KHURAFAT REBO WEKASAN

Oleh: DR. KH. Abu Hamzah Agus Hasan Bashori, Lc. M.Ag.

 Pembaca yang mulia, sebentar lagi kita akan memasuki bulan Shafar. Sebagai muslim kita berkewajiban untuk selalu mencari ilmu dan kebenaran agar mendapatkan ridha Allah dan selamat dari marabahaya. Untuk itu pula Allah mewajibkan kita agar saling menasehati; yang mengetahui memberitahukan kepada yang belum mengetahui agar sama-sama selamat. Atas dasar inilah kami tulis makalah ini. Selamat membaca.

 

Pengertian

Yang dimaksud dengan Rebo Wekasan atau Rabu Pungkasan adalah hari Rabu terakhir yang ada di bulan Shafar. Mengapa harus istilah Rebo Wekasan? Karena tradisi ini berkembang di masyarakat Jawa. Kami tidak tahu istilah yang dipergunakan di selain masyarakat Jawa. Oleh karena itu, kami ucapkan terima kasih bagi yang mau menginformasikannya kepada kami.

 

Keyakinan Khurafat

Banyak dari kaum muslimin di dunia Islam -karena ketidaktahuannya tentang Islam- banyak yang memiliki keyakinan tertentu tentang Rebo Wekasan ini. Di dalam Islam telah diajarkan bahwa keyakinan yang tidak memiliki dasar kebenaran itu di sebut khurafat. Di antara Khurafat Rebo Wekasan ini adalah:

  1. Keyakinan bahwa pada setiap tahun -tepatnya pada hari Rebo Wekasan- Allah menurunkan 320.000 (Tiga ratus dua puluh ribu) malapetaka atau bencana, sehingga hari tersebut adalah hari tersulit dalam satu tahun. Sumber khurafat ini adalah al-Buni[1] dalam kitab al-Firdaus, Fariduddin dalam kitab Awradu Khawajah dan orang lain yang dianggap sebagai ahli makrifat (kasyaf) oleh kaum shufi.
  2. Keyakinan bahwa hari Rebo Wekasan adalah hari naas atau hari sial. Maka -menurut mereka- wajib menahan diri di dalamnya dari amalan-amalan atau pekerjaan yang berharga atau penting, seperti pernikahan, perjalanan jauh, berdagang, transaksi-transaksi dan lain-lain. Jika tetap dilakukan maka nasibnya akan sial.

 

Amalan Bid’ah

Untuk menghindari atau mengantisipasi malapetaka dan kesialan yang ada di dalam hari Rebo Wekasan mereka melakukan dan menganjurkan orang lain untuk melakukan hal berikut:

  1. Pembacaan istighatsah (permohonan pertolongan kepada Allah dengan cara-cara yang tidak dikenal dalam sunnah Rasulullah , misalnya dengan berjamah, penghadiaan al-Fatihah, tawassul-tawassul bid’iy, bahkan tidak jarang meminta langsung kepada selain Allah seperti kepada Nabi Muhammad atau para wali Allah). Dianjurkan kepada para hadirin untuk membawa air sendiri-sendiri dari rumah guna diasma’i.
  2. Pembacaan surat Yasin, khususnya setelah maghrib sebanyak 3 kali secara bersama-sama. Yang pertama diniatkan supaya diselamatkan dari balak, yang kedua banyak rizki, dan yang terakhir agar panjang umur.
  3. Membaca Azimat multi khasiat sesuai dengan niat.
  4. Menulis wifiq (rajah) atau azimat dengan tinta yang dapat lebur dengan air. Wifiq ini berbentuk persegi empat dan lingkaran. Lafazh Jibril, Mikael, Israfil dan Izrail ditulis membentuk kotak yang masing-masing bergaris bawah lebih panjang dari tulisannya. Di dalamnya tertuliskan Allah Lathif bi’ibadihi. Kemudian dilingkari dengan tulisan basmalah dan ayat-ayat salam seperti Salamun Qaulan Min Rabbir Rahim, Salamun ala Nuhin fil’alamin dll.

Bagi yang tidak bisa menulis sendiri maka dianjurkan untuk membeli. Wifiq atau azimat kecil seharga 1.000 sampai 5.000 Rupiah sedangkan azimat besar seharga 6.000 sampai 10.000 Rupiah.

Untuk merangsang animo umat dan meyakinkan mereka, para pemuka agama melakukan promosi (pembodohan) yang tidak tanggung-tanggung. Mereka menulis Khasiat Azimat besar/komplit:

  • Dimasukkan ke dalam air (di dalam sumur, teko, botol, gentong) kemudian diminum: Menyembuhkan segala macam penyakit, mencerdaskan otak dan penerang hati, menghilangkan kesusahan dan lain-lain.
  • Dipasang di rumah: Aman dari kebakaran dan pencurian serta perampokan, aman dari fitnah, penghuni rumah tenteram dan damai, tidak mudah dimasuki sihir dan gangguan lain.
  • Dibawa kemanapun pergi: Untuk keselamatan, dan mahabbah (pengasihan), memperlancar pergaulan dan memperbanyak teman.
  • Ditaruh di toko atau dagangan: Sebagai penglaris dan penarik pembeli, menambah barokah, tidak dihasut orang.
  • Ditaruh di kendaraan: Aman dan selamat dari kecelakaan, tidak dicuri orang dll.
  1. Shalat tolak bala’. Di antara bentuknya adalah shalat di waktu dhuha sebanyak 4 rakaat satu kali salam. Pada setiap rakaatnya membaca al-Fatihah dan surat al-Kautsar 17x, al-Ikhlash 50x, al-Falaq 1x dan an-Nâs 1x. Ketika salam dianjurkan membaca: وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ   sebanyak 360x, dilanjutkan dengan Jauharatul Kamal 3x dan ditutup dengan:
[arabic-font]ُسْبحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلىَ الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ[/arabic-font]

Lalu bersedekah dengan sedikit roti untuk fakir miskin. Khasiatnya adalah untuk tolak balak yang turun pada hari Rebo Wekasan.

Ajaran Yang Benar

  1. Semua keyakinan tentang kesialan bulan Shafar atau Rabu terakhir pada bulan Shafar adalah batil. Rasulullah bersabda:
[arabic-font]لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ، وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ اْلمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ اْلاَسَدِ[/arabic-font]

“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada kesialan karena (suara atau arah terbang) burung, tidak ada Hamah (kesialan karena burung malam seperti burung hantu, atau tidak ada yang namanya ruh gentayangan yang menjadi burung karena tidak dibalaskan dendamnya), dan tidak ada Shafar. Larilah dari orang yang penderita penyakit kusta seperti larimu dari singa.” (HR. Bukhari: 5579, Muslim: 101)

Yang terpenting dari hadits ini adalah sabda Nabi r: Tidak ada Shafar. Artinya Rasulullah menolak adanya keyakinan-keyakinan Jahiliyyah tentang Shafar, yang tafsirannya menurut para ulama adalah:

  1. Tidak ada kesialan nasib karena bulan Shafar (Shahih Bukhari: 5380, Abu Dawud: 3915). Al-Baidhawi V berkata: “Sabda Nabi r: ‘Tidak ada Shafar‘ adalah penolakan terhadap anggapan bahwa pada bulan Shafar ada banyak malapetaka.” (al-Qasthalani, Syarah Bukhari: VIII/318, hal senada juga ditulis oleh al-Fatani dalam Majma’ Biharil Anwar: II/251)

Syekh Ismail al-Dahlawi (w.1246) berkata: “Masuk dalam hal ini adalah apa yang diyakini oleh orang-orang bodoh di India bahwa 13 hari pertama bulan Shafar adalah hari naas, banyak diturunkan bala’. Mereka menyebutnya Tirah Tizi artinya hari-hari tiga belas yang berat.” (ad-Dahlawi, Risalah Tauhid, diterjemahkan ke bahasa arab oleh Abul Hasan an-Nadwi, diterbitkan oleh Dinas Urusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, cet. 1424 H/ 2004 M, hal.73-74)

  1. Tidak ada penyakit cacing atau ular dalam perut yang disebut shafar, yang diyakini oleh orang Arab bahwa ia akan berontak pada saat lapar dan bahkan dapat membunuh orangnya, dan yang diyakini lebih menular dari pada Jarab (penyakit kulit/gatal). (Shahih Muslim: 1742, Ibnu Majah: 3539) Juga tidak ada keyakinan bahwa orang yang doyan makan tetapi tidak merasa kenyang, berarti ada setan atau ifrit di dalam perutnya yang memakan semua makanannya. (ad-Dahlawi, Risalah at-Tauhid, hal.73)
  2. Tidak ada aturan Shafar model jahiliyyah, yang mana mereka dulu menghalalkannya (menjadikannya sebagai bulan halal untuk berperang) setahun dan mengharamkannya (menjadikannya sebagai bulan suci yang haram untuk berperang) setahun. (Abu Dawud: 3913, 3914)

Termasuk dalam hal ini adalah tidak ada keyakinan bahwa umroh pada bulan-bulan haji (Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan al-Muharram yang waktu itu masih disebut Shafar awal) adalah kejahatan paling buruk di dunia. Mereka dulu mengatakan:

[arabic-font]إِذَا بَرَأَ الدَّبْرُ وَعَفَا اْلأَثَرُ وَانْسَلَخَ صَفَرُ حَلَّتِ اْلعُمْرَةُ لِمَنِ اعْتَمَرَ[/arabic-font]

“Jika dabr (bekas memikul beban berat di punggung unta pada musim haji) telah sembuh, bekas jejak kaki (unta, pada musim haji) telah tiada dan Muharram telah lewat maka halallah umrah bagi yang berumrah.” (Bukhari: 1489, Muslim: 1240, 1679)

  1. Shalat tolak balak adalah bid’ah

Para ulama besar yang tergabung dalam komisi tetap untuk riset dan fatwa, ketika ditanya tentang pertanyaan di atas menjawab sebagai berikut:

“Shalat sunnah yang dimaksud dalam soal di atas, kami tidak mengetahui asal usulnya dari al-Qur’an dan Sunnah. Juga tidak kami ketahui seorangpun dari salafus shalih yang mengamalkan shalat ini. Jadi ia adalah bid’ah yang mungkar. Telah shahih dari Nabi bahwa beliau bersabda:

[arabic-font] مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ[/arabic-font]

“Barang siapa mengamalkan satu amalan yang tidak didasari oleh syari’atku maka ia ditolak.”

(Bukhari: 60, Muslim: 4447)

[arabic-font]مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَـٰذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ[/arabic-font]

“Barang siapa membuat hal baru dalam agamaku ini, sesuatu yang bukan dari bagiannya maka ia ditolak.”

(Bukhari: 2641, Muslim: 4446)

Maka barang siapa menisbatkan shalat ini kepada Nabi atau kepada salah seorang sahabatnya berarti ia telah berbohong besar, maka ia terkena laknat Allah dan diancam dengan hukuman orang-orang yang berdusta. Hanya pada Allah adanya hidayah taufiq. Semoga shalawat dan salam tercurah untuk Nabi kita Muhammad beserta para keluarga dan sahabatnya M.

(al-Lajnah ad-Daimah Lilbuhuts wal-Ifta’ 4/140-141. Ketua: Syekh Abdul Aziz Ibn Bazz. Wakil: Abdurrazzaq Afifi. Anggota: Abdullah Qu’ud dan Abdullah Ghudayyan)

 

  1. Rajah, Wifiq, Azimat

Dalam hal ini Syekh Muhammad al-Syuqairi al-Mishri berkata: “Telah menjadi tradisi orang-orang bodoh, menulis ayat-ayat salam seperti: [سَلاَمٌ عَلىَ نُوْحٍ فِي الْعَالَمِيْنَ] dan lain-lain pada hari Rabu terakhir dari bulan Shafar, kemudian mereka meletakkannya dalam wadah-wadah lalu mereka meminumnya dan bertabarruk dengannya, saling menghadiahkan (kalau sekarang banyak yang memperjual belikan), karena keyakinan mereka bahwa hal itu dapat menghilangkan keburukan-keburukan. Ini adalah keyakinan rusak dan perasaan bernasib sial yang tercela serta bid’ah yang buruk, wajib diingkari oleh setiap orang yang melihatnya.” (al-Sunan wal Mubtada’at, hal. 137-138)

Kewajiban setiap muslim adalah berttauhid kepada Allah dan berittiba’ (mengikut) kepada Rasul Allah . Tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan hanya dengan aturan syari’at yang dibawa oleh utusan-Nya . Takut kepada sesuatu yang bahayanya dinyatakan oleh Allah dan Rasul-Nya (wahyu) atau akal sehat dan bukti empiris (indrawi) adalah takut yang benar dan wajar, akan tetapi takut kepada sesuatu yang bahayanya hanya dinyatakan oleh khurafat maka itu adalah ketakutan yang buruk dan bersifat syirik jika diikuti. Rasulullah bersabda:

[arabic-font] الطِّيَرَة شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ثَلاَثاً وَمَا مِنَّا إلاَّ وَلٰكِنَّ الله يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ[/arabic-font]

“Thiyarah (pesimis, merasa akan bernasib sial karena khurafat) itu adalah syirik” sebanyak tiga kali, “Tidaklah setiap kita melainkan (pernah mengalaminya) akan tetapi Allah menghilangkannya dengan tawakkal.” (Abu Dawud: 3910)

[arabic-font]مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ مِنْ حَاجَةٍ فَقَدْ أَشْرَكَ» قَالُوا: يَا رَسُولَ الله، فَمَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ: « يَقُوْلُ أَحَدُهُمْ اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إلا طَيْرُكَ، وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ[/arabic-font]

“Siapa yang dibatalkan dari hajatnya oleh thiyarah maka ia telah berbuat syirik.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, kalau begitu apa tebusannya?” Beliau bersabda: “Salah seorang mereka berkata: “Ya Allah tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu, tidak ada kesialan nasib (keburukan, musibah) kecuali kesialan nasib (dalam takdir) Mu, dan tidak ada sesembahan yang benar selain-Mu.” (Abu Dawud: 8412)

Dengan demikian, mengikuti khurafat-khurafat tersebut di atas bukannya  menambah iman dan membawa selamat, tetapi justru merusak iman dan mendatangkan murka Allah . Jika adanya malapetaka pada bulan Shafar atau pada hari Rabu terakhir bulan Shafar adalah khurafat, berarti semua amalan yang dilakukan untuk menanggulanginya adalah khurafat dan bid’ah. Keselamatan hanya ada pada mengikuti Rasulullah dan menyembah serta bertawakkal kepada Allah .*

 

Malang, 14 Dzulhijjah 1427 H / 03 Januari 2007

Tambahan:

[arabic-font]لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ أَوْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ وَمَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلىَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلََّم[/arabic-font]

 

“Bukan termasuk golongan kita orang yang bertathayyur (meramal nasib dengan burung dll) atau orang yang meminta diramalkan nasibnya, atau orang yang praktek perdukunan atau yang meminta jasa dukun, atau orang yang praktek sihir atau orang yang meminta jasa tukang sihir. Barang siapa mendatangi seorang dukun lalu mempercayai ucapannya  maka ia telah kufur dengan apa  yang diturunkan kepada Nabi Muhamad saw. (HR. al-Bazzar. Shahih, Shahih aj-Jami’: 5435)

Footnote:

[1] Bukan  Abu Abdil Malik Marwan Ibn Ali al-Asadi al-Buni al-Faqih al-Maliki  sahabat Abul Hasan al-Qabisi-asal Andalus, pindah ke Afrika dan tinggal di kota Bunah hingga wafat sebelum tahun 440 H, yang banyak disebut dalam kitab Fathul Bari, tetapi ia adalah  Abul Abbas Ahmad ibn Ali ibn Yusuf al-Buni al-Maghribi al-Shufi (w. 622H/ 1225 M) pemilik kitab-kitab dalam ilmu huruf seperti  Syamsul Maárif al-Kubra, yang dicetak dalam 4 jilid dengan judul Syamsul Maárif wa Lathaifil Áwarif Fi Ilmil Huruf wal Khawash, al-Lumáh an-Nuraniyah, al-Syu’lah an-Nuraniyyah, Lathaiful Isyarat fi Asraril Huruf al maklumat .(Lihat az-Zirikli, al-A’lam: I/174)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *