Tiga Wasiat Untuk Mu’adz Radhiyallaahu ‘Anhu

Dari Mu’adz bin Jabal I, bahwasannya dia ingin safar (melakukan perjalanan), maka dia berkata,
[arabic-font] يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَوْصِنِي، قَالَ: « اعْبُدِ اللَّهَ لَا تُشْرِكْ بِهِ شَيْئًا »، قال: يَا نَبِيَّ اللَّهِ زِدْنِي. قَالَ: « إِذَا أَسَأْتَ فَأَحْسِنْ». قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ زِدْنِي. قَالَ: « اسْتَقِمْ وَلْيُحْسِنْ خُلُقَكَ »[/arabic-font] ‘Wahai Nabi Allah, berikanlah wasiat kepada saya.’ Maka beliau bersabda, ‘Sembahlah Allah, janganlah Engkau mensekutukan-Nya dengan sesuatupun.’ Dia berkata, ‘Wahai Nabi Allah, tambahlah (wasiat untuk) saya.’ Beliau bersabda, ‘Jika Engkau berbuat buruk, maka berbuat baiklah.’ Dia berkata, ‘Wahai Nabi Allah, tambahlah (wasiat untuk) saya.’ Beliau bersabda, ‘Istiqamahlah, dan hendaknya Engkau memperbagusi akhlaqmu.’ (HR. Ibnu Hibban di dalam Shahihnya)

Wasiat nabawiyah untuk Mu’adz ini mencakup tiga perkara, barangsiapa beruntung dengannya, maka dia telah meraih dua kebahagian; kebahagiaan dunia dan akhirat.

Wasiat pertama di dalam hadits ini, ‘Sembahlah Allah, dan janganlah Engkau mensekutukan-Nya dengan sesuatupun.’
Bersama dengan wasiat ini, saya memiliki beberapa perhentian;

Pertama, Nabi memerintah Mu’adz untuk beribadah kepada Allah.
Inilah dia alasan yang karenanya Allah mengadakan (menciptakan) segala makhluk. Allah berfirman,
[arabic-font] وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦[/arabic-font] “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56)

Ibadah adalah sebuah penamaan bagi segenap perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan dan perbuatan, yang zhahir (nampak) maupun yang batin (tidak tampak).

Dan tidak ada diantara seorang Rasulpun yang Allah mengutusnya melainkan dia memerintah kaumnya untuk beribadah kepada Allah .

Dan tatkala peribadatan kepada Allah tidak sah, dan tidak diterima kecuali jika manusia itu membersihkan dirinya dari kesyirikan, dan memasrahkan hatinya kepada Allah, serta memurnikan segala ketaatan hanya kepada-Nya, maka Nabi menggandakannya dengan larangan dari syirik.

Sebagaimana firman Allah ,
[arabic-font] ۞وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ[/arabic-font] “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.” (QS. an-Nisa` (4): 36)

Inilah makna laa ilaaha illallaah, maknanya adalah sembahlah Allah, dan jangan mensekutukannya dengan sesuatupun.

Maka al-Ilaahu adalah al-ma’bud (Yang disembah), jadi makna laa ilaaha illallaah adalah tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah.

Dan barangsiapa menyembah selain Allah , maka sesungguhnya dia telah menyembah dengan kebatilan. Allah berfirman,
[arabic-font] ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدۡعُونَ مِن دُونِهِۦ هُوَ ٱلۡبَٰطِلُ[/arabic-font] “ (Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena Sesungguhnya Allah, Dialah (tuhan) yang haq dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, Itulah yang batil,…” (QS. al-Hajj (22): 62)

Dia berfirman,
[arabic-font] ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدۡعُونَ مِن دُونِهِ ٱلۡبَٰطِلُ[/arabic-font] “Demikianlah, karena Sesungguhnya Allah, Dia-lah yang hak dan Sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah Itulah yang batil;…” (QS. Luqman (31): 30)

Kedua, jika Anda ingin berhenti diatas keburukan syirik, dan mengetahui sesuatu darinya, pertimbangkanlah kisah yang terjadi dihadapan Rasulullah ini.

Telah shahih di dalam as-Shahihain dari ‘Umar bin al-Khaththab I, bahwa dia berkata, ‘Telah datang kepada Rasulullah tawanan, dan ternyata ada seorang wanita dari tawanan tersebut mencari-cari, jika dia menemukan seorang anak (bayi) di tengah tawanan, maka dia mengambilnya, kemudian merekatkannya ke perutnya, kemudian menyusuinya.’ Lalu Nabi bersabda kepada kami,
[arabic-font] «أَتَرَوْنَ هَذِهِ الْمَرْأَةَ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِي النَّارِ؟» قُلْنَا: لَا، وَاللهِ وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لَا تَطْرَحَهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا»[/arabic-font] “Apakah kalian berpandangan bahwa wanita ini akan melemparkan putranya ke dalam api neraka?’ Maka kami berkata, ‘Tidak, demi Allah, dan dia mampu untuk tidak melemparkannya.’ Maka Rasulullah bersabda, ‘Sungguh, Allah benar-benar lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya daripada wanita ini terhadap putranya.’

Sekalipun segala hal yang demikian,
[arabic-font] إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا ٤٨[/arabic-font] “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. an-Nisa` (4): 48)

Dia berfirman,
[arabic-font] إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلَۢا بَعِيدًا ١١٦[/arabic-font] “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, Maka Sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. an-Nisa` (4): 116)

Ketiga, mensekutukan Allah adalah bukti kebodohan… bagaimanakah hal itu?
Mari kita perhatikan, seandainya Zaid berada di suatu tempat bersama dua orang. Orang pertama sehat, dan yang kedua sakit, lumpuh, buta dan tuli. Lalu dia membutuhkan pertolongan, kemudian dia berkomitmen minta pertolongan tersebut kepada yang tidak bisa mendengarnya, dan tidak bisa melihatnya, dan meninggalkan orang yang sehat. Apa ucapan Anda terhadap hal ini? Maka tidak diragukan lagi, bahwa hal itu termasuk bagian dari kegilaan.

Demikianlah orang yang meninggalkan Allah, lalu dia bersandar kepada selain-Nya. Barangsiapa menyeru selain Allah, dan meninggalkan Dzat Yang Maha Mendengar, Maha Dekat, Maha Menjawab segala permintaan, Maha Mengenal, lagi Maha Mengetahui .

Wasiat kedua di dalam hadits ini, ‘Jika Engkau telah berbuat buruk, maka berbuat baiklah.’
Mengapa? Maka jawabannya ada di dalam al-Qur`an,
[arabic-font] إِنَّ ٱلۡحَسَنَٰتِ يُذۡهِبۡنَ ٱلسَّيِّ‍َٔاتِۚ[/arabic-font] “… Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk…” (QS. Huud (11): 114)

Maka diantara penghapus-penghapus dosa adalah kebaikan setelah keburukan.
Telah shahih di dalam as-Shahihain dari Ibnu Mas’ud I, bahwa ada seorang laki-laki telah mencium seorang wanita, lalu dia mendatangi Nabi , lalu dia mengabarkan hal itu kepada beliau. Kemudian Allah menurunkan,
[arabic-font] وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ طَرَفَيِ ٱلنَّهَارِ وَزُلَفٗا مِّنَ ٱلَّيۡلِۚ إِنَّ ٱلۡحَسَنَٰتِ يُذۡهِبۡنَ ٱلسَّيِّ‍َٔاتِۚ ذَٰلِكَ ذِكۡرَىٰ لِلذَّٰكِرِينَ ١١٤[/arabic-font] “Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS. Huud (11): 114) Maka laki-laki itu berkata,
[arabic-font] يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلِي هَذَا؟ قَالَ: «لِجَمِيعِ أُمَّتِي كُلِّهِمْ»[/arabic-font] “Ya Rasulullah, apakah ini untukku?’ Maka beliau bersabda, ‘Untuk keseluruhan umatku.’
Maka barangsiapa telah berbuat buruk, maka wajib atasnya untuk berbuat baik, dikarenakan taubat setelah dosa sungguh benar-benar termasuk seagung-agungnya macam berbuat baik.

Wasiat ketiga, ‘Istiqamahlah, dan hendaknya Engkau memperbagusi akhlaqmu.’
Maka apakah istiqamah itu?
Ibnu Hajar V berkata, ‘Istiqamah adalah kinayah (kata ibarat, sindiran) dari berpegang teguh dengan perintah Allah , baik dalam melakukan sesuatu ataupun meninggalkan sesuatu.’ (al-Fath, XIII/257)

Dan sepertinya, makna ini diambil dari ucapan ‘Umar bin al-Khaththab I,
[arabic-font] الاِسْتِقَامَةُ: أَنْ تَسْتَقِيْمَ عَلىَ الْأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَلاَ تَرُوْغُ رَوْغَانَ الثَّعَالِبِ[/arabic-font] “Istiqamah adalah Engkau lurus diatas perintah dan larangan, dan tidak berbolak-balik (menyimpang) seperti berbolak-baliknya rubah-rubah.” (Syarhussunnah, al-Husain bin Mas’ud al-Baghawiy, I/31)

Dan seorang hamba meminta kepada Rabb-nya di dalam setiap shalat agar memberikan rizqiy istiqamah kepadanya. Maka di dalam setiap shalat kita membaca,
[arabic-font] ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ٦ صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ ٧[/arabic-font] “Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah (1): 6-7)

Ibnu Mas’ud I berkata –sebagaimana disebutkan di dalam Musnad Imam Ahmad-,
[arabic-font] خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: «هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ» ، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: ” هَذِهِ سُبُلٌ مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ “، ثُمَّ قَرَأَ: (وَإِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ، فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ)[/arabic-font] “Rasulullah membuat suatu garis untuk kami, kemudian beliau bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah.’ Kemudian beliau membuat garis-garis di kanan dan kirinya, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan yang tercerai berai, pada setiap jalan darinya ada syaitan yang mengajak kepadanya. Kemudian beliau membaca ayat, ‘Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah oleh kalian jalan itu, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan itu, hingga tercerai-berailah kalian dari jalan-Nya.’
Dan tatkala Sufyan bin ‘Abdillah ats-Tsaqafiy I datang kepada beliau lalu berkata,
[arabic-font] يَا رَسُولَ اللهِ، قُلْ لِي فِي الْإِسْلَامِ قَوْلًا لَا أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًا بَعْدَكَ. قَالَ: «قُلْ: آمَنْتُ بِاللهِ، فَاسْتَقِمْ»[/arabic-font] “Wahai Rasulullah, katakanlah untuk saya di dalam Islam suatu ucapan, yang saya tidak akan bertanya tentangnya kepada seorangpun setelah Anda.’ Maka beliau bersabda, ‘Ucapkanlah, aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.’

Dan sebelum saya tutup dengan pembicaraan tentang akhlaq mulia, akan saya arahkan sebuah pertanyaan kepada Anda, wahai pembaca yang budiman;
Seandainya ajal salah seorang diantara kita telah dekat, lalu dia diberikan jaminan untuk dikabulkan baginya dua do’a, maka dengan apakah dia akan berdo’a?
Saya tidak ragu-ragu sejenakpun, bahwa dia akan berdo’a agar Allah menjadi penolongnya pada akhir kehidupannya yang tidak diketahui, yang akan datang kepadanya. Sebagaimana seandainya jika dia mengingat keluarga, dan anak-anaknya, maka dia akan meminta kepada Allah untuk menjaga mereka dan memperhatikan mereka setelah kematiannya.

Apakah Anda tahu wahai saudaraku yang budiman, bahwa Allah telah menanggung dua perkara ini bagi orang yang istiqamah di atas agama-Nya? Dimana tanggungan itu?
Allah berfirman,
[arabic-font] إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ ٣٠[/arabic-font] “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan Kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat (41): 30)

Makna ayat adalah, sesungguhnya orang-orang yang telah berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya’ kemudian mereka istiqamah di atas syari’at-Nya, maka para malaikat akan turun kepadanya saat kematiannya seraya berkata kepada mereka, ‘Janganlah kalian takut dari kematian dan setelahnya, jangan pula kalian bersedih terhadap apa yang kalian tinggalkan di belakang kalian dari segala perkara dunia, dan bergembiralah dengan sorga yang dulu kalian telah dijanjikan dengannya.’

Maka betapa agungnya keberkahan istiqamah di atas agama Allah .

Dan di akhir pembicaraan terdapat penutupan dengan anjuran untuk berakhlaq mulia. Dan telah berlalu pembicaraan tentangnya pada tsulatsiyah yang terdahulu, akan tetapi saya akan menutup dengan dua atsar agung dalam bab akhlaq mulia…
Pertama, ‘Aliy I berkata, ‘Akhlaq mulia ada pada tiga pekerti; menjauhi perkara-perkara yang diharamkan, mencari yang halal, dan memberikan kelapangan terhadap keluarga.’ (Ihya` ‘Uluumiddin, III/57)

Kedua, Imam Ahmad V berkata, ‘Akhlaq mulia adalah Engkau tidak marah dan tidak dengki.’ (Jami’ al-‘Uluum wa al-Hikam, hal 160)

(Diambil dari kitab Tsulaatsiyaat Nabawiyah Jilid II, DR. Mihran Mahir ‘Utsman, dialih bahasakan oleh Abu Rofi’ Muhammad Syahri)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *