Dari ‘Ammar bin Yasir L, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda,
[arabic-font] «ثَلاَثَةٌ لاَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ أَبَداً: الدَّيُّوْثُ، وَالرَّجُلَةُ مِنَ النِّسَاءِ، وَمُدْمِنُ الْخَمْرِ». قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَمَّا مُدْمِنُ الْخَمْرِ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ، فَمَا الدَّيُّوْثُ؟ قَالَ: «الَّذِيْ لاَ يُبَالِيْ مَنْ دَخَلَ عَلىَ أَهْلِهِ». قُلْنَا: فَمَا الرَّجُلَةُ مِنَ النِّسَاءِ؟ قَالَ: «الَّتِيْ تُشَبِّهُ بِالرِّجَالِ»[/arabic-font]
“Tiga (golongan orang) yang mereka tidak akan masuk sorga selamanya; dayyuts, rajulah dari kalangan wanita, dan pecandu khomer.” Mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, adapun pecancu khomer, maka kami telah mengetahuinya, siapakah dayyuts itu? Beliau menjawab, ‘Yaitu orang yang tidak memperdulikan siapapun yang masuk (menemui) istrinya.” Kami katakan, ‘Lalu siapakah rajulah dari kalangan wanita itu?’ Beliau menjawab, ‘Wanita yang menyerupai kaum laki-laki.” (HR. at-Thabraniy)
Hadits ini mencakup ancaman yang sangat keras terhadap tiga perkara;
Pertama, dayyuts.
Dayyuts, didefinisikan oleh Nabi ﷺ di dalam hadits ini dengan sabda beliau, ‘Yaitu orang yang tidak memperdulikan siapapun yang masuk (menemui) istrinya.’ Dialah orang yang tidak cemburu terhadap kehormatannya.
Maka penafsiran Nabi ﷺ bagi dayyuts adalah termasuk bab penafsiran dengan mitsal (perbandingan, contoh), yaitu tidak adanya cemburu terhadap istrinya.
Cemburu, adalah kenjantanan dan harga diri.
Dikatakan rajulun ghuyuurun (lelaki pencemburu), imra`atun ghuyuurun wa ghairaa (wanita pencemburu). Dan al-mighyaar, adalah sangat cemburu. Fulaanun laa yataghoiyyar ‘alaa ahlihii, Si Fulan tidak cemburu terhadap mereka (keluarga, istri)nya.
Cemburu terhadap kehormatan diri adalah bukti kejantanan. Oleh karena itulah akhlaq ini dikenal dikalangan para sahabat M.
Dan termasuk perkara yang menunjukkan perkara itu adalah apa yang telah shahih di dalam as-Shahihain bahwa Sa’d bin ‘Ubadah berkata,
[arabic-font] لَوْ رَأَيْتُ رَجُلًا مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفَحٍ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ؟ فَوَاللهِ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللَّهُ أَغْيَرُ مِنِّي، وَمِنْ أَجْلِ غَيْرَةِ اللَّهِ حَرَّمَ الفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ»[/arabic-font]
“Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama dengan istriku, maka pastilah aku akan pukul dia dengan pedang, tanpa memukulnya dengan yang tumpul (tapi dengan bagian yang tajam).’ Maka Nabi ﷺ bersabda, ‘Apakah kalian merasa heran karena kecemburuan Sa’d? Maka demi Allah, aku benar-benar lebih cemburu dari dia. Dan Allah, lebih cemburu dari aku, dan karena kecemburuan Allah, dia haramkan segala yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.”
Dan di dalam riwayat Muslim, Sa’d bin ‘Ubadah I berkata,
[arabic-font] يا رَسُولَ اللهِ، لَوْ وَجَدْتُ مَعَ أَهْلِي رَجُلًا لَمْ أَمَسَّهُ حَتَّى آتِيَ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ؟ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَعَمْ»، قَالَ: كَلَّا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، إِنْ كُنْتُ لَأُعَاجِلُهُ بِالسَّيْفِ قَبْلَ ذَلِكَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اسْمَعُوا إِلَى مَا يَقُولُ سَيِّدُكُمْ، إِنَّهُ لَغَيُورٌ، وَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي»[/arabic-font]
“Ya Rasulullah, seandainya saya mendapati istri saya bersama dengan seorang laki-laki, saya tidak boleh menyentuhnya (si lelaki) hingga saya datang dengan empat orang saksi?’ Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Sekali-kali tidak, demi Dzat yang mengutus Anda dengan kebenaran, jika saya (melihatnya demikian), maka pastilah saya akan mensegerakannya dengan pedang sebelum itu.’ Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Dengarkanlah oleh kalian apa yang dikatakan oleh penghulu kalian, sesungguhnya dia itu benar-benar seorang pencemburu, dan aku lebih cemburu dari dia, dan Allah lebih cemburu dariku.”
Dan di dalam sebuah riwayat Abu Ya’la, dan di dalam Mushannaf ‘Abdirrazzaq, Rasulullah ﷺ bersabda,
[arabic-font] «يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ، أَلَا تَسْمَعُونَ إِلَى مَا يَقُولُ سَيِّدُكُمْ؟» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَا تَلُمْهُ فَإِنَّهُ رَجُلٌ غَيُورٌ، وَاللَّهِ مَا تَزَوَّجَ امْرَأَةً قَطُّ إِلَّا بِكْرًا، وَلَا طَلَّقَ امْرَأَةً قَطُّ فَاجْتَرَأَ رَجُلٌ مِنَّا عَلَى أَنْ يَتَزَوَّجَهَا مِنْ شِدَّةِ غَيْرَتِهِ، فَقَالَ سَعْدٌ: وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّهَا حَقٌّ وَأَنَّهَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ، وَلَكِنْ قَدْ تَعَجَّبْتُ[/arabic-font]
“Wahai sekalian kaum Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh penghulu kalian?’ Mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, janganlah Anda mencelanya, sesungguhnya dia adalah seorang laki-laki pencemburu. Demi Allah, tidaklah dia menikahi seorang wanitapun melainkan yang perawan. Dan tidaklah dia menceraikan seorang wanitapun, lalu ada seorang lelaki yang berani menikahinya karena kecemburuannya yang sangat.’ Maka Sa’d berkata, ‘Demi Allah, Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tahu itu adalah hak, dan dari sisi Allah, akan tetapi saya telah takjub.”
An-Nawawi V berkata, ‘Tidaklah ucapannya karena membantah sabda Nabi ﷺ, tidak juga sebagai pembangkangan Sa’d bin ‘Ubadah terhadap perintah beliau ﷺ. Namun maknanya adalah pemberitaan seorang manusia saat melihat seorang laki-laki di sisi istrinya, dan memuncaknya kemarahan atasnya. Maka saat itu, dia akan mendahuluinya dengan pedang sekalipun dia bermaksiat.” (Syarh Muslim, X/131)
Ucapan Sa’d ini diucapkan sebelum adanya pensyari’atan li’an, sebagaimana ditunjukkan oleh sebagian riwayat di dalam Musnad Imam Ahmad.
Marilah kita memperhatikan –akhi dan ukhti yang mulia- kepada sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir di dalam al-Bidayah wa an-Nihayah (XI/83), dia berkata, ‘Dan termasuk perkara ajaib yang terjadi pada tahun ini -286 H- adalah bahwa ada seorang wanita melapor kepada seorang Qadhi, dan menuntut mahar kepada suaminya sebesar lima ratus dinar, dan si suami mengingkarinya. Maka diapun datang dengan membawa bukti yang menjadi saksi untuknya. Maka meraka berkata, ‘Kami ingin agar ia membuka wajahnya, agar kami mengetahui bahwa dia adalah sang istri atau bukan.’ Maka tatkala mereka memutuskan yang demikian, berkatalah sang suami, ‘Jangan kalian lakukan, dia jujur dalam perkara yang dia tuduhkan.’ Lalu diapun mengakui apa yang diklaim oleh si istri, demi menjaga istrinya dari pandangan (laki-laki) kepada wajahnya. Maka si wanita berkata –saat dia mengetahui sang suami melakukan yang demikian adalah bahwa dia mengakuinya demi menjaga wajahnya dari pandangan (laki-laki ajnabiy), ‘Ia halal dari maharku yang menjadi kewajibannya di dunia dan di akhirat.”
Perkara kedua yang Nabi ﷺ mempertakuti darinya, khomer
Saya tidak akan mengupas dalil-dalil yang mengancam peminum khomer, karena perkara ini termasuk hal yang waktu singkat ini tidak akan mengizinkannya, akan tetapi saya akan mencukupkan diri dengan menyebut sebuah kisah menakjubkan…
Disebutkan di dalam Sunan an-Nasa`iy, al-Baihaqiy, Mushonnaf ‘Abdirrazzaq, dan Shahih Ibnu Hibban, dari ‘Utsman bin ‘Abban I, dia berkata,
[arabic-font] كَانَ رَجُلٌ فِيْمَنْ خَلاَ قَبْلَكُمْ يَتَعَبَّدُ وَيَعْتَزِلُ النَّاسَ، فَأَحَبَّتْهُ امْرَأَةُ بَغِيٍّ، فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ جَارِيَتَهَا أَنْ تَدْعُوَهُ لِشَهَادَةٍ، فَجَاءَ الْبَيْتَ وَدَخَلَ مَعَهَا، فَكَانَتْ كُلَّمَا دَخَلَ بَاباً أَغْلَقَتْهُ دُوْنَهُ، حَتىَّ وَصَلَ إِلىَ امْرَأَةٍ وَضِيْئَةٍ –يَعْنِيْ: جَمِيْلَةٍ- جَالِسَةٍ، عِنْدَهَا غُلاَمٌ وَإِنَاءُ خَمْرٍ، فَقَالَتْ لَهُ: إِنَّا لَمْ نَدْعُكَ لِشَهَادَةٍ، وَإِنَّمَا دَعْوْتُكَ لِتَقَعَ عَلَيَّ، أَوْ تَقْتُلَ الْغُلاَمَ، أَوْ تَشْرَبَ الْخَمْرَ، فَإِنْ أَبَيْتَ صَحْتُ بِكَ وَفَضَّحْتُكَ. فَلَمَّا رَأَى أَنَّهُ لاَ بُدَّ لَهُ مِنْ أَحَدِ هَذِهِ الْأُمُوْرِ تَهَاوَنَ بِالْخَمْرِ، فَشَرِبَهُ، فَسَكَرَ، ثُمَّ زَنَى بِالْمَرْأَةِ وَقَتَلَ الْغُلاَمَ. فَاجْتَنِبُوا الْخَمْرَ فَإِنَّهَا لاَ تَجْتَمِعُ هِيَ وَالْإِيْمَانُ أَبَداً إِلاَّ أَوْشَكَ أَحَدُهُمَا أَنْ يُخْرِجَ صَاحِبَهُ[/arabic-font]
“Ada seorang laki-laki ditengah orang yang telah berlalu sebelum kalian, dia beribadah kepada Allah, dan mengasingkan diri dari manusia. Lalu ada seorang wanita pelacur yang mencintainya. Kemudian si wanita mengirimkan pembantu wanitanya untuk memanggilnya untuk suatu persaksian. Maka diapun mendatangi rumah tersebut dan masuk bersamanya. Maka setiap kali dia masuk sebuah pintu, pembantu wanita itupun menutupnya, hingga ia sampai kepada seorang wanita cantik yang sedang duduk, sementara di sisinya ada seorang bocah kecil, dan sebuah wadah berisi khomer. Lalu wanita itu berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya kami tidak memanggil Anda untuk suatu persaksian, namun aku memanggilmu agar Engkau menzinahi aku, atau membunuh anak ini, atau Engkau meminum khomer. Jika Engkau tidak mau, maka aku akan berteriak dan kusingkap keburukanmu. Maka tatkala dia melihat bahwa dia harus melakukan salah satu dari perkara-perkara tersebut, maka dia menggampangkan khomer, lalu dia meminumnya, lalu mabuk, kemudian berzina dengan wanita tersebut dan membunuh anak kecil tersebut. Maka jauhilah oleh kalian khomer, dikarenakan khomer tidak akan berkumpul dengan iman selamanya, melainkan salah satu dari keduanya akan mengeluarkan yang lain.”
Dan ijinkan saya wahai ikhwah dan akhowat untuk sedikit berdialog bersama dengan pecandu khomer…
Wahai saudaraku…
Wahai pecandu khomer…
Saya tidak akan mengingatkan Anda dengan nash-nash ancaman yang Anda dan saya telah mengetahuinya. Akan tetapi saya akan bertanya kepada Anda satu pertanyaan;
Jika putri kecil Anda datang kepada Anda, dan dia ingin membeli biskuit atau permen, lalu Anda berikan uang kepadanya, kemudian saat dia berjalan menuju warung (untuk membeli keinginannya) tiba-tiba ada seseorang yang menggangu dan merampas uangnya, apakah Anda ridha akan hal itu? Ataukah hati Anda akan diluputi oleh rasa sakit karena anak Anda diganggu dan diambil uangnya? Tidak diragukan lagi, bahwa ini adalah perkara yang sulit…
Tahukah Anda wahai saudaraku yang tercinta, bahwa pencuri yang mengganggu ini adalah Anda…
Andalah yang telah menggangu anak Anda?
Bagaimana hal itu terjadi?
Dikarenakan harta yang Anda cerai beraikan dalam minuman memabukkan itu adalah hak anak Anda… hak istri Anda… hak orang-orang yang wajib Anda nafkahi.
Sungguh, Anda telah menzhalimi diri Anda, dengan bermaksiat kepada Allah, pun Anda telah menghadapkan diri Anda kepada murka-Nya, Andapun telah menzhalimi orang yang seharusnya Anda tanggung dari keluarga Anda. Saya bermohon kepada Allah agar memberikan hidayah kepada Anda…
Perkara ketiga, wanita yang menyerupai laki-laki.
Sungguh, Nabi ﷺ telah melaknat kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita, dan kaum wanita yang menyerupai kaum laki-laki.
Telah shahih di dalam Shahih al-Bukhari, dari Ibnu ‘Abbas L, dia berkata,
[arabic-font] «لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ»[/arabic-font]
“Rasulullah ﷺ telah melaknat kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum laki-laki.”
Di dalam sebuah riwayat,
[arabic-font] لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ، وَالمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ[/arabic-font]
“Nabi ﷺ melaknat kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum laki-laki.”
Dan di dalam Sunan Abu Dawud, dari Abu Hurairah I, dia berkata,
[arabic-font] «لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ، وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ»[/arabic-font]
“Rasulullah ﷺ melaknat laki-laki yang memakai baju (dengan cara pakai baju) wanita, dan (Rasulullah ﷺ melaknat) wanita yang memakai baju (dengan cara pakai baju) laki-laki.”
Di dalam Sunan al-Baihaqiy,
[arabic-font] «ثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ الْعَاقُّ وَالِدَيْهِ , وَالدَّيُّوثُ وَرَجُلَةُ النِّسَاءِ»[/arabic-font]
“Tiga (golongan orang) yang mereka tidak akan masuk sorga; orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, dayyuts (lelaki yang tidak punya cemburu terhadap keluarganya, -pent), dan wanita yang menyerupai laki-laki.”
Sungguh buruk, wanita yang menyerupai laki-laki, namun lebih buruk dari itu adalah penyerupaan kaum laki-laki terhadap kaum wanita. Dan ini adalah sebenar-benarnya petaka, wal’iyaadzu billah.
Apa yang tersisa? Yang tersisa adalah saya akan mengisyaratkan bahwa nash-nash yang di dalamnya disebutkan tidak masuknya pelaku suatu maksiat ke dalam sorga, maksudnya adalah tidak masuknya mereka kedalam sorga tanpa di dahului oleh adzab, dan dikatakan juga yang selain itu.
Akan tetapi, termasuk bagian dari aqidah Islam adalah bahwa setiap dosa selain syirik berada di bawah masyi`ah (kehendak) Allah. Dan tidak mewajibkan kekal di dalam neraka kecuali Syirik.
Allah ﷻ berfirman,
[arabic-font] إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ[/arabic-font]
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya…” (QS. an-Nisaa` (4): 48, 116)
Maka tidak ada pertentangan diantara nash-nash al-Qur`an dan as-Sunnah.
[arabic-font] وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفٗا كَثِيرٗا ٨٢[/arabic-font]
“… kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. an-Nisaa` (4): 82)
(Diambil dari kitab Tsulaatsiyaat Nabawiyah Jilid I, DR. Mihran Mahir ‘Utsman, dialih bahasakan oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)