عَنْ ثَوْبَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا، وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةَ، وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ»
Dari Tsauban radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Istiqamahlah kalian, maka kalian tidak akan bisa menghitung (pahala dan keutamaannya). Dan ketahuilah oleh kalian bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat, dan tidak akan menjaga wudhu` melainkan seorang mukmin.” (HR. Malik, Ahmad, Ibnu Majah)(1)
Wasiat pertama, istiqamah.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan istiqamah, lalu apakah itu istiqamah?
Definisinya telah diriwayatkan dari atsar para khalifah yang empat(2);
Shiddiiqul ummah, dan yang paling agung keistiqamahannya diantara umat ini, Abu Bakar radhiyallaahu ‘anhu pernah ditanya tentang istiqamah, maka beliau menjawab,
أَنْ لاُ تُشْرِكَ بِاللهِ شَيْئًا
“Engkau tidak mensekutukan Allah dengan sesuatupun.”
‘Umar bin al-Khaththaab radhiyallaahu ‘anhu berkata,
الاِسْتِقَامَةُ: أَنْ تَسْتَقِيْمَ عَلىَ الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَلاَ تَرُوْغُ رَوْغَانَ الثَّعَالِبِ
“Istiqamah itu adalah Engkau beristiqamah (tegak lurus) di atas perintah dan larangan, dan jangan Engkau menyimpang seperti berbolak-baliknya musang.”
Berbolak-balik (kesana kemari) itu adalah kebiasaan orang Yahudi.
Disebutkan di dalam as-Shahiihain dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma bahwasannya dia pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda pada tahun penaklukan kota Makkah –sementara beliau di Makkah-:
«إِنَّ اللهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ، وَالْمَيْتَةِ، وَالْخِنْزِيرِ، وَالْأَصْنَامِ». فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ؛ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ، وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ، وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ؟ فَقَالَ: «لَا، هُوَ حَرَامٌ». ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: «قَاتَلَ اللهُ الْيَهُودَ؛ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ، ثُمَّ بَاعُوهُ، فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ»
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khomer, bangkai, babi dan berhala.” Maka dikatakan, ‘Ya Rasulallah, bagaimana pandangan Anda dengan lemak bangkai; kapal biasa dicat dengannya, kulit-kulipun biasa diminyaki dengannya, dan manusia pun membuat penerangan dengannya? Maka beliau bersabda, ‘Tidak, ia haram.’ Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda saat itu, ‘Mudah-mudahan Allah membinasakan orang-orang Yahudi, sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla, saat Dia mengharamkan lemaknya (hewan ternak) atas mereka, maka mereka mencairkannya, kemudian menjualnya, lalu memakan harganya.”(3)
‘Utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anhu berkata,
استَقَامُوا: أَخْلَصُوا الْعَمَلَ لِلهِ
“’Mereka beristiqamah: mereka mengikhlashkan segala amal hanya untuk Allah.”
‘Aliy, dan Ibnu ‘Abbas L berkata,
استَقَامُوا: أَدَوا الْفَرَائِضَ
“Mereka beristiqamah: mereka menunaikan kewajiban-kewajiban.”
Dan makna lan tuhshuu, dikatakan maksudnya adalah, ‘Maka berbuatlah dengan benar, dan bersedang-sedanglah.”
As-Sadaad adalah hakikat dari istiqamah, yaitu benar dalam segala ucapan dan perbuatan.
Al-Muqaarabah adalah mengenai apa yang dekat dengan tujuan jika belum mengenai tujuan itu sendiri.
Akan tetapi dengan syarat bahwa orang tersebut berketetapan hati untuk tujuan benar dan mencapai maksud, maka jadilah pendekatannya adalah tanpa disengaja.
Dan dikatakan maknanya adalah kalian tidak akan bisa menghitung berapakah pahala untuk kalian dengan keistiqamahan kalian.
Dan ini menuntun kita kepada pembicaraan tentang buah dari istiqamah; yaitu;
Penjagaan di dunia dan akhirat, serta berita gembira saat kematian dengan tidak adanya ketakutan, kesedihan, dan juga dengan adanya berita gembira dengan sorga.
Allah subhaanahuu wa ta’aalaa telah berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ ٣٠ نَحۡنُ أَوۡلِيَآؤُكُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِۖ وَلَكُمۡ فِيهَا مَا تَشۡتَهِيٓ أَنفُسُكُمۡ وَلَكُمۡ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ ٣١ نُزُلٗا مِّنۡ غَفُورٖ رَّحِيمٖ ٣٢
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan Kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushshilat (41): 30-32)
Ibnu Katsir rahimahullah di dalam at-Tafsiir (VII/177) berkata, ‘Maka Malaikat akan turun kepada mereka’, Mujahid, as-Sidiy, Zain bin Aslam dan putranya berkata, ‘Yaitu saat kematian, seraya mereka berkata, ‘Janganlah kamu takut’ Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid bin Aslam berkata, ‘Yaitu dari apa yang kalian datangi dari perkara akhirat.’ ‘Dan janganlah merasa sedih’ atas apa yang telah kalian tinggalkan dari perkara dunia; berupa anak, keluarga, harta dan hutang, dikarenakan kamilah yang akan menggantikan kalian padanya.’ ‘Dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu’, maka merekapun memberitakan berita gembira kepada mereka dengan hilangnya segala keburukan, dan dengan teraihnya segala kebaikan.”
Wasiat kedua, shalat.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
«وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةَ»
“Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat.”
Dan ini mengandung wasiat dengannya.
Dan shalat adalah penghalang dari dosa-dosa. Allah subhaanahuu wa ta’aalaa berfirman,
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ
“… Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar…” (QS. al-‘Ankabuut (29): 45)
Dan shalat adalah penghapus dosa. Sungguh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
«أرَأيْتُمْ لَوْ أنَّ نَهْرَاً بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ، هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرنهِ شَيْءٌ»؟ قالوا: لا يَبْقَى مِنْ دَرنهِ شَيْءٌ. قَالَ: «فَذلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الخَمْسِ يَمْحُو اللهُ بِهِنَّ الخَطَايَا»
“Bagaimana pandangan kalian, seandainya ada sebuah sungai di depan pintu-pintu salah seorang dari kalian; dia mandi darinya setiap harinya lima kali. Maka apakah akan tersisa dari kotorannya sesuatupun?” Mereka berkata, ‘Tidak akan tersisa dari kotorannya sedikitpun.’ Beliau bersabda, ‘Maka yang demikian adalah perumpamaan shalat lima waktu, dengannya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan.” (Muttafaqun ‘alaihi)(4)
Disebutkan di dalam al-Mu’jam al-Ausath milik at-Thabraniy rahimahullah, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
«إِنَّ لِلهِ مَلَكًا يُنَادِي عِنْدَ كُلِّ صَلَاةٍ: يَا بَنِي آدَمَ، قُومُوا إِلَى نِيرَانِكُمْ الَّتِي أَوْقَدْتُمُوهَا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَأَطْفِئُوهَا بِالصَّلَاةِ»
“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang menyeru setiap shalat, ‘Wahai anak Adam, berdirilah kalian menuju api kalian yang telah kalian nyalakan atas diri-diri kalian, lalu padamkanlah ia dengan shalat.”(5)
Dari ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu
أنَّ رَجُلاً أصَابَ مِن امْرَأَةٍ قُبْلَةً، فَأتَى النبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأخْبَرَهُ، فَأنْزَلَ اللهُ تَعَالَى: أَقِمِ الصَّلاَةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفاً مِنَ اللَّيْلِ إنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ. فَقَالَ الرَّجُلُ أَلِيَ هَذَا ؟ قَالَ «لِجَمِيعِ أُمَّتِي كُلِّهِمْ»
“Bahwa ada seorang laki-laki mencium seorang wanita. Lalu dia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian dia memberitakan hal itu kepada beliau. Maka Allah subhaanahuu wa ta’aalaa menurunkan ayat: ‘Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk…’ Maka berkatalah laki-laki tersebut, ‘Apakah ini untuk saya?’ Maka beliau bersabda, ‘Untuk keseluruhan umatku, semuanya.’ (Muttafaqun ‘alaih)(6)
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
«الصَّلَوَاتُ الخَمْسُ، وَالجُمُعَةُ إِلَى الجُمُعَةِ، كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ، مَا لَمْ تُغشَ الكَبَائِرُ»
“Shalat lima waktu, jum’at ke jum’at adalah penghapus bagi dosa-dosa yang ada diantaranya selagi dosa-dosa besar tidak dilakukan.” (HR. Muslim)(7)
Dan sungguh Allah subhaanahuu wa ta’aalaa, di dalam kitab-Nya telah mengancam orang yang meninggalkan rukun yang agung ini. Dan cukuplah bagi Anda untuk mengetahui bahwa para ‘ulama telah berselisih pendapat tentang orang yang meninggalkan shalat; apakah dia, jika dia mati, dikubur di pekuburan kaum muslimin ataukah di kubur di pekuburan orang-orang kafir? Dan tidak ada khilaf diantara mereka bahwa dia telah kafir. Akan tetapi apakah kekafirannya itu mengeluarkan dia dari agama? Pada hal ini terdapat dua pendapat.
Allah subhaanahuu wa ta’aalaa berfirman,
۞فَخَلَفَ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ خَلۡفٌ أَضَاعُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُواْ ٱلشَّهَوَٰتِۖ فَسَوۡفَ يَلۡقَوۡنَ غَيًّا ٥٩
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam (19): 59)
Ia (ghayya) adalah sebuah lembah di Jahannam.
Allah subhaanahuu wa ta’aalaa berfirman,
فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ ٤ ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ ٥
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. al-Maa’uun (107): 4-5)
‘Athaa` bin Yasar rahimahullah berkata, ‘al-Wail adalah sebuah lembah di Jahannam, yang seandainya gunung-gunung dilewatkan di dalamnya, maka pastilah ia akan meleleh.” (Tafsiir Ibnu Katsiir, I/311)
Di dalam Musnad Ahmad, dari ‘Abdillah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau pernah menyebut shalat di suatu hari, lalu beliau bersabda,
«مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا وَبُرْهَانًا وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ وَلَا بُرْهَانٌ وَلَا نَجَاةٌ، وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ»
“Barangsiapa menjaganya, maka ada untuk cahaya, bukti, dan keselamatan pada hari kiamat. Dan barangsiapa tidak menjaganya, maka dia tidak memiliki cahaya, bukti dan keselamatan. Dan nanti pada hari kiamat, dia akan bersama dengan Qoruun, Fir’aun, Haamaan, dan Ubaiy bin Khalaf.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ‘Barangsiapa sibuk dengan kekuasaannya, maka dia bersama Fir’aun; barangsiapa sibuk dengan hartanya, maka dia bersama Qooruun; barangsiapa sibuk dengan kementriannya, maka dia bersama dengan Haamaan; dan barangsiapa sibuk dengan perniagaannya, maka dia bersama dengan Ubay bin Kholaf.”
Wasiat ketiga, wudhu`.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk menjaga wudhu`.
Al-Munawiy rahimahullah berkata di dalam Faidh al-Qadiir (I/636), ‘Dengan menyempurnakannya, melanggengkannya, dan menunaikan sunnah-sunnah dan adab-adabnya.”
Yang dimaksud dengannya juga adalah hendaknya seseorang itu berwudhu` setiap kali dia berhadats sekalipun dia tidak berkehendak untuk shalat, sekalipun waktu tersebut bukanlah waktu shalat.
Dan wudhu` itu termasuk bagian dari keimanan sebagaimana telah dijelaskan oleh sunnah.
Sungguh, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
«الطُّهُوْرُ شَطْرُ الإِيْمَانِ»
“Bersuci itu adalah separuh dari keimanan.” (HR. Muslim)(8)
At-Tuhuur, dengan dhammahnya huruf thaa`, yaitu bersuci dari hadats dengan air.
Adapun dengan fathahnya (at-Thahuur) maka maknya adalah air (yang digunakan untuk bersuci)
Syathr adalah separuh.
Dan apa maksudnya? Para ulama memiliki beberapa pendapat dalam hal ini.
Yang menjadi kepentingan kita adalah penunjukan hadits tersebut bahwa wudhu` adalah termasuk bagian dari keimanan. Oleh karena itulah kita mendapati ayat wudhu` di dalam al-Qur`an dikeluarkan dengan panggilan kepada orang-orang beriman; yaitu “wahai orang-orang yang beriman.”
Maka ayat mana saja yang di dalamnya Allah memanggil orang-orang mukmin, kemudian mengikutkan panggilan-Nya dengan suatu perintah, maka sesungguhnya apa yang Dia perintahkan ini adalah termasuk bagian dari keimanan kepada Allah.
Dan sebaliknyapun benar; jika larangan muncul dengan panggilan keimanan, maka hal ini menunjukkan bahwa melakukan larangan ini mengurangi keimanan.
(Diambil dari kitab Tsulaatsiyaat Nabawiyah Jilid III, DR. Mihran Mahir ‘Utsman, dialih bahasakan oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)
__________________________________________
Footnote:
1() HR. Malik (450), Ahmad (22432), Ibnu Majah (278), at-Thabaraniy, al-Kabir (1444), lihat Shahih al-Jaami’ (952), as-Shahiihah (115), al-Irwa` (412), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid, 6/478.-pent
2() Lihat Madaarij as-Saalikiin (II/104)
3() HR. al-Bukhari (2236), Muslim (1581)-pent
4() HR. al-Bukhari (528), Muslim (667)-pent
5() HR. at-Thabraniy dalam al-Ausath (9452), didha’ifkan oleh al-Albaniy dalam Dha’iif al-Jaami’ (1958)-pent
6() HR. al-Bukhari (526), Muslim (2763), dan ini adalah lafazh al-Bukhari.-pent
7() HR. Muslim (233)-pent
8() HR. Muslim (223), at-Tirmidzi (3517), Ibnu Majah (280), Ahmad (22959)-pent