Atau Engkau seret seseorang agar shalat bersamamu? Ulangi shalat(mu).”([7])
Maka ia adalah hadits yang sangat lemah. Sebagaimana dikukuhkan oleh al-Albaniy rahimahullah, beliau berkata di dalam ad-Dha’iifah, ‘Maka jika telah valid kedha’ifan hadits tersebut, maka saat itu tidak sah pendapat disyariatkannya menarik seseorang dari suatu shaf untuk berdiri bershaf bersamanya; dikarenakan hal itu adalah penyari’atan syari’at tanpa nash yang shahih. Ini tidak boleh, bahkan yang wajib adalah bergabung kepada shaf tersebut jika memungkinkan. Jika tidak bisa, maka dia boleh shalat sendirian, dan shalatnya sah.
Demikian juga jika dua orang hadir (bersamaan), sementara di dalam shaf (depannya) ada satu celah kosong, maka yang rajih adalah bahwa menutup celah kosong tersebut adalah wajib selagi memungkinkan, dan jika tidak memungkinkan, maka dia boleh berdiri seorang diri.
Adapun hadits Wabishah bin Ma’bad, bahwa Nabi ﷺ melihat seorang laki-laki shalat sendiri di belakang shaf, lalu beliau menyuruhnya untuk mengulangi shalat, maka ia adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dan perintah untuk mengulangi shalat tersebut berlaku bagi orang yang tidak melakukan kewajiban bergabung ke shaf, lalu meninggalkan celah kosong pada shaf tersebut. Syaikhul Islam rahimahullah berpendapat dengan pendapat ini. Lihat Irwa`ul Ghalil, hadits no. 451, hal 329. (as-Silsilah ad-Dha’iifah II/322).
Kedua, meluruskan shaf
Telah shahih di dalam as-Shahiihain dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, bahwa dia berkata,
أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ، فَقَالَ: «أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ، وَتَرَاصُّوا، فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي» قال أنس: وكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ، وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ
“Shalat telah diiqamahi, lalu Rasulullah ﷺ menghadapkan wajah beliau kepada kami seraya bersabda, ‘Luruskanlah shaf-shaf kalian, dan saling merapatlah kalian, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari balik punggungku.’ Anas berkata, ‘Dan adalah salah seorang dari kami, merekatkan pundaknya dengan pundak temannya, serta (merapatkan) kakinya dengan kaki temannya.”([8])
At-Taraashu adalah bergabung, mendekat, dan melekat.
Diantaranya adalah firman Allah ﷻ,
إِنَّ ٱللهَ يُحِبُّ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِهِۦ صَفّا كَأَنَّهُم بُنيَٰنٞ مَّرصُوصٞ ٤
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. as-Shaff (61): 4)
Pada hadits tersebut terdapat dalil disunnahkannya imam untuk menghadap kepada makmum setelah iqamah, lalu memerintah mereka untuk melurus rapatkan shaf.
Imam Malik meriwayatkan di dalam al-Muwaththa` dari Nafi’, bahwa ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu biasa memerintah untuk melurus rapatkan shaf, dan jika mereka (makmum) sudah mengabarkan kepadanya bahwa shaf telah lurus rapat, maka diapun bertakbir.
Perkara kedua, ‘Seluruh permukaan bumi dijadikan sebagai masjid bagi kita, dan tanahnya sebagai alat bersuci bagi kita, jika kita tidak mendapati air.’
Di dalam sebuah riwayat,
« فَأَيْنَمَا أَدْرَكَتْ رَجُلًا مِنْ أُمَّتِي الصَّلَاةُ فَعِنْدَهُ مَسْجِدُهُ … »
“Maka dimana saja shalat mendapati salah seorang dari umatku, maka disisinya ada masjidnya.”([9])
Kecuali dalam perkara yang nash syari’at telah menetapkan ketidak absahan shalat padanya; telah shahih larangan shalat di pekuburan, kamar kecil, tempat menderumnya onta, demikian juga tempat yang dighashab, dan najis, karena pensyaratan suci pada badan orang yang sedang shalat, baju dan tempat yang digunakan untuk shalat.
Demikian juga karena tidak adanya air, atau ada air namun membahayakannya, maka boleh baginya untuk beralih kepada tayammum dengan segala yang menonjol di permukaan bumi. Sama saja apakah itu tanah yang berdebu atau selainnya. Sebagaimana kejelasan hadits ini, bersamaan dengan firman Allah ﷻ,
فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبا فامسَحُواْ بِوُجُوهِكُم وَأَيدِيكُم مِّنهُۚ
“… maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…” (QS. al-Maidah (5): 6)
Karena sesunggunya as-Sha’iid adalah segala sesuatu yang menonjol di atas permukaan bumi, dari keseluruhan bagiannya.
Dan hadits ini memberikan petunjuk bahwa tayammum menggantikan posisi bersuci dengan air, dengan tayammum boleh dikerjakan segala perkara yang dibolehkan untuk dikerjakan dengan wudhu`; baik berupa shalat, thawaf, menyentuh mushhaf dan selainnya.
Syariat telah menjadikan tanah sebagai pengganti posisi air saat adanya udzur penggunaannya. Ini menunjukkan bahwa jika telah bersuci dengan tanah dan wudhu`nya belum batal (karena hadats), maka tayammumnya tidaklah batal dengan keluar dan masuknya waktu. Dan jika ia berniat tayammum untuk shalat sunnah, dibolehkan baginya untuk melakukan shalat fardhu, persis seperti bersuci dengan air; dan bahwa hukum tayammum adalah hukum air dalam segala hukum-hukumnya pada saat adanya udzur.
Perkara ketiga, ‘dan aku diberikan ayat-ayat terakhir dari surat al-Baqarah ini dari suatu perbendaraan di bawah ‘Arsy, yang belum pernah diberikan kepada seorang Nabipun sebelumku.”
Keutamaan kedua surat ini telah disebutkan oleh sejumlah hadits, diantaranya adalah hadits valid yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,
«إِنَّ اللهَ كَتَبَ كِتَابًا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ بِأَلْفَيْ عَامٍ، أَنْزَلَ مِنْهُ آيَتَيْنِ، خَتَمَ بِهِمَا سُورَةَ الْبَقَرَةِ، وَلَا يُقْرَآنِ فِي دَارٍ ثَلَاثَ لَيَالٍ فَيَقْرَبُهَا شَيْطَانٌ»
“Sesungguhnya Allah telah menuliskan tulisan dua ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi, darinya Allah menurunkan dua ayat yang dengan keduanya Dia tutup surat al-Baqarah. Dan tidaklah keduanya di bacakan di dalam sebuah rumah selama tiga malam, lalu ada syaitan yang bisa mendekatinya.”([10])
Maka jika Anda membaca kedua ayat ini di dalam rumah Anda selama tiga hari, maka syaitan tidak akan mendekati rumah Anda.
Termasuk diantara hadits terbagus yang meriwayatkan keutamaan keduanya adalah sabda Nabi kita ﷺ di dalam as-Shahiihain,
مَنْ قَرَأَ بِالْآيَتَيْنِ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ فِي لَيْلَةٍ كَفَتَاهُ»
“Barangsiapa membaca kedua ayat dari akhir surat al-Baqarah di dalam suatu malam, maka kedua ayat itu akan mencukupinya (dengan idzin Allah).”([11])
Yang dimaksud adalah dari segala keburukan.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata di dalam al-Fath (IX/56), ‘Kafataahu, maksudnya adalah kedua ayat tersebut telah mencukupinya dari berdiri, menghidupkan malam dengan (membaca) al-Qur`an. Dan dikatakan, ‘kedua ayat tersebut mencukupinya dari membaca al-Qur`an secara mutlak, sama saja di dalam ataupun di luar shalat’. Dikatakan, ‘Maknanya adalah, kedua ayat tersebut mencukupinya dari segala perkara yang berkaitan dengan i’tiqaad (keyakinan, aqidah), karena keduanya mencakup keimanan, dan amal secara global.’ Dan dikatakan, ‘Maknanya adalah keduanya akan mencukupinya dari segala keburukan.’ Dikatakan, ‘Keduanya mencukupinya dari keburukan syetan.’ Dikatakan, ‘Keduanya akan membela dia dari keburukan manusia dan jin.’ Dikatakan, ‘Maknanya adalah bahwa keduanya mencukupinya dari segala sesuatu yang lain, selain daripada pahala yang didapatkan karena membaca keduanya.’ An-Nawawiy berkata yang teksnya adalah, ‘Dikatakan, ‘Maknanya adalah keduanya mencukupi dia dari qiyamullail, dikatakan juga (tercukupi) dari (gangguan) syetan, dikatakan (tercukupi) dari segala petaka, dan dimungkinkan juga memiliki makna semuanya.’
(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Tsulatsiyaat Nabawiyah, Syaikh Mihran Mahir ‘Utsman)
________________________________________
Footnote:
([1]) HR. Muslim (522), HR. Ahmad (23251), as-Shahiihah (4223)-pent
([3]) HR. Ibnu ‘Asaakir, Taarikh Dimasq (6297), at-Tirmidzi (2312), Ibnu Majah (4190), at-Thabraniy, al-Kabiir (9042), lihat as-Shahiihah (1722, 1059), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (1/260)-pent
([4]) HR. Muslim (430), an-Nasa`iy (816), Abu Dawud (661), Ahmad (21062), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (27/481)-pent
([5]) HR. An-Nasa`iy (819), Ibnu Khuzaimah (1549), al-Hakim (774), at-Thabraniy (14113), Shahiih al-Jaami’ (6590), Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (503)-pent
([6]) Dishahihkan oleh al-Albaniy dalam Silsilah al-Ahaadiits as-Shahiihah (1892)-pent
([7]) HR. al-‘Arabiy dalam Mu’jamnya (1268), Abu as-Syaikh dalam at-Thabaqaat (II/291), Abu Nu’aim dalam Akhbaaru Ashfahaan (II/364)-pent
([8]) HR. al-Bukhari (719, 725)-pent
([9]) HR. Ahmad (22137), at-Thabraniy (8001), al-Baihaqiy, al-Kubra (1059), Shahiih al-Jaami’ (1780)
([10]) HR. at-Tirmidzi (2882), Ahmad (18438), Shahiih al-Jaami’ (1799), Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (1467), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (18/132)-pent
([11]) HR. al-Bukhari (4723), Muslim (807), Abu Dawud (1397) Ahmad (17109)-pent