Pembaca yang budiman, pada edisi yang lalu telah kita bahas bagian pertama dari etika-etika dalam membaca al Quran, yaitu : 1) membimbing hati untuk ikhlas ketika mempelajari al Quran atau membacanya, 2) mengamalkan kandungan al Quran, dan 3) anjuran untuk mengingat al Quran dan menjaganya. Pada edisi ini akan kita lanjutkan dengan etika-etika membaca al Quran yang lain.
- Janganlah Mengatakan “Aku Telah Lupa” Ayat Atau Surat Al Quran, Tetapi Katakanlah “Aku Telah Dibuat Lupa, Hafalanku Telah Hilang, atau Telah Dibuat Lupa”
Dalilnya tentang hal ini sebagaimana tercantum dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallaahu ‘anha, ia berkata :
سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَقْرَأُ فِي سُورَةٍ بِاللَّيْلِ، فَقَالَ: «يَرْحَمُهُ اللَّهُ لَقَدْ أَذْكَرَنِي كَذَا وَكَذَا، آيَةً كُنْتُ أُنْسِيتُهَا مِنْ سُورَةِ كَذَا وَكَذَا»
Rasulullah ﷺ tetlah mendengar seseorang yang membaca surat dalam Al Quran di waktu malam, lalu Beliau bersabda : “Semoga Allah merahmatinya, sungguh ia telah mengingatkanku akan ayat ini dan itu yang sebelumnya aku telah dibuat lupa bahwa ayat ayat tersebut tercantum dalam surat ini dan itu”
Dalam riwayat Muslim disebutkan :
يَرْحَمُهُ اللهُ لَقَدْ أَذْكَرَنِي كَذَا وَكَذَا آيَةً، كُنْتُ أَسْقَطْتُهَا مِنْ سُورَةِ كَذَا وَكَذَا
Semoga Allah merahmatinya, sungguh ia telah mengingatkanku akan ayat ini dan itu yang telah dihilangkan dariku dalam surat ini dan itu (Bukhori 5038, Muslim 788)
Dan dalam hadis Abdullah bin Masud radhiyallaahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda :
بِئْسَ مَا لِأَحَدِهِمْ يَقُولُ: نَسِيتُ آيَةَ كَيْتَ وَكَيْتَ، بَلْ هُوَ نُسِّيَ
“Alangkah buruknya seseorang diantara mereka yang mengatakan : “aku telah lupa ayat ini dan itu”, tetapi sesungguhnya ia telah dibuat lupa” (Bukhori 5039, Muslim 790)
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : dalam hadis diatas terdapat celaan terhadap perkataan : “aku lupa ayat ini”, dan celaan ini bersifat makruh yang harus dijauhi. Sedangkan perkataan : “aku dibuat lupa” bukanlah perkataan yang tercela. Dilarangnya perkataan tersebut karena mengandung sikap meremehkan, memudahkan dan melalaikan ayat-ayat tersebut. Allah subhaanahu wata’aalaa berfirman : “…Ayat-ayat Kami telah datang kepadamu lalu kau melupakannya …” (Thaha : 126).
Al Qadhi Iyadh rahimahullah mengatakan : yang paling tepat untuk menafsirkan hadis diatas adalah bahwa celaan tersebut ditujukan kepada keadaan orang yang berkata bukan perkataan dan ucapannya, yakni saya lupa keadaan, yaitu keadaan untuk menjaga al Quran, maka ia pun lalau hingga melupakannya (Syarah Muslim)
- Kewajiban Men-Tadabburi (Memperhatikan Isi) Al Quran
Banyak nash-nash yang memerintahkan untuk merenungi ayat-ayat al Quran. Sebagian darinya telah dibahas sebelumnya. Diantaranya adalah firman Allah : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (An Nisa : 82).
Ibnu Sa’di rahimahullah mengatakan : “Allah memerintahkan untuk memperhatikan isi Kitab-Nya, yaitu merenungi makna-maknanya, memikirkan secara mendalam isinya, prinsip-prinsipnya, semua akibat dan konsekuensi dari itu semua. Karena memperhatikan isi Al Quran merupakan kunci bagi semua ilmu dan pengetahuan. Dengan memperhatikan isinya, maka semua kebaikan akan dihasilkan dan semua ilmu dapat dikeluarkan (eksplorasi). Dengannya juga iman di hati akan bertambah dan pohonnya akan semakin kuat tertanam. Karena dengan memperhatikan isi Al Quran akan dapat mengenal Rabb yang berhak disembah beserta semua sifat kesempurnaan yang dimiliki-Nya dan mensucikannya dari segala sifat kekurangan. Seseorang juga mengetahui jalan yang dapat mengantarkan kepada-Nya dengan memperhatikan isi Al Quran, mengetahui sifat-sifat orang-orang yang meniti jalan tersebut dan apa yang akan mereka dapatkan ketika tiba dihadapan-Nya. Seseorang juga akan mengetahui jalan semua musuh-Nya, yang mana mereka adalah musuh sebenarnya dan jalan yang dapat mengantarkan mereka semua kepada siksa, juga sifat-sifat orang-orang yang meniti jalan mereka dan apa yang akan mereka dapatkan ketika sebab-sebab yang dapat mendatangkan adzab mereka kerjakan. Setiap kali seseorang memperhatikan isi Al Quran, maka akan semakin bertambah ilmu, amal dan keyakinannya.
Oleh karena itu, Allah memerintahkan kita untuk men-tadabburi-nya dan memberitahukan maksud dan tujuan dari diturunkannya Al Quran sebagaimana firman-Nya :
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” (Shaad : 29)” (Taisiirul Kaliimir Rahmaan)
Kalangan salafus sholih dari kalangan sahabat radhiyallaahu ‘anhum dan generasi setelahnya telah mempraktekkan hal tersebut dalam amal perbuatan mereka. Diriwayatkan dari Imam Ahmad dari Abdurrahman, ia berkata : telah menceritakan kepada kami seseorang dari Sahabat Nabi yang membacakan al Quran kepada kami, bahwa mereka (para sahabat) mengambil bacaan dari Rasulullah ﷺ 10 ayat, maka mereka tidak akan mengambil 10 ayat yang lain hingga mereka mengetahui kandungan ilmu dan amal dari ayat tersebut.
Mereka mengatakan : “kami belajar ilmu dan amal” (Musnad)
Hal itu diketahui pula dengan hadis yang diriwayatkan oleh Malik dalam kitabnya Muwaththa’ dari jalan Yahya bin Said, dimana ia berkata : aku dan Muhammad bin Yahya bin Hibban pernah duduk, lalu Muhammad memanggil seseorang dan mengatakan : “beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang pernah engkau dengar dari bapakmu!”. Orang itu berkata : bapakku pernah memberitahukan kepadaku bahwa ia pernah mendatangi Zaid bin Tsabit, lantas ia berkata kepadanya : “Bagaimana menurut pendapat anda tentang orang yang membaca (mengkhatamkan) Al Quran selama 7 hari?”. Maka Zaid bin Tsabit berkata : “itu baik, akan tetapi aku membacanya selama setengah bulan atau 10 hari lebih aku sukai. Tanya kepadaku mengapa seperti itu?”. (bapakku) bertanya : “sesungguhnya aku bertanya kepadamu?”. Maka Zaid berkata : “agar aku dapat memperhatikan isinya dan memahaminya” (Muwaththa’ Malik)
- Bolehnya Membaca Al Quran Sambil Berdiri, Berjalan, Berbaring atau Berkendara
Dalil berkenaan dengan hal ini adalah firman Allah subhaanahu wata’aalaa:
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِياماً وَقُعُوداً وَعَلى جُنُوبِهِمْ
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring” (Ali Imran : 191)
Juga firman Allah subhaanahu wata’aalaa dalam surat Az Zukhruf ayat 13-14 :
لِتَسْتَوُوا عَلى ظُهُورِهِ ثُمَّ تَذْكُرُوا نِعْمَةَ رَبِّكُمْ إِذَا اسْتَوَيْتُمْ عَلَيْهِ وَتَقُولُوا سُبْحانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنا هَذَا وَما كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ () وَإِنَّا إِلى رَبِّنا لَمُنْقَلِبُونَ
“Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu mengucapkan: “Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami”
Sunnah Nabi ﷺ telah menjelaskan ini semua. Diriwayatkan dari Abdullah bin Mughaffal radhiyallaahu ‘anhu, bahwa ia berkata :
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَهُوَ يَقْرَأُ عَلَى رَاحِلَتِهِ سُورَةَ الفَتْحِ
Aku melihat Rasulullah ﷺ pada hari Pembebasan Makkah, Beliau membaca Surat Al Fath diatas kendaraannya (Bukhori 5034, Muslim 794)
Sedangkan dalam hadis Aisyah radhiyallaahu ‘anha Ummul Mukminiin, ia berkata :
كَانَ يَتَّكِئُ فِي حَجْرِي وَأَنَا حَائِضٌ، ثُمَّ يَقْرَأُ القُرْآنَ
Sesungguhnya Nabi ﷺ pernah bersandar di dalam kamarku dan aku ketika itu sedang haid, kemudian Beliau membaca al Quran (Bukhori 297, Muslim 301)
Adapun bagi seseorang yang sedang berjalan, maka bolehnya membaca al Quran dikiaskan kepada kebolehan membacanya ketika berkendara, dan yang demikian tidak ada bedanya.
Faedah : dalam hadis Aisyah radhiyallaahu ‘anha diatas terdapat dalil bolehnya membaca al Quran di kamar wanita yang sedang haid atau nifas. Dan yang dimaksud dengan “bersandar” dalam hadis tersebut adalah meletakkan kepala di kamar. Ibnu Hajar berkata : dalam hal ini terkandung hukum bolehnya membaca al Quran di tempat yang dekat dengan najis. Dan hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi (Fathul Bari)
- Tidak Menyentuh al Quran Kecuali Dalam Keadaan Suci
Dasar dalam pembahasan ini adalah Firman Allah subhaanahu wata’aalaa:
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (Al Waqi’ah : 79)
Dan larangan untuk tidak menyentuhkan kecuali orang-orang yang telah bersuci disebutkan secara terang dalam kitab (surat) Nabi ﷺ yang ditulis kepada ‘Amru bin Hazm, yang mana didalamnya terdapat sabdanya :
أَنْ لاَ يَمَسَّ الْقُرَآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ
“Dan janganlah seseorang menyentuh al Quran kecuali ia dalam keadaan bersih (suci)” (Muwaththa’ Imam Malik. Ibnu Abdil Bar berkata : Kitab ini adalah kitab yang populer di kalangan ulama dan kepopuleran kitab ini telah mencukupi dari sanad periwayatanya. Al Albany telah menshahihkan hadis ini dan beliau menyebutkan bahwa Imam Ahmad telah menjadikannya sebagai hujjah (dalil))
Masalah : apakah boleh membawa mushaf al Quran jika menggunakan pembungkus (kantong) atau kain bagi seorang yang berhadas?
Jawab : ya, dibolehkan membawa al Quran dan menggunakan pembungkus (kantong), karena hal itu tidak termasuk menyentuh (Fatawa Lajnah Daimah). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mangatakan : “dan barangsiapa membawa mushaf, maka sebaiknya ia membawanya dengan menggunakan kainnya, yang ada di pelananya maupun barang bawaannya. Dan tidak dibedakan apakah kain tersebut bagi kaum laki-laki, wanita atau anak kecil, dan walaupun kain tersebut berada di atas atau di bawahnya, wallaahua’lam!”
Diterjemahkan dari Kitab al Adab oleh Aziz Setiawan
(Bersambung Insyaallah)