Anda akan mendapati sebagian orang yang berpuasa, jika dia berwudhu`, dia menjauhi berkumur, lalu dia mengusap dua bibirnya saja. Maka ini adalah salah, karena beberapa perkara;
Pertama, sesungguhnya berkumur di dalam wudhu` adalah wajib, menurut pendapat yang rajih dari kalangan para ulama.
Dan firman Allah ﷻ,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمتُم إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَاغسِلُواْ وُجُوهَكُم وَأَيدِيَكُم إِلَى ٱلمَرَافِقِ وَٱمسَحُواْ بِرُءُوسِكُم وَأَرجُلَكُم إِلَى ٱلكَعبَينِۚ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,…” (QS. al-Maidah (5): 6)
Maka perintah di dalam ayat tersebut adalah untuk kewajiban. Dan termasuk perkara yang telah diketahui bahwa mulut, dan hidung adalah termasuk bagian dari wajah yang diperintahkan untuk dibasuh.
Kedua, juga telah tetap di dalam Sunan Abi Dawud bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda kepada Laqiith bin Shabrah I,
«إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ»
“Jika Engkau berwudhu`, maka berkumurlah.”([1])
Dan perintah disini juga adalah untuk kewajiban. Dan atas dasar inilah, tidak selayaknya meninggalkan berkumur di dalam Ramadhan atau selainnya.
Ketiga, dan termasuk perkara yang menunjukkan boleh berkumur bagi yang berpuasa adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad dari Jabir I, bahwa ‘Umar bin Khaththaab I berkata,
هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا، قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ» فَقُلْتُ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَفِيمَ»
“Aku menyambut dengan gembira (melihat istri atau budak wanita, hingga tidak bisa menahan diri) lalu aku mencium(nya) sementara aku berpuasa. Lalu akupun mendatangi Rasulullah i lalu berkata, ‘Saya telah melakukan perkara yang besar hari ini, saya mencium (istri) sementara saya berpuasa.’ Maka Rasulullah i bersabda, ‘Apa pendapatmu seandainya Engkau berkumur dengan air, sementara Engkau berpuasa.?’ Maka ku jawab, ‘Tidak apa-apa yang demikian.’ Maka Rasulullah i bersabda, ‘Maka dalam hal apa (Engkau khawatir)?”([2])
Dua catatan:
Pertama, tidak apa-apa berkumur yang berpuasa. Sebagaimana telah berlalu. Sekalipun tanpa wudhu` atau mandi. Dan kesan basah yang tersisa di mulut setelah berkumur tidaklah merusak puasanya jika dia menelannya bersamaan dengan air ludah, dikarenakan memang tidak mungkin menjaga diri darinya.
Kedua, jika berkumur atau beristinsyah (menghirup air ke hidung), lalu airpun mendahuluinya hingga ke kerongkongan tanpa maksud (disengaja), tidak juga berlebihan, maka tidak ada masalah atasnya dalam pendapat yang paling shahih dari dua pendapatnya para ulama. Dengannya al-Auza’iy, Ishaq, dan as-Syafi’iy berpendapat dalam salah satu pendapatnya. Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah, dan Malik, mereka berpendapat bahwa hal itu membatalkan puasa.
Kebalikan dari kesalahan yang terdahulu tersebut, Anda akan mendapati terdapat orang yang berkumur dan beristinsyaq, akan tetapi dia berlebihan di dalam beristinsyaq.
Maka ini juga salah. Kewajiban orang yang berpuasa adalah tidak bersungguh-sungguh di dalam beristinsyaq saat berpuasa agar tidak ada air yang masuk ke dalam kerongkongannya sementara dia berpuasa.
Disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, dan at-Tirmidzi dari hadits Laqiith bin Shaburah I, dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
«… وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا»
“Dan bersungguh-sungguhlah di dalam beristinsyaq, kecuali jika Engkau dalam keadaan berpuasa.”([3])
(Diterjemahkan oleh Muhammad Syahri dari kitab Akhthaa-unaa Fii Ramadhaan – al-Akhthaa` al-Khaashshah Fii as-Shiyaam, Syaikh Nada Abu Ahmad)
___________________________________________________
Footnote:
([1]) HR. Abu Dawud (144), Shahih Abu Dawud (132)-pent
([2]) HR. Ahmad (372), Abu Dawud (2385), an-Nasa`iy (3048), Ibnu Abi Syaibah (9406), Ibnu Hibban (3544), al-Hakim (1572), Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkata, ‘Sanadnya shahih.’ lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al Masaanid (29/247)-pent
([3]) HR. Abu Dawud (142), at-Tirmidzi (788), Ibnu Hibban (4510), an-Nasa`iy (87, 144), Ahmad (16431), dishahihkan oleh al-Albaniy dalam at-Ta’liiqaat al-Hisaan (4493), Syua’ib al-Arnauth berkata, ‘Hadits Shahih.’ lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al Masaanid (22/365)-pent