Tiga Perkara Yang Pelakunya Dicintai Allah dan Rasul-Nya ﷺ

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: نَزَلَ بِالنَّبِيِّ ﷺ أَضْيَافٌ مِنَ الْبَحْرَيْنِ، فَدَعَا النَّبِيُّ بِوَضُوْئِهِ، فَتَوَضَّأَ، فَبَادَرُوا إِلَى وَضُوْئِهِ فَشَرِبُوا مَا أَدْرَكُوْهُ مِنْهُ، وَمَا انْصُبَّ مِنْهُ فِيْ الْأَرْضِ فَمَسَحُوا بِهِ وُجُوْهَهُمْ وَرُؤُوْسَهُمْ وَصُدُوْرَهُمْ. فَقَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ ﷺ: «مَا دَعَاكُمْ إِلَى ذَلِكَ»؟ قَالُوا: حُبُّنَا لَكَ، لَعَلَ اللهَ يُحِبُّنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ: «إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ أَنْ يُحِبَّكُمُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ فَحَافِظُوا عَلَى ثَلَاثِ خِصَالٍ: صِدْقِ الْحَدِيْثِ، وَأَدَاءِ الْأَمَانَةِ، وَحُسْنِ الْجِوَارِ؛ فَإِنَّ أَذَى الْجَارِ يَمْحُو الْحَسَنَاتِ كَمَا تَمْحُو الشَّمْسُ الْجَلِيْدَ»

 

Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Ada tamu-tamu dari Bahrain yang datang singgah menemui Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ meminta di datangkan air wudhu beliau, kemudian beliaupun berwudhu`. Lantas mereka bersegera menuju air wudhu` beliau, lalu meminum apa yang mereka dapatkan darinya. Dan apa yang telah tertuang di tanah, maka dengannya mereka mengusap wajah-wajah, kepala-kepala, dan dada-dada mereka. Maka bersabdalah Nabi ﷺ kepada mereka, ‘Apa yang membuat kalian melakukan yang demikian?’ Mereka menjawab, ‘Kecintaan kami kepada Anda, mudah-mudahan Allah mencintai kami ya Rasulullah.’ Bersabdalah Rasulullah ﷺ, ‘Jika kalian senang Allah dan Rasul-Nya mencintai kalian, maka jagalah oleh kalian tiga perkara; kejujuran bicara, penunaian amanah, dan kebaikan kepada tetangga; dikarenakan mengganggu tetangga akan menghapus kebaikan-kebaikan sebagaimana cahaya matahari menghapus bongkahan es.” (Dikeluarkan oleh al-Khola’iy di dalam al-Fawaa-id. Sanadnya dikuatkan oleh al-Albaniy rahimahullah dengan penguat-penguatnya di dalam Mushannaf ‘Abdirrazzaq, al-Mu’jam al-Ausath dan al-Kabiir milik at-Thabraniy, Ibnu Mandah di dalam al-Ma’rifah. Kemudian beliau berkata, ‘Menurutku, hadits ini minimal hasan dengan keseluruhan jalurnya.”) ([1])

 

Sungguh agung wahai para pembaca yang mulia, seorang muslim mencintai Allah subhaanahu wata’aalaa dan Rasul-Nya ﷺ. Akan tetapi yang lebih agung dari yang demikian adalah Allah dan Rasul-Nya mencintai Anda. Dan inilah makna ucapan sebagian para ‘ulama,

 

لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، وَإِنَّمَا أَنْ تُحَبَّ

 

“Urusannya bukanlah engkau mencintai, akan tetapi (urusan yang sesungguhnya itu) adalah engkau dicintai.”

 

Sungguh Nabi ﷺ telah menyebut tiga perkara yang Allah dan Rasul-Nya mencintai pemiliknya.

 

Pertama, kejujuran dalam berbicara.

 

As-shidqu (jujur) adalah pemberitaan sesuatu yang sesuai dengan kenyataan, dan ia adalah lawan dari al-kadzbu (bohong). Dan sungguh Nabi ﷺ telah menjelaskan bahwa ia memiliki buah yang berbilang; diantaranya:

 

Keberkahan:

 

Dari Hakiim bin Hizaam radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda,

 

«الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَت بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا»

 

“Jual beli itu dengan khiyar (hak memilih dan memutuskan) selagi keduanya belum berpisah. Maka jika keduanya jujur dan menjelaskan (kondisi barang jual beli yang sesungguhnya) maka diberkahilah untuk keduanya, jual beli keduanya. Dan jika keduanya menyembunyikan (kondisi barang jual yang sesungguhnya) dan keduanya berdusta, maka dihapuslah keberkahan jual beli keduanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) ([2])

 

Sementara buah akhir dari kejujuran adalah tidak akan ada apapun kecuali kebaikan. Lihatlah tiga orang yang absen dari peperangan Tabuk bersama Rasulullah ﷺ; mereka adalah Ka’b bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Rabi’ah([3])  radhiyallaahu ‘anhum. Mereka jujur kepada Allah dan Rasul-Nya di dalam pembicaraan mereka. Maka apa hasil akhir dari perkara mereka? Mereka diuji, dan bumi menjadi sempit bagi mereka padahal luas. Akan tetapi perhatikanlah hasil akhirnya; Allah turunkan pertaubatan mereka di dalam ayat-ayat yang akan dibaca hingga hari kiamat; dengannya Allah angkat kedudukan mereka, dan Allah tinggikan urusan mereka.

 

Kejujuran adalah sebuah perniagaan yang menguntungkan.

 

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

 

«أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيكَ فَلَا عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنْ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيثٍ، وَحُسْنُ خَلِيقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِي طُعْمَةٍ»

 

“Empat perkara; jika keempat perkara itu ada pada dirimu, maka tidak masalah bagimu apa yang kamu kehilangan bagian dari dunia; menjaga amanah, jujurnya pembicaraan, keluhuran prilaku, dan menjaga kehormatan diri di dalam makanan.” (HR. Ahmad, dan al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iiman)([4])

 

Kejujuran adalah termasuk di antara sifat-sifat sebaik-baik manusia.

 

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Aash radhiyallaahu ‘anhuma, dia berkata, kami berkata,

 

يَا نَبِيَّ اللهِ مَنْ أَفْضَلُ النَّاسِ؟ فَقَالَ: «كُلُّ مَخْمُومِ الْقَلْبِ، صَدُوقِ اللِّسَانِ». قَالُوا: صَدُوْقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ، فَمَا مَخْمُوْمُ الْقَلْبِ؟ قال: «هُوَ التَّقِيُّ، النَّقِيُّ، لَا إِثْمَ فِيهِ، وَلَا بَغْيَ، وَلَا غِلَّ، وَلَا حَسَدَ»

 

“Wahai Nabi Allah, ‘Siapakah manusia yang paling utama?’ Maka beliau ﷺ bersabda, ‘Setiap hati yang makhmuum, dan jujurnya lisan.’ Mereka berkata, ‘Jujurnya lisan kami telah mengetahuinya, lalu apakah itu hati yang makhmuum? Maka beliau bersabda, ‘Hati yang bertaqwa lagi bersih, tidak ada dosa di dalamnya, tidak ada kezhaliman, tidak ada dendam dan hasad di dalamnya.”([5])

 

Kejujuran adalah termasuk akhlaqnya para Nabi ‘alaihimussalaam.

 

Khadijah radhiyallaahu ‘anha berkata tentang kisah permulaan wahyu kepada Nabi ﷺ, saat beliau datang dalam keadaan ketakutan,

 

أَبْشِرْ، فَوَاللهِ لَا يُخْزِيكَ اللهُ أَبَدًا؛ فَوَاللهِ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَصْدُقُ الْحَدِيثَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ

 

“Bergembiralah, maka demi Allah, Allah tidak akan membuatmu susah untuk selamanya; demi Allah sesungguhnya engkau benar-benar menyambung tali rahim, jujur dalam berbicara, menanggung beban, membantu orang yang tidak punya, memuliakan tamu, serta membantu para penuntut hak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) ([6])

 

Kedua, menunaikan amanah.

 

Disini saya suka menyebut sebuah atsar dan sebuah hadits yang keduanya berkaitan erat dengan amanah.

 

Adapun atsar, maka ia dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata,

 

الْقَتْلُ فِي سَبِيلِ اللهِ يُكَفِّرُ الذُّنُوبَ كُلَّهَا إِلَّا الْأَمَانَةَ , يُؤْتَى بِصَاحِبِ الْأَمَانَةِ – وَإِنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ – فَيُقَالُ لَهُ: أَدِّ أَمَانَتَكَ، فَيَقُولُ: أَيْ رَبِّ , كَيْفَ وَقَدْ ذَهَبَتِ الدُّنْيَا؟ , فَيَقُولُ: اذْهَبُوا بِهِ إِلَى الْهَاوِيَةِ، فَيُذْهَبُ بِهِ إِلَيْهَا , وتُمَثَّلُ لَه أَمَانَتُهُ , فَيَجِدُهَا كَهَيْئَتِهَا يوم دُفِعَتْ إِلَيْهِ , فَيَرَاهَا فَيَعْرِفُهَا , فَيَهْوِي في أثَرِهَا حَتَّى يَنْتَهِيَ إِلَى قَعْرِهَا , فَيَأخُذُهَا فَيَحْمِلُهَا عَلَى عَاتِقِهِ , ثُمَّ يَصْعَدُ بِهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ، حَتَّى إِذَا رَأَى أَنَّهُ قَدْ خَرَجَ بِهَا , زَلَّتْ فَهَوَتْ، فَهُوَ فِي أَثَرِهَا أَبَدَ الْآبِدِينَ، ثُمَّ قَالَ: الصَلَاةُ أَمَانَةٌ، وَالْوُضُوءُ أَمَانَةٌ , والْوَزْنُ أَمَانَةٌ , والكَيْلُ أَمَانَةٌ , وَأَشَدُّ ذَلِكَ الْوَدَائِعُ

 

“Berperang di jalan Allah akan menghapus segala dosa, semuanya, kecuali dosa amanah, pemilik amanah akan di datangkan pada hari kiamat –sekalipun dia telah terbunuh di jalan Allah- lalu dikatakan kepadanya, ‘Tunaikanlah amanahmu.’ Maka dia menjawab, ‘Duhai Tuhanku, bagaimana (aku menunaikan amanah) sementara dunia telah lenyap?’ Maka Allah berfirman, ‘Pergilah kalian dengannya menuju Neraka Hawiyah.’ Maka diapun dibawa pergi menuju Hawiyah, lalu amanahnya diserupakan, lalu dia mendapatinya seperti keadaannya pada hari amanah itu diberikan kepadanya, lalu dia melihatnya dan mengenalinya. Lantas dia terjun menuju kepadanya hingga sampai ke dasarnya, kemudian dia mengambilnya dan memikulnya di atas pundaknya. Kemudian dengannya dia naik di dalam neraka Jahannam, hingga jika dia melihat bahwa dia telah keluar dengan (amanah)nya, amanah itupun tergelincir dan terjun kebawah, sementara dia berada di belakangnya selamanya.’ Kemudian Nabi ﷺ bersabda, ‘Shalat adalah amanah, wudhu` adalah amanah, timbangan dan takaran adalah amanah, dan yang paling keras dari yang demikian adalah barang-barang titipan.” ([7])

 

Adapun hadits, maka dari Khudzaifah radhiyallaahu ‘anhu dia berkata, ‘Rasulullah ﷺ menceritakan dua hadits kepada kami, dan sungguh aku telah melihat salah satu dari keduanya, dan aku sedang menunggu yang lain. Beliau bercerita kepada kami,

 

«أَنَّ الْأَمَانَةَ نَزَلَتْ فِي جَذْرِ قُلُوبِ الرِّجَالِ، ثُمَّ نَزَلَ الْقُرْآنُ، فَعَلِمُوا مِنَ الْقُرْآنِ، وَعَلِمُوا مِنَ السُّنَّةِ»، ثُمَّ حَدَّثَنَا عَنْ رَفْعِ الْأَمَانَةِ قَالَ: «يَنَامُ الرَّجُلُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ الْأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ، فَيَظَلُّ أَثَرُهَا مِثْلَ الْوَكْتِ، ثُمَّ يَنَامُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ الْأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ، فَيَظَلُّ أَثَرُهَا مِثْلَ الْمَجْلِ كَجَمْرٍ دَحْرَجْتَهُ عَلَى رِجْلِكَ فَنَفِطَ، فَتَرَاهُ مُنْتَبِرًا وَلَيْسَ فِيهِ شَيْءٌ – ثُمَّ أَخَذَ حَصًى فَدَحْرَجَهُ عَلَى رِجْلِهِ – فَيُصْبِحُ النَّاسُ يَتَبَايَعُونَ لَا يَكَادُ أَحَدٌ يُؤَدِّي الْأَمَانَةَ حَتَّى يُقَالَ: إِنَّ فِي بَنِي فُلَانٍ رَجُلًا أَمِينًا، حَتَّى يُقَالَ لِلرَّجُلِ: مَا أَجْلَدَهُ مَا أَظْرَفَهُ مَا أَعْقَلَهُ وَمَا فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ»

 

“Sesungguhnya amanah telah turun di pangkal hati kaum laki-laki, kemudian al-Qur`an turun, lalu mereka mengetahui bagian dari al-Qur`an dan mengetahui bagian dari sunnah.” Kemudian beliau bercerita kepada kami tentang terangkatnya amanah, seraya bersabda, “Seorang laki-laki tidur dengan sekali tidur, lalu amanah dicabut dari hatinya, lalu pengaruhnya terus membekas seperti bekas (ringan yang berbeda dengan warna yang sebelumnya). Kemudian dia tidur sekali tidur, lalu amanah dicabut dari hatinya, lalu pengaruhnya terus membekas semisal lepuhan([8]) seperti bara api yang engkau gelincirkan di atas kakimu, lalu melepuh dan engkau melihatnya meninggi sementara tidak ada apapun di dalamnya –kemudian beliau mengambil kerikil lalu beliau gelincirkan di atas kaki beliau- lalu di pagi hari manusia saling membaiat. Hampir-hampir tidak ada seorangpun yang menunaikan amanah hingga dikatakan, ‘Sesungguhnya di Bani Fulan ada seorang laki-laki yang amanah.’ Hingga dikatakan kepada seorang laki-laki, ‘Betapa kuat dan tabahnya dia, betapa pandainya dia, dan betapa berakalnya dia, padahal tidak ada di dalam hatinya keimanan seberat biji sawipun.” (HR. Muslim) ([9])

 

An-Nawawiy rahimahullah berkata, ‘Makna hadits adalah bahwa amanah akan menghilang dari hati-hati sedikit demi sedikit. Jika bagian awalnya hilang darinya, maka hilanglah cahayanya, lalu diganti oleh kegelapan seperti bekas ringan, yaitu munculnya satu warna yang berbeda dengan warna yang sebelumnya. Jika hilang satu bagian yang lain, maka seperti lepuhan, yaitu bekas kuat yang hampir-hampir tidak bisa hilang kecuali setelah masa tertentu. Dan kegelapan ini diatas kegelapan yang sebelumnya. Kemudian beliau menyerupakan hilangnya cahaya tersebut setelah keberadaannya di dalam hati dan keluarnya cahaya itu setelah menetap di dalam hati, dan penggantian oleh kegelapan padanya dengan bara api yang digelindingkan di atas kakinya hingga membekas padanya; kemudian bara api itupun menggelinding dan yang tersisa adalah lepuhan. Sementara pengambilan kerikil oleh beliau, lalu menggelindingkannya ke kaki beliau, maka dengannya beliau ingin untuk memberikan tambahan keterangan dan penjelasan apa yang telah disebutkan.’ ([10])

 

Ketiga, berbuat baik kepada tetangga.

 

Perkara ini telah dikuatkan oleh Rasulullah ﷺ di dalam banyak hadits-hadits beliau. Dan beliau telah mempertakuti lawan prilaku ini.

 

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ beersabda,

 

«مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ»

 

“Barangsiapa beirman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia mengganggu tetangganya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia memuliakan tamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia berkata yang baik, atau diam.” (HR. al-Bukhari Muslim) ([11])

 

Dan sungguh, jika berbuat buruk adalah sebuah kesalahan, maka berbuat buruk kepada kepada tetangga adalah sebesar-besarnya dosa.

 

Telah valid di dalam al-Musnad dari al-Miqdaad bin al-Aswad radhiyallaahu ‘anhu, bahwa dia berkata, Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada sahabat-sahabat beliau,

 

«مَا تَقُولُونَ فِي الزِّنَا؟» قَالُوا: حَرَّمَهُ اللهُ وَرَسُولُهُ، فَهُوَ حَرَامٌ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، قَالَ: فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَأَنْ يَزْنِيَ الرَّجُلُ بِعَشْرَةِ نِسْوَةٍ، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَزْنِيَ بِامْرَأَةِ جَارِهِ» ، قَالَ: «مَا تَقُولُونَ فِي السَّرِقَةِ؟» قَالُوا: حَرَّمَهَا اللهُ وَرَسُولُهُ فَهِيَ حَرَامٌ، قَالَ: «لَأَنْ يَسْرِقَ الرَّجُلُ مِنْ عَشْرَةِ أَبْيَاتٍ، أَيْسَرُ عَلَيْهِ مِنْ أَنْ يَسْرِقَ مِنْ جَارِهِ»

 

“Apa yang kalian katakan tentang perzinahan?” Mereka berkata, ‘Haram, Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkannya, maka ia adalah haram hingga hari kiamat.’ Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sungguh seorang laki-laki berzina dengan sepuluh wanita, maka itu lebih ringan baginya daripada berzina dengan istri tetangganya.” Beliau bersabda, “Apa yang kalian katakan tentang pencurian?” Mereka berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkannya, maka ia adalah haram.’ Beliau bersabda, “Sungguh, seorang laki-laki mencuri dari sepuluh rumah lebih ringan baginya daripada mencuri dari tetangganya.” (HR. Ahmad) ([12])

 

Maka perkara-perkara ini, wajib bagi setiap orang untuk memperhatikan dan menjaganya agar menjadi termasuk golongan orang-orang yang beruntung; orang-orang yang mendapatkan nikmat dengan kecintaan Allah dan Rasul-Nya.

 

Hadits ini menjadi dalil akan disyariatkannya bertabarruk dengan bekas-bekas Rasulullah ﷺ, sementara Rasulullah ﷺ tidak diqiyaskan dengan manusia lainnya. Maka tidak boleh bertabarruk dengan bekas-bekas orang shalih selain beliau ﷺ.

 

(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari Kitab Tsulatsiyaat Nabawiyah, Syaikh Mihran Mahir ‘Utsman)

_____________________________

Footnote:

 

 

([1]) As-Silsilah as-Shahiihah (6/1264)

([2]) HR. al-Bukhari (1973), Muslim (1532), at-Tirmidzi (1246), an-Nasa`iy (4457), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (11/423)-pent

([3]) Dan ada yang mengatakan Ar-Rabii’

([4]) HR. Ahmad (6652), al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (288), al-Hakim (7876), Shahiih al-Jaami’ (873), as-Shahiihah (733), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (6/294)-pent

([5]) HR. Ibnu Majah (4216), al-Baihaqiy dalam Syu’ab (4800), Musnad as-Syaamiyyin (1218), lihat Shahiih al-Jaami’ (3291), as-Shahiihah (948), Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (2931), al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (9/486)-pent

([6]) HR. al-Bukhari (4670), Muslim (160)-pent

([7]) HR. al-Baihaqiy dalam Syu’ab (5266), hasan, lihat Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (1763, 2995), dan lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (3/169)-pent

([8]) An-Nawawiy rahimahullah berkata, ‘Al-majlu adalah lepuhan yang berada di tangan karena bekerja dengan kampak atau semacamnya, dan menjadi seperti kubah yang di dalamnya terdapat sedikit air.” (Syarah Muslim (2/169))

([9]) HR. Muslim (143) al-Bukhari (6132)-pent

([10]) Syarah Muslim (2/169)

([11]) HR. al-Bukhari (5672) Muslim (47)-pent

([12]) HR. Ahmad (23905), al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (103), Shahiih al-Jaami’ (5043), as-Shahiihah (65), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (5/173)-pent

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *