Tiga Wasiat Nabawiyah Bagi Abu Dzar Radhiyallaahu ‘Anhu

Dari Abu Dzar I, dia berkata, ‘Rasulullah bersabda kepada aku,
[arabic-font] «اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ»[/arabic-font] “Bertakwalah kepada Allah dimana saja Engkau berada, dan ikuti keburukan dengan kebaikan, (kebaikan itu) akan menghapusnya (kesalahan), dan pergaulilah manusia dengan akhlaq yang mulia.”
(HR. at-Turmudzi)

Hadits ini dari riwayat seorang sahabat yang mulia, Abu Dzar al-Ghifariy I, dan yang masyuhur (terkenal) adalah bahwa nama beliau Jundub bin Junadah. KeIslamannya di awalan namun hijrahnya belakangan, hingga dia tidak mengikuti perang Badar. Keutamaannya sangat banyak. Dia meninggal pada tahun 32 H, pada kekhilafahan ‘Utsman I.

Nabi telah memberikan wasiat kepada Abu Dzar I dengan tiga perkara;

Wasiat pertama, ‘Bertakwalah kepada Allah, dimana saja Engkau berada.’
Kata at-taqwa berasal dari kata waqa as-syai`a jika dia menjaga dan melindunginya.
Sementara di dalam istilah syar’iy, Thalq bin Hubaib V -sebagaimana di dalam Tafsir Ibnu Abi Hatim (I/98) berkata tentangnya,
[arabic-font] الْعَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ عَلىَ نُوْرٍ مِنَ اللهِ رَجَاءَ رَحْمَةِ اللهِ، وَتَرْكُ مَعْصِيَةِ اللهِ عَلىَ نُوْرٍ مِنَ اللهِ مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ[/arabic-font] “Beramal dengan ketaatan kepada Allah, diatas cahaya dari Allah, karena berharap rahmat Allah, dan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah, diatas cahaya Allah, karena takut terhadap ‘adzab Allah.”

Dan di dalam atsar (disebutkan) bahwa ‘Umar bin al-Khaththab I pernah bertanya kepada Ubay I tentang taqwa. Maka dia berkata kepadanya,
[arabic-font] هَلْ أَخَذْتَ طَرِيْقاً ذَا شَوْكٍ؟ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيْهِ؟ قَالَ شَمَّرْتُ وَحَذَرْتُ. قَالَ: فَذَاكَ التَّقْوَى”.[/arabic-font] “Apakah Engkau pernah mengambil jalan yang berduri?’ Maka dia menjawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Lalu apa yang Engkau lakukan padanya.’ Dia menjawab, ‘Aku waspada dan berhati-hati.’ Dia menjawab, ‘Itulah takwa.’

Makna ini diambil oleh Ibnul Mu’taz, seraya berkata,
[arabic-font] خَلِّ الذُّنُوْبَ صَغِيْرَهَا وَكَبِيْرَهَا ذَاكَ الـــتُّقَى[/arabic-font] [arabic-font] وَاصْنَعْ كَمَاشٍ فَوْقَ أَرْضِ الشَّوْكِ يَحْذَرُ مَا يَرَى[/arabic-font] [arabic-font] لاَ تَحْقِرَنَّ صَغِـيْرَةً إِنَّ الْجِبَالَ مِنَ الْحَصَــى[/arabic-font] Tinggalkan dosa-dosa, kecil dan besarnya, itulah takwa
Berbuatlah seperti orang yang berjalan diatas tanah berduri, waspada terhadap apa yang dilihatnya
Janganlah sekali-kali meremehkan dosa kecil, karena gunung tersusun dari kerikil

Dan sabda beliau haitsuma kunta (dimana saja Engkau berada), maksudnya adalah di tempat mana saja. Dikarenakan sebagian manusia menjadi orang yang bertakwa pada suatu tempat, tidak pada tempat yang lain. Sebagian manusia jika dia bersama dengan para sahabatnya, dan diantara kaumnya, dia menampakkan ketakutan kepada Allah dengan meninggalkan maksiat-maksiat. Dan jika dia bersendirian dengan apa-apa yang diharamkan oleh Allah, dia melanggarnya. Wal’iyaadzu billah. Ini adalah seburuk-buruk keberadaan.

Telah shahih pada riwayat Ibnu Majah dari Tsauban I, dari Nabi , bahwa beliau bersabda,
[arabic-font] «لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا، فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا» ، قَالَ ثَوْبَانُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا، جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ، وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ، قَالَ: «أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ، وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ، وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ، وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا»[/arabic-font] “Benar-benar aku mengetahui kaum-kaum dari umatku, mereka akan datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala) kebaikan-kebaikan seperti gunung Tihamah, lalu Allah menjadikannya seperti debu yang berterbangan(1).’ Maka Tsauban berkata, ‘Ya Rasulullah, sifatkan mereka untuk kami, jelaskan mereka bagi kami, agar kami tidak termasuk golongan mereka sementara kami tidak mengetahui.’ Maka beliau bersabda, ‘Adapun mereka, maka mereka adalah saudara-saudara kalian, dari jenis kalian, mereka mengambil bagian dari (ibadah di waktu) malam sebagaimana kalian ambil, akan tetapi mereka, jika mereka bersendirian dengan apa yang Allah haramkan, maka mereka melanggarnya.”

Adalah para salaf kita, mereka berhati-hati dari riya`. Maka ada seseorang diantara mereka bersama dirinya sendiri lebih bertakwa dan berbakti kepada Allah dari pada dia bersama dengan manusia. Berbeda dengan keadaan banyak diantara kita, kita berhati-hati terhadap manusia, dan menutupi diri kita dengan baju takwa diantara mereka, dan jika kita bersendirian, maka jangan Anda bertanya tentang keadaan kita!

Maka bermuraqabahlah wahai hamba Allah, dimana saja Anda berada. Dan ketahuilah bahwa Allah, tidak ada yang samar bagi Allah suatu perkara yang samarpun. Allah berfirman,
[arabic-font] وَمَا تَكُونُ فِي شَأۡنٖ وَمَا تَتۡلُواْ مِنۡهُ مِن قُرۡءَانٖ وَلَا تَعۡمَلُونَ مِنۡ عَمَلٍ إِلَّا كُنَّا عَلَيۡكُمۡ شُهُودًا إِذۡ تُفِيضُونَ فِيهِۚ وَمَا يَعۡزُبُ عَن رَّبِّكَ مِن مِّثۡقَالِ ذَرَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِي ٱلسَّمَآءِ وَلَآ أَصۡغَرَ مِن ذَٰلِكَ وَلَآ أَكۡبَرَ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٍ ٦١[/arabic-font] “Kamu tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Yûnus (10): 61)

Ibnul Mubarak V berkata kepada seorang laki-laki, ‘Bermuraqabahlah Engkau kepada Allah .’ Maka laki-laki tersbut berkata tentang tafsirnya.’ Maka dia berkata kepadanya, ‘Jadilah Engkau untuk selamanya, seakan-akan Engkau melihat Allah .’ (Ihya`u ‘Uluumiddiin, al-Ghazzaliy, IV/297)

Maka tidak layak bagi seorangpun diantara kita untuk menjadikan Allah sebagai selemah-lemah Dzat yang melihat Anda.
[arabic-font] إِذَا خَلَوْتَ الدَّهْرَ يَوْماً فَلاَ تَقُلْ خَلَوْتُ وَلَكِنْ قُلْ عَلَىَّ رَقِيْبُ[/arabic-font] [arabic-font] وَلاَتَحْسَبَنَّ اللهَ يَغْفَلُ سَاعَــةً وَلاَ أَنَّ مَا تُخْفِيْهِ عَنْهُ يَغِيْـبُ[/arabic-font] [arabic-font] أَلَمْ تَرَ أَنَّ الْيَوْمَ أَسْرَعُ ذَاهِـبٍ وَأَنَّ غَداً لِلنَّاظِــِريْنَ قَرِيْبُ[/arabic-font] Jika Engkau bersendirian pada suatu hari sepanjang masa, maka janganlah Engkau mengatakan aku bersendirian, tapi katakankanlah ada yang mengawasiku
Dan janganlah Engkau mengira bahwa Allah akan lalai suatu waktu, dan janganlah Engkau mengira bahwa dia tidak tahu apa yang Engkau samarkan darinya
Bukankah Engkau melihat bahwa hari ini adalah secepat-sepatnya yang pergi, dan besok adalah dekat bagi orang-orang yang menunggu?

Wasiat kedua, “Dan ikutilah keburukan dengan kebaikan, kebaikan itu menghapusnya.’
Atbi’ adalah alhiq (ikuti, sertakan). As-sayyi`ah adalah meninggalkan sebagian kewajiban-kewajiban, atau melakukan sebagian perkara-perkara yang dilarang. Al-hasanah adalah bertaubat darinya, atau datang dengan kebaikan lain. Tamhuhaa, yaitu akan menghapus hukumannya, dan pengaruh buruknya di dalam hati.

Dan ini adalah bagian dari karunia Allah terhadap kita. Maka setiap anak keturunan Adam adalah tukang berbuat salah. Maka termasuk rahmat Allah, orang yang melakukan kesalahan, lalu sadar, kemudian berbuat baik, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa itu untuknya.

Bahkan Allah akan menukar keburukan menjadi kebaikan bagi orang yang bertaubat darinya. Allah berfirman,
[arabic-font] وَٱلَّذِينَ لَا يَدۡعُونَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقۡتُلُونَ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ وَلَا يَزۡنُونَۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ يَلۡقَ أَثَامٗا ٦٨ يُضَٰعَفۡ لَهُ ٱلۡعَذَابُ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَيَخۡلُدۡ فِيهِۦ مُهَانًا ٦٩ إِلَّا مَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ عَمَلٗا صَٰلِحٗا فَأُوْلَٰٓئِكَ يُبَدِّلُ ٱللَّهُ سَيِّ‍َٔاتِهِمۡ حَسَنَٰتٖۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمٗا ٧٠[/arabic-font] “Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina, kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Furqaan (25): 68-70)

Dan penggantian tersebut ada dua macam; Allah akan menggantinya kepada kebaikan-kebaikan, dan Allah akan mengganti keadaan-keadaan orang-orang yang bertaubat. Maka barangsiapa bertaubat dari perzinahan, maka akan merubahnya menjadi orang yang menjaga kesucian. Barangsiapa bertaubat dari kekufuran, maka jadilah dia sebagai orang mukmin. Barangsiapa bertaubat dari perbuatan keji, maka dia menjadi orang yang suci, demikianlah seterusnya…

Nash-nash telah menunjukkan bahwa dosa, jika ia termasuk dosa-dosa besar, maka haruslah melakukan pertaubatan darinya.

Di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah I, dari Rasulullah bahwa beliau bersabda,
[arabic-font] «الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ»[/arabic-font] “Shalat lima waktu, shalat jum’at kepada jum’at yang lain, Ramadhan kepada Ramadhan yang lain adalah penghapus dosa-dosa yang ada diantaranya, selagi ia menjauhi dosa-dosa besar.”

Maka dosa-dosa kecil bisa terhapus dengan kebaikan-kebaikan, dan dosa besar, untuk menghapusnya haruslah dari kebaikan taubat. Sesungguhnya Allah Maha berbuat baik, Maha Penyayang, Maha Pengampun, Maha Bersyukur, Dia akan mengampuni siapapun yang Dia kehendaki.

Wasiat ketiga, ‘Dan pergaulilah manusia dengan akhlaq yang mulia.’
Telah berlalu pembicaraan tentang ini, dan cukup bagi saya untuk menyebutkan beberapa atsar tentang akhlaq mulia…

Ibnul Mubarak V telah memberikan definisi bagi akhlaq mulia dengan dua definisi;
Pertama, cerianya wajah, mencurahkan kebaikan, dan menahan diri dari gangguan.
Kedua, akhlaq mulia adalah Engkau mampu menahan apa yang ada dari manusia.

Ibnu Rajab V telah menyebutkan keduanya di dalam Jami’ al-‘Uluum wal Hikam.

Al-Marwadiy V berkata, ‘Jika akhlaq-akhlaq manusia mulia, maka banyaklah orang yang akan mengantrinya, dan sedikitlah orang yang memusuhinya, menjadi mudahlah baginya segala perkara yang sulit, dan menjadi lunaklah untuknya hati-hati yang murka.’ (Adabud Dunya wad Diin, al-Marwadiy, hal. 237)

Sebagian ahli sastra berkata, ‘Akhlaq mulia, karenanya dia akan berada dalam ketentraman, karenanya manusia berada dalam keselamatan; sementara buruknya akhlak, karenanya manusia berada dalam musibah, dan karena dirinya dia berada dalam gangguan.” (Adabud Dunya wad Diin, al-Marwadiy, hal. 237)

Dan sayat tutup dengan ucapan Ibnul Mubarak V, ‘Kita lebih butuh kepada sedikitnya adab (prilaku yang baik) daripada banyaknya ilmu.’ (Taarikh Madiinati Dimasq, Ibnu Hibbatullah (32/445).

(1) Yaitu debu yang terlihat di seberkas cahaya matahari karena lembutnya debu tersebut

(Diambil dari kitab Tsulaatsiyaat Nabawiyah Jilid II, DR. Mihran Mahir ‘Utsman, dialih bahasakan oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *