Dari Abu Hurairah I, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda,
[arabic-font] «مَنْ كانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ»[/arabic-font]
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia mengucapkan yang baik atau hendaknya dia diam. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia memuliakan tamunya.” (HR. al-Bukhari Muslim)
Al-Imam yang agung, Abu Muhammad bin Abi Zaid –seorang imam Madzhab Maliki di Maroko pada zamannya- berkata, ‘Keseluruhan adab-adab kebaikan tercabang dari empat hadits; sabda Nabi ﷺ,
[arabic-font] «مَنْ كانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيصْمُتْ »[/arabic-font]
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia mengatakan yang baik atau hendaknya dia diam.”
Dan sabda beliau ﷺ,
[arabic-font] «مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ»[/arabic-font]
“Termasuk kebaikan keIslaman seseorang adalah dia meninggalkan apa yang tidak penting baginya.”
Dan sabda beliau ﷺ kepada orang yang beliau meringkas wasiat bagi beliau,
[arabic-font] «لَا تَغْضَبْ»[/arabic-font]
“Jangan marah.”
Dan sabda beliau ﷺ,
[arabic-font] «لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ»[/arabic-font]
“Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga dia mencintai untuk saudaranya, apa yang dia cintai untuk dirinya.” (Fathul Qawiy al-Matiin fii Syarhi al-Arba’iin, as-Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad, hal. 62)
Hadits ini menunjukkan bahwa iman kepada Allah dan hari akhir akan membuahkan kebaikan, mendorong beramal dengan amal-amal shalih. Dan tidaklah keimanan salah seorang diantara kita akan diterima kecuali jika amalnya membenarkannya. Dikarenakan salafnya umat ini telah mendefinisikan keimanan bagi kita bahwa iman itu adalah ucapan, amal perbuatan dan keyakinan. Maka tidak ada keimanan kecuali dengan tiga hal ini.
Sebuah ungkapan milik salah seorang ulama di zaman kita ini membuat saya takjub, dia berkata di dalamnya, ‘Kumpulkanlah 5 nuun di dalam pendefinisianmu bagi iman; ucapan dengan lisan, keyakinan di dalam hati, perbuatan dengan anggota badan, bertambah dengan ketaatan kepada ar-Rahman, dan berkurang dengan ketaatan kepada syetan. Maka barangsiapa meyakini yang demikian, dia terbebas dari pikiran irja`. Murji`ah, mereka tidak memasukkan amal dalam penamaan iman. Sementara Allah D berfirman di dalam kitab-Nya,
[arabic-font] وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ[/arabic-font]
“… dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu…” (QS. al-Baqarah (2): 143) dan yang dimaksud dengan iman di dalam ayat ini adalah shalat kalian. Dikarenakan para sahabat bertanya kepada Nabi kita ﷺ tentang orang-orang yang shalat ke Baitul Maqdis sebelum dinasakhnya kiblat, lalu turunlah ayat tersebut. Maka ia adalah dalil amal adalah bagian dari iman.
Dan tidak dikatakan amal adalah satu syarat di dalam iman. Ini salah. Maka ucapan Anda bahwa amal adalah syarat akan mengeluarkan amal dari penamaan iman, dikarenakan syarat itu diluar substansi sesuatu (yang disyarati). Yang benar adalah dikatakan dengan apa yang dikatakan oleh salaf kita, amal adalah bagian iman. Maka ucapkanlah dengan ucapan salaf, dan jangan menyusahkan diri.
Dan hadits tersebut menunjukkan bahwa beriman dengan hari akhir akan memotivasi untuk melakukan segala kebaikan dan meninggalkan segala yang diharamkan. Maka seorang manusia, jika dia yakin bahwa dia akan kembali kepada Rabb-Nya, maka dia akan takut kepada-Nya. Oleh karena itulah, tatkala Allah mengancam orang-orang yang mengurangi takaran, Dia berfirman,
[arabic-font] أَلَا يَظُنُّ أُوْلَٰٓئِكَ أَنَّهُم مَّبۡعُوثُونَ ٤ لِيَوۡمٍ عَظِيمٖ ٥ يَوۡمَ يَقُومُ ٱلنَّاسُ لِرَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٦[/arabic-font]
“Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?” (QS. al-Muthaffifiin (83): 4-6)
Maka termasuk beriman kepada Allah dan hari akhir adalah tiga perkara;
Pertama, Anda mengucapkan yang baik atau Anda diam
Imam as-Syafi’iy V berkata, ‘Makna hadits adalah, jika ia ingin berbicara, maka hendaknya ia berfikir lebih dulu, jika nampak bahwa ucapan tersebut tidak membahayakannya, maka berbicaralah. Dan jika nampak bahwa padanya terdapat bahaya, atau ragu-ragu di dalamnya, maka hendaknya dia diam.’
Dan kebaikan adalah setiap lafazh yang akan dihisab bagi Anda di timbangan kebaikan Anda.
Kalimat nabawiy ini telah mengajak kepada salah satu dari dua perkara;
– Ucapan yang baik
– Dan diam
Dan barangsiapa melakukan yang demikian, maka terjagalah lisannya.
Sementara nash-nash yang menyeru kepada penjagaan lisan sangatlah banyak untuk bisa dibatasi. Diantaranya adalah,
Firman Allah D,
[arabic-font] مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٞ ١٨[/arabic-font]
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf (50): 18)
Maksudnya adalah wajib atas setiap manusia untuk waspada dikarenakan setiap kalimatnya terhitung.
Dan tatkala Abu Musa I bertanya kepada Nabi kita ﷺ dengan ucapannya, ‘Manusia mana yang paling utama?’ maka Nabi ﷺ bersabda,
[arabic-font] « مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ »[/arabic-font]
“Orang yang kaum muslimin selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan di dalam Shahihain dari Abu Hurairah I, bahwa dia pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda,
[arabic-font] «إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ »[/arabic-font]
“Sesungguhnya seorang hamba, benar-benar dia berbicara dengan suatu kata yang dia belum jelas apa yang ada padanya, maka dengannya dia terperosik kedalam neraka (dengan jarak) yang lebih jauh daripada (jarak) antara timur dan barat.”
Dan makna yatabayyanu, adalah berfikir bahwa ia itu baik atau tidak.
Pada riwayat al-Bukhari V,
[arabic-font] «إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ»[/arabic-font]
“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan kata-kata dari keridhaan Allah tanpa ia menaruh perhatian padanya, maka Allah akan mengangkatnya lantaran (ucapannya) beberapa derajat, dan sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan kata-kata yang mengandung kemurkaan Allah tanpa memikirkannya maka karenanya dia terjerumus ke dalam neraka jahannam.”
Di dalam Jami’ at-Turmudzi dari Sufyan bin ‘Abdillah V, dia berkata, ‘Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah ceritakan kepada saya suatu perkara yang saya akan berpegang teguh dengannya.’ Maka beliau bersabda,
[arabic-font] «قُلْ رَبِّيَ اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقِمْ»، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَخْوَفُ مَا تَخَافُ عَلَيَّ، فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ، ثُمَّ قَالَ: «هَذَا»[/arabic-font]
“Ucapkanlah, ‘Tuhanku adalah Allah, kemudian istiqamahlah’.” Lalu saya katakan, ‘Wahai Rasulullah, perkara apakah yang paling Anda khawatirkan terhadap saya?’ Maka beliau memegang lisan beliau, lalu bersabda, ‘Ini.’
Di dalam hadits yang lain, beliau ﷺ bersabda,
[arabic-font] «لَا تُكْثِرُوا الكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ فَإِنَّ كَثْرَةَ الكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ قَسْوَةٌ لِلْقَلْبِ، وَإِنَّ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنَ اللَّهِ القَلْبُ القَاسِي[/arabic-font]
“Janganlah kalian memperbanyak perkataan dengan selain dzikir (mengingat) Allah, dikarenakan banyak berkata dengan selain dzikir (mengingat) Allah adalah kekerasan bagi hati, dan sesungguhnya manusia yang paling jauh dari Allah adalah orang yang hatinya keras.” (HR. at-Turmudzi)
Dan telah shahih pada riwayat an-Nasa`iy dari ‘Abdillah bin Abi Aufa I, dia berkata,
[arabic-font] «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ الذِّكْرَ، وَيُقِلُّ اللَّغْوَ، وَيُطِيلُ الصَّلَاةَ، وَيُقَصِّرُ الْخُطْبَةَ، وَلَا يَأْنَفُ أَنْ يَمْشِيَ مَعَ الْأَرْمَلَةِ، وَالْمِسْكِينِ فَيَقْضِيَ لَهُ الْحَاجَةَ»[/arabic-font]
“Adalah Rasulullah ﷺ terbiasa memperbanyak dzikir, menyedikitkan kesia-siaan, memanjangkan shalat, meringkas khutbah, tidak merasa rendah berjalan dengan janda dan orang-orang miskin kemudian menunaikan hajatnya.”
Dan termasuk hal yang disebutkan dari ‘Isa S adalah bahwa dia berkata,
[arabic-font] طُوْبَى لِمَنْ خَزَنَ لِسَانَهُ[/arabic-font]
‘Beruntunglah orang yang menyimpan lisannya.”
Dan hadits-hadits serta atsar-atsar tentang makna ini sangat banyak.
Wasiat kedua, ‘Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia memuliakan tetangganya.’
Al-Auza’iy dan al-Hasan V serta yang sebelum keduanya, ‘Aisyah J berpendapat bahwa batasan tetangga adalah empat puluh rumah dari segala arah. Dan seandainya ada seseorang berkata, ‘Ini adalah sebuah masalah yang kembali kepada ‘urf (kebiasaan yang berlaku), dan diukur (ditentukan) dengannya, maka pastilah itu lebih dekat kepada kebenaran.’ Dan ilmunya adalah ada di sisi Allah D.
Nabi ﷺ telah memberikan wasiat terhadap tetangga dalam banyak hadits-hadits beliau ﷺ,
Diantaranya adalah hadits at-Turmudzi,
[arabic-font] «… وَخَيْرُ الجِيرَانِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ»[/arabic-font]
“… dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah, adalah yang terbaik diantara mereka terhadap tetangganya.”
Pada riwayat at-Thabraniy,
[arabic-font] «مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانًا وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمُ بِهِ»[/arabic-font]
“Tidaklah beriman kepadaku, orang yang tidur di malam hari dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan disebelahnya dan dia mengetahui (keadaan)nya.”
Pada redaksi at-Turmudzi,
[arabic-font] «… وَأَحْسِنْ إِلَى جَارِكَ تَكُنْ مُؤْمِنًا، …»[/arabic-font]
“Dan berbuat baiklah kepada tetanggamu, kamu akan menjadi seorang yang beriman.”
Di dalam Shahih al-Bukhari,
[arabic-font] «وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ، وَاللَّهِ لاَ يُؤْمِنُ» قِيلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «الَّذِي لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ»[/arabic-font]
“Demi Allah, tidak beriman, Demi Allah, tidak beriman, Demi Allah, tidak beriman.” Dikatakan, ‘Siapa ya Rasulullah?’ Maka beliau bersabda, ‘Orang yang tetangganya merasa tidak aman dari keburukan-keburukannya.”
Di dalam Musnad dan selainnya,
[arabic-font] قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ كَثْرَةِ صَلَاتِهَا، وَصِيَامِهَا، وَصَدَقَتِهَا، غَيْرَ أَنَّهَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا، قَالَ: «هِيَ فِي النَّارِ» ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَإِنَّ فُلَانَةَ يُذْكَرُ مِنْ قِلَّةِ صِيَامِهَا، وَصَدَقَتِهَا، وَصَلَاتِهَا، وَإِنَّهَا تَصَدَّقَ بِالْأَثْوَارِ مِنَ الْأَقِطِ ، وَلَا تُؤْذِي جِيرَانَهَا بِلِسَانِهَا، قَالَ: «هِيَ فِي الْجَنَّةِ»[/arabic-font]
“Seorang laki-laki berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguh si Fulanah disebutkan banyaknya shalat dia, puasa dan shadaqahnya, hanya saja dia itu mengganggu tetangganya dengan lisannya.’ Maka beliau bersabda, ‘Dia di dalam neraka.’ Dia berkata, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya si Fulanah, dia disebutkan akan sedikitnya puasa, shadaqah dan shalatnya. Dan sesungguhnya dia telah bershadaqah dengan potongan-potongan keju, dan dia tidak menyakiti tetangganya dengan lisannya.’ Maka beliau bersabda, ‘Dia di sorga.”
Oleh karena semua hal tersebut, telah shahih di dalam as-Shahihain sabda Nabi kita ﷺ,
[arabic-font] «مَا زَالَ جِبْرِيلُ يُوصِينِي بِالْجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ»[/arabic-font]
“Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga, hingga aku menyangka bahwa dia akan memberikannya hak waris.”
Dan termasuk diantara hak tetangga Anda –sebagaimana disebutkan di dalam sebagian atsar- adalah jika dia meminta bantuan kepada Anda, maka Anda membantunya; jika dia mau hutang, maka Anda menghutanginya; jika dia menjadi faqir, maka Anda mengunjunginya; jika dia sakit, maka Anda menjenguknya; jika dia mendapatkan kebaikan, maka Anda mengucapkan selamat kepadanya; jika dia terkena musibah, maka Anda turut berbela sungkawa kepadanya; jika dia mati, maka Anda mengikuti jenazahnya; dan Anda tidak meninggikan bangunan lalu anginpun terhalangi darinya kecuali dengan idzinnya –dan banyak diantara manusia melalaikan hal ini, salah seorang diantara mereka mencukupkan diri dengan iklan di surat kabar yang tetangganya tidak tahu namanya, lebih-lebih untuk mengamati mereka demi terbebas dari permintaan-permintaan dunia. Maka dimanakah hak tetangga? Dan dimanakah akhirat?- Dan diantara hak tetangga adalah jika Anda membeli buah-buahan, maka berikanlah hadiah kepadanya, jika Anda tidak melakukannya, maka masukkanlah buah-buahan tersebut kedalam rumah dengan sembunyi-sembunyi, dan janganlah sampai anak Anda keluar dengan membawanya lalu anak tetangga menjadi gusar karenanya.’
Wasiat ketiga, ‘Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia memuliakan tamunya.’
Dan cukuplah bagi saya untuk menyebut disini sebuah kisah agung yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Shahih¬nya, dari Abu Hurairah I, dia berkata, ‘Datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah ﷺ seraya berkata, ‘Sesungguhnya saya kesusahan.’ Maka Nabi ﷺ mengutus utusan kepada sebagian istrinya beliau, lalu ia berkata, ‘Demi Dzat yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, tidak ada apapun di sisi saya kecuali air.’ Lalu beliau mengutus utusan kepada istri yang lain, sang istripun berkata semisal itu. Hingga mereka semua berkata seperti itu, ‘Tidak, demi Dzat yang telah mengutus Anda dengan kebenaran, tidak ada apapun di sisi saya kecuali air.’ Kemudian beliau ﷺ bersabda,
[arabic-font] «مَنْ يُضِيفُ هَذَا اللَّيْلَةَ رَحِمَهُ اللهُ؟»[/arabic-font]
“Siapa yang akan menjamu orang ini malam ini, mudah-mudahan Allah merahmatinya?”
Maka berdirilah seorang laki-laki dari kaum Anshar seraya berkata, ‘Saya, ya Rasulallah.’ Maka diapun beranjak pergi menuju tempat tinggalnya. Kemudian dia berkata kepada istrinya, ‘Apakah Engkau memiliki sesuatu?’ Dia menjawab, ‘Tidak, kecuali makanan untuk anak-anakku.’ Maka dia berkata, ‘Alihkanlah perhatian mereka dengan sesuatu, jika tamu kita masuk, maka matikanlah lampu, dan tunjukkan kepada dia bahwa kita sedang makan. Maka jika dia mulai makan, berdirilah menuju lampu hingga Engkau mematikannya. Kemudian merekapun duduk, dan tamupun makan. Dan diwaktu pagi, dia berangkat menuju Nabi ﷺ, lalu beliau bersabda,
[arabic-font] «قَدْ عَجِبَ اللهُ مِنْ صَنِيعِكُمَا بِضَيْفِكُمَا اللَّيْلَةَ»[/arabic-font]
‘Sungguh Allah telah takjub dengan apa yang kalian berdua perbuat terhadap tamu kalian berdua tadi malam.”
(Diambil dari kitab Tsulaatsiyaat Nabawiyah Jilid II, DR. Mihran Mahir ‘Utsman, dialih bahasakan oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)