Dari Abu Dzar I, dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
[arabic-font] «ثَلَاثَةٌ يَشْنَؤُهُمْ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: التَّاجِرُ الحلاف، وَالْبَخِيلُ الْمَنَّانُ، وَالْفَقِيرُ الْمُخْتَالُ»[/arabic-font]
“Tiga golongan orang yang Allah ﷻ membenci mereka; seorang pedagang yang mudah bersumpah (melariskan dagangannya); orang bakhil yang mengungkit-ungkit kebaikannya; dan seorang faqir yang sombong.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, dan at-Thabraniy di dalam al-Mu’jam al-Kabiir miliknya)
Di dalam sebuah riwayat,
[arabic-font] «أَرْبَعَةٌ يُبْغِضُهُمُ اللَّهُ: الْبَيَّاعُ الْحَلَّافُ، وَالْفَقِيرُ الْمُخْتَالُ، وَالشَّيْخُ الزَّانِي، وَالْإِمَامُ الْجَائِرُ»[/arabic-font]
“Empat (golongan orang yang) Allah membenci mereka; penjual yang mudah bersumpah, orang faqir yang sombong, orang tua yang pezina, dan seorang pemimpin yang jahat.” (HR. an-Nasa`iy, dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya)
Hadits ini menunjukkan pensifatan Rabb kita dengan sifat benci. Maka Allah itu membenci dan mencintai. Dan nash-nash telah menunjukkan akan hal ini.
Allah ﷻ berfirman,
[arabic-font] وَلَٰكِن كَرِهَ ٱللَّهُ ٱنۢبِعَاثَهُمۡ فَثَبَّطَهُمۡ وَقِيلَ ٱقۡعُدُواْ مَعَ ٱلۡقَٰعِدِينَ ٤٦[/arabic-font]
“… tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, Maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (QS. at-Taubah (9): 46)
Maknanya adalah Allah membenci keluarnya mereka.
Dia ﷻ berfirman,
[arabic-font] كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٣[/arabic-font]
“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. as-Shaff (61): 3)
Al-muqtu adalah al-bughdu (benci), maknanya adalah sangat besar kebencian (kemurkaan)nya.
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa Allah ﷻ membenci sebagian hamba-hamba-Nya, sebagian amal-amal mereka. Dan murka adalah sifat fi’liyah, dan sifat-sifat fi’liyah adalah sifat yang berkaitan dengan masyi`ah (kehendak) Allah ﷻ.
Dan makhluk membenci, sementara perbedaan antara sifat-sifat kita dengan sifat-sifat-Nya adalah seperti perbedaan antara dzat kita dengan Dzat-Nya ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
[arabic-font] لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ ١١[/arabic-font]
“… tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (QS. as-Syuura (42): 11)
Tidakkah Anda melihat bahwa Allah hidup, dan makhluk juga hidup? Akan tetapi hidupnya Allah adalah sempurna, tidak diawali dari ketiadaan, dan tidak akan berakhir dengan ketiadaan, tidak ada kekurangan yang menyelahinya. Sementara kehidupan makhluk diselai oleh kekurangan, sakit, kelelahan, derita, kesedihan, dan kecemasan…
Kehidupan makhluk dimulai dari ketiadaan, dan berakhir kepada ketiadaan. Adapun Allah, maka Dia adalah al-Awwal, yang tidak ada sebelum-Nya sesuatupun, dan al-Aakhir, yang tiada setelah-Nya sesuatupun.
Demikian juga pandangan tentang keseluruhan sifat-sifat Allah; undang-undang kita tentang bab sifat-sifat adalah firman Rabb kita,
[arabic-font] لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ ١١[/arabic-font]
“… tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” (QS. as-Syuura (42): 11)
“… tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” adalah bantahan terhadap mumatstsilah (yang memisalkan Allah) dan musyabbihah (yang menyerupakan Allah); “dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat” adalah bantahan terhadap mu’aththilah (yang mengosongkan makna).
Orang pertama yang dibenci di dalam hadits ini adalah seorang pedagang yang mudah bersumpah.
Sesungguhnya Allah ﷻ telah memerintah untuk menjaga sumpah-sumpah. Allah ﷻ berfirman,
[arabic-font] وَٱحۡفَظُوٓاْ أَيۡمَٰنَكُمۡۚ[/arabic-font]
“…dan jagalah sumpahmu.” (QS. al-Maidah (5): 89)
Ayat ini mengandung tiga makna;
Pertama, menyedikitkan sumpah.
Kedua, tidak melanggar sumpah.
Ketiga, membayar kaffarah sumpah yang pelakunya melanggarnya.
Allah ﷻ berfirman,
[arabic-font] وَلَا تَجۡعَلُواْ ٱللَّهَ عُرۡضَةٗ لِّأَيۡمَٰنِكُمۡ أَن تَبَرُّواْ وَتَتَّقُواْ وَتُصۡلِحُواْ بَيۡنَ ٱلنَّاسِۚ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٞ ٢٢٤[/arabic-font]
“Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan Mengadakan ishlah di antara manusia. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. al-Baqarah (2): 224)
Di dalam ayat ini terdapat dua pendapat;
Pertama, janganlah Engkau menjadikan Allah ﷻ sebagai penghalang bagi sumpahmu untuk tidak melakukan kebaikan. Akan tetapi bayarlah kaffarah sumpahmu, lalu lakukan kebaikan. Ini adalah pendapatnya Ibnu ‘Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah dan selain mereka M.
Kedua, janganlah memperbanyak sumpah dengan asma Allah, sekalipun Anda mentaatinya dan berbuat baik. Dikarenakan banyak bersumpah dengan asma Allah adalah satu jenis kelancangan terhadap-Nya. Dan ini adalah perkataan Ibnu Zaid V.
Telah shahih di dalam as-Shahihain sabda Nabi kita ﷺ,
[arabic-font] «الحَلِفُ مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ، مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ»[/arabic-font]
“Sumpah (dusta) melariskan dagangan, menghilangkan keberkahan.”
Sumpah termasuk perkara yang memberikan andil dalam penjualan barang dagangan, dikarenakan jiwa itu terbentuk diatas pengagungan terhadap Allah ﷻ, maka jika dia bersumpah dengan-Nya, orang yang bersumpah dibenarkan, akan tetapi tidak ada keberkahan di dalam harga yang sumpah mendatangkannya.
Maka berhati-hatilah wahai para pedagang dari sumpah di dalam jual beli Anda. Dan ketahuilah bahwa rizqiy ada pada tangan Allah, maka janganlah Anda menjadikan Allah sebagai sasaran mudah bagi sumpah Anda.
Di dalam Shahih Muslim dari Qatadah I, bahwa dia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
[arabic-font] «إِيَّاكُمْ وَكَثْرَةَ الْحَلِفِ فِي الْبَيْعِ، فَإِنَّهُ يُنَفِّقُ، ثُمَّ يَمْحَقُ»[/arabic-font]
“Hati-hatilah kalian dari banyak bersumpah di dalam jual beli, karena sumpah itu melariskan (dagangan), kemudian menghilangkan (keberkahan).”
Dan telah shahih di dalam Shahih Ibnu Hibban, dari Abu Sa’id al-Khudriy I, dia berkata,
[arabic-font] مَرَّ أَعْرَابِيٌّ بِشَاةٍ فَقُلْتُ تَبِيعُنِيهَا بِثَلَاثَةِ دَرَاهِمَ ؟ قَالَ : لَا وَاللَّهِ ثُمَّ بَاعَنِيْهَا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقَالَ: «بَاعَ آخِرَتَهُ بِدُنْيَاهُ»[/arabic-font]
“Ada seorang Arab Badui lewat dengan membawa seekor kambing, maka saya katakan (kepadanya), ‘Juallah kepadaku kambing itu dengan harga tiga dirham.’ Dia menjawab, ‘Tidak, demi Allah.’ Kemudian dia menjualnya kepadaku.’ Lalu aku menyebut yang demikian kepada Rasulullah ﷺ, maka beliau bersabda, ‘Dia telah menjual akhiratnya dengan dunianya.”
Dan ini adalah seburuk-buruk keadaan, wal’iyaadzu billah.
Diantara hadits yang di dalamnya Nabi ﷺ mempertakuti dari sumpah di dalam jual beli adalah hadits Salman I yang di dalamnya Nabi ﷺ bersabda,
[arabic-font] ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: أُشَيْمِطٌ زَانٍ، وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ، وَرَجُلٌ جَعَلَ اللهَ بِضَاعَةً، لَا يَشْتَرِي إِلَّا بِيَمِينِهِ، وَلَا يَبِيعُ إِلَّا بِيَمِينِهِ[/arabic-font]
“Tiga golongan orang yang Allah tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat; orang yang telah beruban kepalanya yang berzina, orang miskin yang sombong, dan orang yang menjadikan Allah sebagai barang dagangan, dia tidak membeli kecuali dengan sumpahnya, dan tidak menjual kecuali dengan sumpahnya.” (HR. at-Thabraniy dalam ketiga Mu’jamnya.)
Kedua, orang bakhil lagi tukang mengungkit-ungkit kebaikan.
Perbuatan ini, wal’iyaadzu billah, telah mengumpulkan buah buruk, dan buruknya takaran; dan mengumpulkan dua kebiasaan buruk.
Kebiasaan pertama, adalah bakhil (pelit)
Allah ﷻ berfirman,
[arabic-font] ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ وَيَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبُخۡلِ وَيَكۡتُمُونَ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا مُّهِينٗا ٣٧[/arabic-font]
“(Yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan Menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan.” (QS. an-Nisa` (4): 37)
Allah ﷻ berfirman,
[arabic-font] ۞وَمِنۡهُم مَّنۡ عَٰهَدَ ٱللَّهَ لَئِنۡ ءَاتَىٰنَا مِن فَضۡلِهِۦ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ٧٥ فَلَمَّآ ءَاتَىٰهُم مِّن فَضۡلِهِۦ بَخِلُواْ بِهِۦ وَتَوَلَّواْ وَّهُم مُّعۡرِضُونَ ٧٦ فَأَعۡقَبَهُمۡ نِفَاقٗا فِي قُلُوبِهِمۡ إِلَىٰ يَوۡمِ يَلۡقَوۡنَهُۥ بِمَآ أَخۡلَفُواْ ٱللَّهَ مَا وَعَدُوهُ وَبِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ ٧٧[/arabic-font]
“Dan diantara mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah: “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada Kami, pastilah Kami akan bersedekah dan pastilah Kami Termasuk orang-orang yang saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta.” (QS. at-Taubah (9): 75-77)
Dia ﷻ berfirman,
[arabic-font] هَٰٓأَنتُمۡ هَٰٓؤُلَآءِ تُدۡعَوۡنَ لِتُنفِقُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَمِنكُم مَّن يَبۡخَلُۖ وَمَن يَبۡخَلۡ فَإِنَّمَا يَبۡخَلُ عَن نَّفۡسِهِۦۚ وَٱللَّهُ ٱلۡغَنِيُّ وَأَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُۚ وَإِن تَتَوَلَّوۡاْ يَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَكُمۡ ثُمَّ لَا يَكُونُوٓاْ أَمۡثَٰلَكُم ٣٨[/arabic-font]
“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir Sesungguhnya Dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.” (QS. Muhammad (47): 38)
Dia ﷻ berfirman,
[arabic-font] وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ ٨ وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ ٩ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ ١٠[/arabic-font]
“Dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (QS. al-Lail (92): 8-10)
Dan adalah Nabi ﷺ biasa meminta perlindungan kepada Allah dari sifat bakhil, beliau banyak membaca,
[arabic-font] «اللهم إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ»[/arabic-font]
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada dari kecemasan, kesedihan, kelemahan, malas, bakhil, pengecut, terlilit hutang, dan penguasaan kaum.” (HR. al-Bukhari Muslim)
Adapun kebiasaan kedua adalah mengungkit-ungkit.
Yaitu seseorang menyebut-nyebut perkara yang dengannya dia menyangka telah memberikan nikmat kepada saudaranya. Dan ini adalah perkara yang dipandang buruk diantara manusia. Dan oleh karena buruknya yang demikian, dikatakan ‘Pengungkit-ungkitan (kebaikan) merusak hasil usaha.’
Allah ﷻ berfirman,
[arabic-font] ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ثُمَّ لَا يُتۡبِعُونَ مَآ أَنفَقُواْ مَنّٗا وَلَآ أَذٗى لَّهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ ٢٦٢ ۞قَوۡلٞ مَّعۡرُوفٞ وَمَغۡفِرَةٌ خَيۡرٞ مِّن صَدَقَةٖ يَتۡبَعُهَآ أَذٗىۗ وَٱللَّهُ غَنِيٌّ حَلِيمٞ ٢٦٣ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُبۡطِلُواْ صَدَقَٰتِكُم بِٱلۡمَنِّ وَٱلۡأَذَىٰ كَٱلَّذِي يُنفِقُ مَالَهُۥ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلَا يُؤۡمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۖ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ صَفۡوَانٍ عَلَيۡهِ تُرَابٞ فَأَصَابَهُۥ وَابِلٞ فَتَرَكَهُۥ صَلۡدٗاۖ لَّا يَقۡدِرُونَ عَلَىٰ شَيۡءٖ مِّمَّا كَسَبُواْۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٢٦٤[/arabic-font]
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah). mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. al-Baqarah (2): 262-264)
Ketiga, orang faqir yang sombong.
Al-mukhtaal : al-mutakabbir (orang yang sombong). Dan diantara kondisi yang terjadi dikarenakan kefakiran adalah adanya kelunakan di dalam hati. Sementara kesombongan adalah sifat yang dibenci baik kesombongan itu dari orang kaya ataupun orang faqir. Akan tetapi kesombongan dari orang faqir lebih buruk, karena ketiadaan kepentingan baginya untuk sombong. Sebagaimana perzinahan itu dibenci baik dari pemuda maupun orang tua, namun perzinahan dari orang tua lebih buruk.
Sungguh Rabbuna ﷻ telah memberikan peringatan dari kesombongan. Dia ﷻ telah berfirman di dalam hadits qudsiy yang diriwayatkan oleh at-Thabraniy,
[arabic-font] «الْعِزَّةُ إِزَارِيْ، وَالْكِبْرِيَاءُ رِدَائِيْ، فَمَنْ نَازَعَنِيْ فِيْهِمَا شَيْئاً أَلْقَيْتُهُ فِي النَّارِ وَلاَ أُبَالِيْ»[/arabic-font]
“Keperkasaan adalah sarung-Ku, kesombongan adalah selendang-Ku, maka barangsiapa melawan-Ku dengan sesuatupun pada keduanya, maka Aku akan melemparkan dia ke dalam neraka, dan Aku tidak peduli.”
Di dalam Shahih Muslim, dari ‘Abdillah bin Mas’ud I, dari Nabi ﷺ beliau ﷺ bersabda,
[arabic-font] «لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ». فقَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً؟ قَالَ: «إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ: بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ»[/arabic-font]
“Tidak akan masuk sorga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji dzarrah kesombongan.” Maka berkatalah seorang laki-laki, ‘Sesungguhnya seseorang itu senang bajunya bagus, dan sandalnya bagus?.’ Maka beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah itu indah, dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.”
(Diambil dari kitab Tsulaatsiyaat Nabawiyah Jilid II, DR. Mihran Mahir ‘Utsman, dialih bahasakan oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)