Oleh: Muhammad Syahri
Sesungguhnya shalat-shalat sunnah adalah penutup kekurangan dan penyempurna bagi shalat-shalat fardhu kita. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
« إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ [مِنْ أَعْمَالِهِمْ] الصَّلاَةُ. قَالَ : يَقُولُ رَبُّنَا جل وعلى لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ : انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا ؟ فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئاً قَالَ : انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ ؟ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ ؛ قَالَ : أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ. ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَلِكُمْ »
“Sesungguhnya perkara pertama yang dengannya manusia akan dihisab pada hari kiamat dari amal-amal perbuatan mereka adalah shalat.” Beliau bersabda, ‘Rabb kita Azza wa Jalla berfirman kepada para malaikat-Nya padahal Dia Maha Mengetahui, ‘Lihatlah kepada shalat hamba-Ku, apakah dia menyempurnakannya ataukah menguranginya?’ Jika shalatnya itu sempurna, maka ditulislah untuknya secara sermpurna. Jika ada sesuatu yang kurang darinya, Dia berfirman, ‘Lihatlah kepada hamba-Ku, apakah hamba-Ku ini memiliki shalat tathawwu’ (shalat sunnah)?’ Maka jika dia memiliki shalat tathawwu’, Dia berfirman, ‘Sempurnakanlah bagi hamba-Ku ini shalat wajibnya, dari shalat sunnahnya, kemudian diambillah seluruh amal itu atas dasar tersebut.” ([1])
Oleh karena itulah mulai edisi ini kita akan membahas tentang shalat-shalat sunnah yang benar-benar berasal dari Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam. Di Bagian pertama ini kita awali dengan pembahasan shalat rawatib (shalat yang mengiringi shalat fardhu), dan kita buka dengan Ratibah Shalat Subuh.
Hukum Ratibah Shalat Subuh
Termasuk shalat yang sangat ditekankan untuk dikerjakan, dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkannya baik saat mukim maupun safar (dalam perjalanan).
Berdasarkan hadits Abu Maryam Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ‘Dulu kami bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah perjalanan, maka kami pun berjalan di malam hari. Tatkala berada di hadapan waktu subuh, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam turun kemudian tidur, dan manusia pun tidur. Lalu kami tidak terbangun kecuali dengan matahari yang telah menyinari kami. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan muadzin untuk adzan, lalu dia pun adzan, lalu beliau shalat dua rakaat sebelum shalat subuh, lalu memerintah muadzin untuk iqamah, kemudian beliau shalat bersama dengan manusia, lalu menceritakan kepada kami apa yang akan terjadi hingga hari kiamat.” ([2])
Sifat dan Fadhilah (Keutamaan) Ratibah Shalat Subuh
Ratibah shalat subuh dilakukan dua rakaat sebelum shalat subuh. Berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا [لَهُمَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا جَمِيْعاً]»
“Dua rakaat (sunnah) fajar lebih baik dari dunia dan apa yang ada di dalamnya [benar-benar keduanya lebih aku cintai daripada dunia keseluruhannya].”([3])
Dalam riwayat lain, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata:
«لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُداً عَلىَ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ»
“Tidak pernah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sangat menjaga atas sesuatu dari amalan sunnah melebihi dua rakaat (sunnah) subuh.”([4])
‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha juga berkata:
« إِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ لاَ يَدَعُ أَرْبَعاً قَبْلَ الظُّهْرِ ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ [الصُّبْحِ]»
“Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum zhuhur, dan dua rakaat sebelum subuh.”([5])
Shalat ini juga termasuk 12 rakaat shalat sunnah yang disebutkan dalam hadits Ummu Habibah radhiyallaahu ‘anha, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
« مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُصَلِّى لِلَّهِ كُلَّ يَوْمٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً تَطَوُّعًا غَيْرَ فَرِيضَةٍ إِلاَّ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَوْ إِلاَّ بُنِىَ لَهُ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ »
“Tidak ada seorang hamba muslim pun yang shalat karena Allah setiap harinya dua belas rakaat tathawwu’, bukan wajib, melainkan Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di sorga, atau kecuali akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di sorga.”([6])
Dua belas rakaat itu dijelaskan dalam riwayat at-Turmudzi dan an-Nasa`i:
«..أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ »
“… empat rakaat sebelum zhurhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya’, dan dua rakaat sebelum subuh.”([7])
Meringankan dua rakaat sebelum subuh
Termasuk petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah meringankan dua rakaat qobliyah subuh itu, dan tidak memanjangkan membaca al-Qur`an di dalamnya. Berdasarkan hadits Hafshah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata,
«إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ مِنَ الْأَذَانِ لِصَلاَةِ الصُّبْحِ وَبَدَا الصُّبْحُ ؛ رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تُقَامُ الصَّلاَةُ»
“Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, jika muadzin sudah diam dari adzan untuk shalat subuh, dan nyata subuh (cahaya pagi), beliau ruku’ (shalat) dua rakaat ringan sebelum shalat diiqamati.”([8])
Juga hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُخَفِّفُ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ حَتىَّ إِنِّي لَأَقُوْلُ : هَلْ قَرَأَ بِأُمِّ الْكِتَابِ؟
“Adalah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam meringankan dua rakaat sebelum subuh, hingga aku berkata, ‘Apakah beliau membaca ummul kitab (al-Fatihah)?”([9])
Apa yang dibaca pada dua rakaat tersebut?
Dalam hal ini ada beberapa hadits yang menjelaskan apa yang dibaca Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam dua rakaat tersebut.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَرَأَ فِيْ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ : ﴿قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ﴾، وَ ﴿قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ﴾
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam membaca pada dua rakaat (sebelum shalat) fajar (subuh) Qul Ya ayyihal kafirun (al-Kafirun), dan qul huwallaahu ahad (al-Ikhlash).” ([10])
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pada rakaat pertama dari dua rakaat (shalat sunnah) fajar:
قُولُوٓاْ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَمَآ أُنزِلَ إِلَيۡنَا وَمَآ أُنزِلَ إِلَىٰٓ إِبۡرَٰهِۧمَ وَإِسۡمَٰعِيلَ وَإِسۡحَٰقَ وَيَعۡقُوبَ وَٱلۡأَسۡبَاطِ وَمَآ أُوتِيَ مُوسَىٰ وَعِيسَىٰ وَمَآ أُوتِيَ ٱلنَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمۡ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٖ مِّنۡهُمۡ وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ ١٣٦
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Kami, [dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya]”. (QS. Al-Baqarah (2): 136)
Dan pada rakaat terakhir dari keduanya membaca:
۞فَلَمَّآ أَحَسَّ عِيسَىٰ مِنۡهُمُ ٱلۡكُفۡرَ قَالَ مَنۡ أَنصَارِيٓ إِلَى ٱللَّهِۖ قَالَ ٱلۡحَوَارِيُّونَ نَحۡنُ أَنصَارُ ٱللَّهِ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَٱشۡهَدۡ بِأَنَّا مُسۡلِمُونَ ٥٢
“[Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani lsrail) berkatalah dia: “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah,] Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang berserah diri.” (QS. Ali ‘Imran (3): 52)
Dalam sebuah riwayat, Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ánhuma berkata, Bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pada rakaat pertama dari dua rakaat shalat subuh biasa membaca [قُوْلُوا آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْـزِلَ إِلَيْنَا…] (QS. Al-Baqarah (2): 136), dan pada rakaat kedua membaca:
قُل يَٰٓأَهلَ ٱلكِتَٰبِ تَعَالَواْ إِلَىٰ كَلِمَةٍ سَوَآءٍِ بَينَنَا وَبَينَكُم أَلَّا نَعبُدَ إِلَّا ٱللهَ وَلَا نُشرِكَ بِهِۦ شَيئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعضُنَا بَعضًا أَربَابًا مِّن دُونِ ٱللَّهِۚ فَإِن تَوَلَّواْ فَقُولُواْ ٱشهَدُواْ بِأَنَّا مُسلِمُونَ ٦٤
“[Katakanlah: “Hai ahli Kitab,] Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, [bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)].” (QS. Ali ‘Imran (3): 64) ([11])
Maka hendaknya setiap muslim berusaha mengamalkannya, kadang membaca yang ini dan kadang membaca yang itu.
Disunnahkan Berbaring miring sebelah kanan setelahnya (bagi yang tadinya qiyamullail)
Berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
« إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ رَكْعَتَىِ الْفَجْرِ ، فَلْيَضْطَجِعْ عَلَى يَمِينِهِ »
“Jika salah seorang di antara kalian telah selesai shalat dua rakaat (sebelum shalat sunnah) fajar, maka hendaknya dia berbaring miring di atas sebelah kanannya.” [12]
Juga hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam jika telah shalat sunnah fajar, jika aku bangun, maka beliau berbicara denganku, jika tidak, maka beliau berbaring (miring kanan) hingga adzan shalat.’ ([13])
Akan tetapi tidak pernah dinukil dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam atau pun dari para sahabat radhiyallaahu ‘anhum bahwa mereka melakukannya di masjid, maka kesunnahan dilakukan setelah melakukan shalat sunnah fajar di rumah sebagaimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukannya di rumah. (al-Albani, Shalatut Tarawih (90))
Qadha’ dua rakaat qobliyah subuh
Barangsiapa ketinggalan dari dua rakaat sebelum subuh, maka disyariatkan baginya untuk mengqadha’nya langsung setelah shalat subuh, atau setelah matahari terbit, dan yang afdhal adalah dilakukan setelah matahari terbit, karena anjuran Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ ؛ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ»
“Barangsiapa belum shalat dua rakaat (sebelum sunnah) fajar, maka hendaknya dia shalat keduanya setelah matahari terbit.”[14]
Adapun dilakukan langsung setelah shalat subuh, maka berdasarkan diamnya Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Qais bin Qahd Radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia pernah shalat subuh bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan dia belum shalar dua rakaat (sunnah) fajar, maka tatkala beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam salam, dia salam bersama beliau, kemudian dia shalat dua rakaat (sunnah fajar) sementara Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat kepadanya dan tidak mengingkarinya.([15])
Tidak Shalat apa pun setelah Qobliyah subuh kecuali shalat subuh
Berdasarkan hadits Hafshah Radhiyallahu ‘anha dia berkata, adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, jika fajar telah terbit, maka beliau tidak shalat kecuali dua rakaat ringan.” ([16])
Juga hadits dari Yasar maula Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Ibnu Umar melihatku sementara aku shalat setelah terbitnya fajar, lalu dia berkata, ‘Wahai Yasar, sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar menemui kami, sementara kami shalat shalat ini, lalu beliau bersabda:
« لِيُبَلِّغْ شَاهِدُكُمْ غَائِبَكُمْ لاَ تُصَلُّوا بَعْدَ الْفَجْرِ إِلاَّ سَجْدَتَيْنِ »
“Hendaknya yang hadir dari kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir dari kalian, janganlah kalian shalat setelah (terbitnya fajar) kecuali dua rakaat.”([17])
Dalam riwayat yang lain Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
« لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْفَجْرِ إِلاَّ سَجْدَتَيْنِ »
“Tidak ada shalat setelah (terbit) fajar kecuali dua rakaat.”([18])
Imam al-Baihaqi Rahimahullah meriwayatkan dengan sanad shahih dari Sa’id bin al-Musayyib, bahwa dia melihat ada seorang laki-laki shalat setelah terbit fajar lebih dari dua rakaat, dia perbanyak ruku dan sujud di dalamnya. Lalu Sa’id bin al-Musayyib melarangnya, lantas dia berkata, ‘Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengadzab aku karena shalat?’ Maka Sa’id bin al-Musayyib berkata, ‘Tidak, akan tetapi Dia akan mengadzab kamu karena menyelisihi sunnah.’([19])
Edisi berikutnya akan kita bahas shalat Rawatib berikutnya Insyaallah. (AR)*
Maraji’:
- Bughyatul Mutathowwi’ fi Shalatit Tathawwu’, Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul
- Tadzkirul Ghafil bi Fadhlin Nawafil, Abdullah bin Jarullah al-Jarullah
- Shalatut Tathowwu’; Mafhum, wa Fadha`il, wa Aqsam, wa Anwa’, wa Aadaab, fi Dahu`il Kitabi was Sunnah, DR. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthaniy.
- Al-Amru bi al-Ittiba’ wan Nahyu ‘an al-Ibtida`, Imam al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi as-Syafi’i.
______________________________________
Footnote:
[1] Shahih Lighairihi, HR. Ahmad (2/290), Abu Dawud (1/864), an-Nasa`i (1/232), at-Turmudzi (413), al-Hakim (1/262), Shahih Sunan Ibnu Majah (1/240), Shahih at-Turmudzi (1/130), Shahih an-Nasa`i (1/101)
[2] Shahih Lighairihi, HR. an-Nasa`i (605), juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (680) dengan makna yang sama dari Abu Hurairah t
[3] HR. Muslim (725), at-Turmudzi (416), an-Nasa`i (3/252), al-Hakim (1/307)
[4] HR. al-Bukhari (1169), Muslim (724)
[5] HR. al-Bukhari (1182), an-Nasa`i (3/252), Abu Dawud (1253), ad-Darimi (1/335)
[6] (HR. Muslim (728))
[7] Shahih, HR. at-Turmudzi, Shahih at-Turmudzi (1/414)
[8] (HR. al-Bukhari (618), Muslim (723))
[9] HR. al-Bukhari (1171), Muslim (724)
[10] HR. Muslim (726)
[11] HR. Muslim (724)
[12] Shahih, HR. at-Turmudzi (420), Abu Dawud (1261), Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah (1120), juga Ibnu Hibban (612), dishahihkan oleh an-Nawawi (Syarah Muslim (6/19)), dan al-Albani (al-Misykah (1206)
[13] HR. al-Bukhari (1161)
[14] Shahih, HR. at-Turmudzi (424), al-Hakim (1/274) dan dia menshahihkannya, Ibnu Khuzaimah (1117), Ibnu Hibban (4/224), Shahih at-Turmudzi (1/133)
[15] Hasan Lighairihi, HR. at-Turmudzi (422), Abu Dawud (1267), al-Hakim (1/274) dan dia menshahihkannya, Ibnu Khuzaimah (1116), Ibnu Hibban (624), Shahih at-Turmudzi (1/133)
[16] HR. Muslim (723)
[17] Shahih, HR. Abu Dawud (1278), at-Turmudzi (419), Shahihul Jami’ (5353, 7511)
[18] Shahih, HR. at-Turmudzi (421), al-Irwa` (478), Shahih Dha’if at-Turmudzi (419)
[19] Shahih, diriwayatkan oleh al-Baihaqiy (4234), lihat al-Irwa` (2/235)