عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ: بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى، وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ»
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata, “Kekasihku shallallaahu ‘alaihi wasallam telah memberikan tiga wasiat kepadaku; puasa tiga hari setiap bulan; dua rakaat dhuha; dan shalat witir sebelum tidur.” (HR. Syaikhani)
Ucapan Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, ‘Khalil (kekasih)ku memberiku wasiat’, maksudnya adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Adapun Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka beliau tidak menjadikan seorangpun diantara para sahabat beliau sebagai khaliil. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
«لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلًا، وَلَكِنَّهُ أَخِي وَصَاحِبِي، وَقَدْ اتَّخَذَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ صَاحِبَكُمْ خَلِيلًا»
“Seandainya aku (boleh) menjadikan seseorang sebagai khaliil, maka pastilah aku akan menjadi Abu Bakar sebagai khaliil. Akan tetapi dia adalah akhi (saudaraku) dan sahabatku. Dan sungguh Allah ‘azza wa jalla telah menjadikan sahabat kalian sebagai khaliil.” (HR. al-Bukhari Muslim)([1])
Dan dengan ini, kita mengetahui bahwa yang utama adalah dikatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah Khaliilullaah. Ini lebih dalam daripada ucapan mereka Habiibullaah; dikarenakan khullah lebih kuat (tinggi) derajatnya daripada mahabbah.
Seorang penyair berkata kepada kekasihnya:
قَدْ تَخَلَّلْتِ مَسْلَكَ الرُّوْحِ مِنِّي وَبِذَا سُمِّيَ الْخَلِيْلُ خَلِيْلاً
Sungguh Engkau telah menyusup ke dalam jalan roh dariku
Dan karenanya seorang kekasih disebut sebagai khalil
Oleh karena inilah dikatakan innallaaha yuhibbul muttaqiin (sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa) dan tidak dikatakan innallaaha khaliiluhum (sesungguhnya Allah adalah khalil mereka), dikarenakan khullah lebih tinggi dari mahabbah. Dan kita tidak akan menetapkannya kecuali kepada haq Nabi Ibrahim dan Nabi kita ‘alaihimassalaam.
Dan dua hadits ini tidaklah saling kontradiksi diantara keduanya; khullah memiliki dua sisi; Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak akan mengambil seorang khalil dari umatnya, adapun setiap orang dari umat ini, maka wajib baginya untuk menjadikan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai khalilnya. Hingga kemudian dia lebih mengutamakan cinta kepada beliau daripada cintanya kepada setiap orang. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
«لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ»
“Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga aku menjadi orang yang lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (Muttafaqun ‘alaih)([2])
Dan wasiat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang sahabat dari sahabat-sahabat beliau adalah sebuah wasiat untuk seluruh umat. Dalilnya adalah firman Allah subhaanahuu wa ta’aalaa,
وَمَآ أَرۡسَلنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ بَشِيرٗا وَنَذِيرٗا
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, …” (QS. Saba` (34): 28)
Bahkan arah pembicaraan yang ada di dalam al-Qur`an jika diarahkan kepada Rasulllah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka sesungguhnya umat beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam masuk di dalamnya selagi tidak ada dalil yang menunjukkan perkara selainnya. Oleh karenanya Allah subhaanahuu wa ta’aalaa berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)([3])…” (QS. at-Thalaaq (65): 1)
Wasiat Pertama; puasa tiga hari setiap bulan.
Maka puasa ini menandingi puasa pada seluruh bulan, dikarenakan sebuah kebaikan akan dilipat gandakan pahalanya menjadi sepuluh kali lipat yang semisalnya.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
«قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِذَا هَمَّ عَبْدِي بِحَسَنَةٍ وَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبْتُهَا لَهُ حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ، وَإِذَا هَمَّ بِسَيِّئَةٍ وَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ أَكْتُبْهَا عَلَيْهِ، فَإِنْ عَمِلَهَا كَتَبْتُهَا سَيِّئَةً وَاحِدَةً»
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Jika seorang hamba-Ku berniat untuk melakukan satu kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, maka Ku tuliskan untuknya satu kebaikan; jika dia melakukannya, maka Ku tuliskan untuknya sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kebaikan. Dan jika dia berniat untuk melakukan suatu keburukan, lalu tidak melakukannya, maka Aku tidak menulis dosa atasnya, jika dia melakukannya, maka Ku tuliskan untuknya sebuah keburukan.” (HR. as-Syaikhani)([4])
Dan puasa adalah termasuk diantara sebab-sebab keselamatan dari neraka. Berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,
«مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللهِ إِلَّا بَاعَدَ اللهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا»
“Tidak ada diantara seorang hamba yang berpuasa sehari di jalan Allah, melainkan dengan sebab hari tersebut, Allah akan jauhkan wajahnya dari api neraka sejauh tujuh puluh tahun perjalanan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)([5])
Dari Abu Umamah al-Baahiliy radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
«مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللهِ جَعَلَ اللهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ خَنْدَقًا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ»
“Barangsiapa berpuasa sehari di jalan Allah, maka Allah akan jadikan antara dia dengan neraka sebuah parit (yang lebarnya) seperti jarak antara langit dan bumi.” (HR. at-Tirmidzi)([6])
Dan puasa adalah termasuk sebab-sebab masuk sorga.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,
«إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ: أَيْنَ الصَّائِمُونَ؟ فَيَقُومُونَ، لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ »
“Sesungguhnya di dalam sorga terdapat sebuah pintu yang disebut dengan ar-Rayyan; dimana orang-orang yang ahli berpuasa akan masuk darinya pada hari kiamat, dan tidak akan ada seorangpun masuk dari pintu tersebut selain mereka. Akan dikatakan, ‘Dimanakah orang-orang yang ahli berpuasa? Maka merekapun berdiri. Tidak akan ada seorangpun yang masuk dari pintu itu selain mereka. Dan jika mereka telah masuk, maka pintu itupun ditutup, maka tidak ada seorangpun yang masuk dari pintu itu.” (HR. al-Bukhari Muslim)([7])
Dan tatkala Abu Umamah al-Baahiliy radhiyallaahu ‘anhu datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, dia berkata kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam,
يَا رَسُولَ اللهِ مُرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ. قَالَ لَهُ: «عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ؛ فَإِنَّهُ لَا عَدْلَ لَهُ»
“Ya Rasulullah, perintahlah saya dengan suatu amal yang bisa memasukkan saya ke dalam sorga.’ Maka beliau bersabda kepadanya, ‘Hendaknya Engkau berpuasa, karena tidak ada tandingan bagi puasa.” (HR. Ahmad)([8])
Dan sungguh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menganjurkan untuk berpuasa hari senin dan kamis; enam hari dari bulan Syawal, hari ‘Arafah, tasu’ah, ‘asyura`, dan selainnya…
(Bersambung….)
(Diambil dari kitab Tsulaatsiyaat Nabawiyah Jilid III, DR. Mihran Mahir ‘Utsman, dialih bahasakan oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)
([1]) HR. Muslim (2383)
([2]) HR. al-Bukhari (15), Muslim (44)-pent
([3]) Maksudnya: isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri. tentang masa iddah Lihat surat Al Baqarah ayat 228, 234 dan surat Ath Thalaaq ayat 4. (Keterangan Terjemah Depag-pent)
([4]) HR. Muslim (128), al-Bukhari (7501)-pent
([5]) HR. Muslim (1153), al-Bukhari (2840)-pent
([6]) HR. at-Tirmidzi (1624), at-Thabraniy, al-Ausath (3574), Shahiih al-Jaami’ (6333), as-Shahiihah (563), lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid, VII/393.-pent
([7]) HR. al-Bukhari (1896), Muslim (1152)-pent
([8]) HR. Ahmad (22194), lihat Shahiih al-Jaami’ (4045), as-Shahiihah (1937), Shahiih at-Targhiib wa at-Tarhiib (986), al-Arnaut berkata, ‘Sanadnya shahih.’ Lihat lihat al-Jaami’ as-Shahiih li as-Sunan wa al-Masaanid, VII/252.-pent