Yang Dijauhi Dalam Masa Berihdad

 

Wanita yang berihdad (ada dalam masa ‘iddah kematian suami) harus menjauhi beberapa perkara berikut:

 

  1. Celak Mata

 

Tidak boleh mengenakannya pada masa ihdad, sekalipun untuk pengobatan. Berdasarkan hadits Ummu Salamah  radhiyallaahu ‘anha yang terdahulu tentang kisah seorang wanita yang mengeluhkan matanya, lalu meminta idzin kepada Rasulullah ﷺ untuk bercelak, sementara suaminya telah meninggal, maka beliau bersabda, ‘Janganlah dia bercelak.’

 

Terdapat cara lain untuk berobat tanpa bercelak, seperti menggunakan obat tetes mata, salep dan semacamnya, semua itu dibolehkan.

 

  1. Wewangian dengan segala macamnya.

 

Maka tidak ada khilaf dalam hal pengharamannya dalam masa ihdad, yang mendasarinya adalah hadits Ummu Habibah radhiyallaahu ‘anha yang terdahulu saat dia keluar dari masa ihdad dia terhadap bapaknya, Abu Sufyah, lalu dia meminta diambilkan minyak wangi, lalu diapun berminyak wangi dengannya.

 

Catatan:

 

Dikecualikan dari jenis wewangian adalah apa yang diberikan keringanan untuk digunakan oleh wanita yang hendak mandi dari haidh guna menghilangkan bau tidak sedap, lalu dia teliti bekas darah, bukan untuk tujuan berminyak wangi. Dan inilah yang dimaksud dengan ucapan Ummu ‘Athiyah ‘Diberikan keringanan bagi kami pada sedikit kust azhfar.’ Yang dia maksud adalah sepotong bukhur atau wewangian yang dikenal di sisi mereka.

 

  1. Perwarna kuku (berupa inai dan semisalnya, dan kosmetik)

 

Di dalam hadits Ummu Salamah disebutkan,

 

… وَلَا تَخْتَضِبُ…

 

“… dan janganlah dia mewarnai kuku…” HR. Abu Dawud dengan sanad shahih.([1])

 

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, ‘Aku tidak mengetahui adanya khilaf bahwa pewarna kuku masuk dalam kriteria perhiasan yang dilarang.’ Selesai

 

Masuk dalam kriteria pewarna kuku adalah segala macam kosmetik. Ibnu Qudamah berkata di dalam al-Mughniy (VII/518), ‘Diharamkan atasnya untuk mewarnai kuku, memake-up wajahnya dengan bedak, memutihkannya dengan pemutih, atau mengenakan serbuh kuning pada wajahnya, memoles wajah dan kedua tangannya, melembutkan wajahnya dan segala hal serupa yang tujuannya adalah untuk memperindah penampilannya.” Selesai.

 

  1. Mengenakan baju yang dicelup dengan warna([2]), baju yang dicelup dengan bunga ‘ushfur([3]), baju yang dicelup warna bata merah (mengenakan perhiasan pada baju)

 

Berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyah,

 

وَلاَ نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوغًا، إِلَّا ثَوْبَ عَصْبٍ…»

 

“dan tidak (boleh) memakai baju yang dicelup warna, kecuali baju ‘ashb…”([4])

 

Dan di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih, dari Ummu Salamah, bahwa Nabi ﷺ bersabda,

 

«الْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا لَا تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ مِنَ الثِّيَابِ، وَلَا الْمُمَشَّقَةَ، وَلَا الْحُلِيَّ، وَلَا تَخْتَضِبُ، وَلَا تَكْتَحِلُ»

 

“Wanita yang suaminya meninggal dunia, dia tidak (boleh) memakai baju yang dicelup dengan ‘ushfur, baju yang dicelup dengan misyq([5]), tidak (boleh memakai) perhiasan, tidak (boleh) mewarnai kuku, dan tidak (boleh) bercelak.”([6])

 

Maka di dalam kedua hadits tersebut, terdapat larangan memakai baju yang dicelup dengan warna merah, kuning, hijau, atau biru, dan setiap baju yang dicelup warna untuk memperindah penampilan dan perhiasan.” (Zaadul Ma’aad, V/705)

 

Yang diberikan keringanan adalah pemakaian baju ‘ashb, yaitu semacam jubah Yaman, yang penenunannya dikumpulkan, yaitu diikat, kemudian dicelup, baru kemudian di pintal.

 

Dan para ‘ulama memberikan keringanan pemakaian baju berwarna putih, karena tidak ada larangan darinya.

 

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, ‘Setiap orang (para ulama) yang kami hafal (ambil ilmu dari mereka) telah memberikan keringanan terhadap baju putih.”

 

  1. Memakai perhiasan dengan segenap macamnya.

 

Maka haram atasnya untuk mengenakan cincin, kalung, atau selainnya yang terbuat dari emas, perak, dan semacamnya.

 

Imam Malik rahimahullah berkata di dalam al-Muwaththa` (II/599), ‘Wanita yang berihdad atas suaminya, tidak mengenakan perhiasan apapun; baik cincin, binggel (gelang kaki), tidak cuka perhiasan yang lain.” Selesai.

 

Terdapat beberapa perkara yang dibolehkan bagi wanita yang berihdah,

 

  1. Memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu yang dianjurkan untuk dicukur, dan mandi dengan sabun.

 

Tidak ada larangan sama sekali dari hal-hal ini, dan boleh baginya untuk mandi dengan sabun selagi tidak meniatkan dengan sengaja untuk berwewangian.

 

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, ‘Wanita tidak dilarang dari membersihkan diri dengan memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu yang dianjurkan untuk dicukur, juga tidak dilarang mandi dengan menggunakan sidr (daun bidara), dan bersisir dengannya, karena tujuannya adalah kebersihan diri dan bukan untuk wewangian.” Selesai.

 

  1. Meminyaki rambut kepala dengan minyak rambut

 

Ruang kebolehannya adalah jika bukan untuk berwewangian, tidak juga untuk berhias.

 

Imam Malik rahimahullah berkata, ‘Wanita yang suaminya meninggal dunia boleh berminyak rambut dengan minyak dan semacamnya, jika tidak ada wewangian di dalamnya.” (al-‘Adad wa al-Ihdaad, Syaikh Mushthafa al-‘Adawiy, hl. 20-21)

 

6. Menginap di selain rumah yang suaminya meninggal di dalamnya.

 

(Diambil dari Kitab Silsilah Akhthaaunnisaa` (2) Akhthooun Nisa al-Muta’alliqah fi al-Janaaiz, Syaikh Nada Abu Ahmad, alih bahasa oleh Muhammad Syahri)

_____________________________

Footnote:

([1]) HR. Abu Dawud (2304), Ahmad (26623), an-Nasa`iy (3535), Shahih al-Jaami’ (6677), al-Irwa` (2129), Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (35/329)-pent

([2]) Yang menurut adat kebiasaan adalah warna-warni yang memikat dan menarik perhatian-pent

([3])Pakaian yang dicelup dengan ‘ushfur, sejenis tumbuhan yang tumbuh di Jazirah Arab (yang bijinya dibuat minyak), sehingga warna pakaian yang dicelup tersebut berubah menjadi kuning atau merah yang khas. -pent

([4]) HR. al-Bukhari (313, 5341), Muslim (938)-pent

([5]) Yaitu baju yang dicelup warna tanah merah (Sunan Abu Dawud, tahqiiq Syaikh al-Arnauth (III/612)-pent

([6]) HR. Abu Dawud (2304), Ahmad (26623), an-Nasa`iy (3535), Shahih al-Jaami’ (6677), al-Irwa` (2129), Lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid (35/329)-pent

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *